Boleh saja kita mengecam dan mengutuk Israel atas banyak hal. Tapi sesekali, kita perlu belajar darinya agar tak melakukan kesalahan serupa. Tentang sebab pemicu bagaimana darah ditumpahkan dan pecahnya konflik tak berujung di Bukit Zion, hanya karena kepentingan segelintir kelompok elit politik.

Konflik Israel-Palestina yang seakan tak berujung, dan sempat dipanaskan dengan berdarahnya Al Aqsa, membuat prihatin banyak pihak dari penjuru dunia. Indonesia dengan dalihnya sebagai negara muslim terbesar di dunia, juga terlibat aktif dalam diskursus tersebut.

Dan sejauh ini, gelombang wacana yang ada di Indonesia, berpusat pada kecaman atas Israel. Yang menganggap bahwa Israel dengan halauan Zionisnya, menjadi alasan dari segala krisis kemanusiaan yang ditujukan untuk mengusir warga muslim dan membangun negara bangsa yahudi (jewish nation-state).

Dikutip dari Kompas (28/07/2017), Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin bahkan mengungkapkan bahwa ia telah kehabisan kata-kata untuk mengecam dan mengutuk tindakan keji para "tentara zionis Israel"

Tapi sebenarnya, dibalik diskursus ini secara garis besar, publik perlu memahami bersama apa itu zionis dan menelaah kembali mengapa selama ini kita mempersepsikannya sebagai suatu hal yang berbahaya. Zionisme perlu dipahami bukan sebagai upaya pembasmian berbasis SARA (ethnic cleansing), karena ideologi tersebut secara harfiah hanyalah dimaknai sebagai kembalinya kaum Yahudi ke bukit Zion. Tanpa "mengusir" mereka yang telah berada di bukit tersebut.

Juga pemahaman bahwa sebenarnya, persepsi atas zionisme bertransformasi menjadi seradikal itu, karena ada upaya politik keji berhalauan kanan ekstrim yang mengharapkannya demikian. Demi meraih tampuk kekuasaan di Negara Israel yang sebenarnya cukup memiliki keberagaman. Sehingga membuat kaum Yahudi cinta damai, seakan ternegasikan dari hiruk pikuk pemberitaan internasional yang telah memberi stereotype sedemikian rupa.

Revisionist Zionism yang Terus Bercokol 

Sejak Israel menyatakan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948 dengan berbagai polemik dan perdebatannya (dimana bangsa Arab menyebut hari itu sebagai al-Nakba, hari kehancuran), politik Israel telah lama didominasi oleh partai berhalauan Zionis kanan dengan tiga spektrum: Labour Zionism (sosial democrat), Revisionist Zionsim (konservatif), dan Religious Zionism.

Dan sejak awal kemerdekaan itu pula, pemilu Israel yang pertama kali digelar pada tahun 1949 mulai membakar sentimen ultra-nasionalisme untuk keterpilihan partai berhalauan Zionis tersebut. Harian Jewish Telegraphic Agency (25/01/1949) merekam jelas hal ini.

Pada awalnya, David Ben-Gurion, sang bapak bangsa Israel yang kala itu berkampanye untuk Partai Mapai (Labour Zionism), menekankan intensinya untuk menjalin hubungan damai dengan para tetangga. Bahkan menjanjikan "tidak ada satupun darah akan tumpah" dalam upaya Israel untuk membantu pembentukan Palestina, dengan prinsip non-intervensi yang menurutnya harus dipegang teguh Israel.

Zionisme bagi Ben-Gurion, adalah kembalinya bangsa Israel ke Bukit Zion untuk hidup bersama dan berdampingan. Sebagai bangsa yang terpilih, walau tak berarti membuat bangsa lainnya tak layak untuk memilih.

Tapi seribu sayang, walaupun Mapai berhasil meraih 36% suara di Knesset (Parlemen Israel), Ben Gurion membutuhkan koalisi dengan partai-partai yang lebih kecil untuk membentuk pemerintahan dan menjabat sebagai perdana menteri. Disinilah Menachem Begin sebagai pimpinan Partai Herut, partai sayap kanan berhalauan revisionist Zionism, akhirnya mempengaruhi ideologi pemerintah di bawah Ben Gurion.

Begin, sejak dalam kampanyenya, secara terjemahan bebas dari bukunya bertajuk "The Revolt," menekankan bahwa kemerdekaan Israel yang hakiki hanya bisa diraih dengan berdaulat penuh. Perjuangan bangsa Yahudi untuk kembali ke bukit Zion, yang selama ini dianggapnya sebagai pertarungan resistensi, selayaknya diubah menjadi kebijakan kolonisasi.

Baginya, jika Israel mampu menguasai seluruh jazirah Bukit Zion, mengapa tidak? Karena menurutnya, toh penjajahan (colonization) dan pembebasan (liberation), hanya sekedar perspektif.

Pandangan Begin tersebut, terlebih lagi dalam pilihannya menjadi oposisi, sedikit banyak kemudian berpengaruh dalam perdebatan politik domestik Israel. Partai-partai yang lebih kecil, bersama masyarakat, seakan terpecah menjadi dua kubu. Terus terombang-ambing mengikuti lontaran wacana demi wacana ideologis yang ada.

Wacana antara kubu Ben Gurion yang mengakui Palestina dan berkomitmen untuk bekerjasama dengan bangsa Arab (walaupun tetap dalam beberapa kesempatan mengungkap pesimisme dan kecemasan atas impian tersebut), melawan Bigen yang terus menyuarakan nasionalisme berhalauan kanan ekstrim.

Sejarah kemudian seakan berpihak pada sang oposisi. Ben Gurion harus jatuh bangun hingga empat kali membentuk kabinet parlementer. Dan pada tahun 1963, ia resmi meletakkan jabatannya untuk digantikan oleh salah seorang anggota partainya sendiri, Levi Eshkol.

Tapi alih-alih Mapai selamat, partai tersebut justru dirundung skandal konspirasi internasional bertajuk "Lavon Affair". Sebuah skandal yang menangkap basah upaya intelijen Israel untuk memasang bom di Mesir, untuk menimbulkan opini publik bahwa bangsa Arab sarat akan terorisme.

Skandal tersebut, selain membuktikan tak adanya rantai komando yang baik antara pimpinan negara dengan suara publik serta militer, juga menjadi momentum kehancuran partai. 1966, Mapai melebur dengan partai Labour dalam upayanya menyelamatkan diri atas citranya yang semakin menurun. Menjadi sebuah koalisi "Alignment"

Dan setahun kemudian, pecahlah Perang Enam Hari ditengah negara arab  yang telah lama membenci Israel, ditambah dengan meningkatnya tensi geopolitik Timur Tengah serta keras kepalanya Presiden Nasser. Yang kala itu juga tengah menjalin hubungan tak begitu hangat dengan Amerika Serikat, dan apabila ditarik akarnya bermula dari batalnya Amerika Serikat mendanai Bendungan Aswan.

Segala kejadian tersebut boleh jadi berkaitan. Pesawat tempur dan rudal milik Paman Sam juga boleh saja dengan mudahnya membantu Israel memenangkan pertarungan. Sekaligus memberikannya penguasaan wilayah baru yang semakin luas.

Tapi bagi Labour Party, pertarungan itu adalah sebuah bencana. Tiga bulan selepas perang berakhir, Amos Oz, kolumnis populer Israel, menulis di koran Davar. Bahwa perang itu resmi menjadikan Israel sebagai penjajah, dan semua partai di Israel kini berada dalam bayang-bayang ultra nasionalisme berhalauan kanan ekstrim.

Boleh jadi mereka menyebut diri sebagai Labour Zionism. Tapi dengan kebijakan bina negara yang relatif sama ditengah pencapaian ekonomi sosialisme yang tak begitu menonjol, apa yang membuat mereka berbeda dengan Revisionist Zionism?

Sehingga tak mengherankan jika kemudian, Menachem Begin berhasil memenangkan Likud dalam pemilu Knesset tahun 1977. Menjadikannya seorang perdana menteri Israel, sekaligus bukti sosok petarung sejati yang rela menunggu sembilan kali pemilu serta pecahnya perang. Semua proses memecah belah bangsa, bahkan kawasan tersebut, dapat dipersepsikan untuk meraih tujuan klasik seorang politisi: meraih kekuasaan.

Sebuah kekuasaan, yang ia nantikan nyaris dua puluh tahun lamanya.

Refleksi bagi Indonesia dan Pentingnya Menjaga Pancasila

Tiga puluh tahun jabatan Begin berlalu. Pendulum politik Israel beberapa kali berpindah antara Labor pada Likud. Demikian seterusnya, hingga kini berada di bawah tampuk kepemimpinan PM Netanyahu dari Partai Likud, yang sedang terkena desas-desus skandal korupsi.

Suara sayup-sayup pun terdengar dari masyarakat atas kondisi bangsa yang tak lekas melangkah dari hobinya berkonflik dan menuai krisis kemanusiaan. Dalam memenuhi undangan Perdana Menteri Israel, Jawa Pos edisi 24 hingga 26 April 2016 merekam pendapat masyarakat yang serupa.

Banyak diantara mereka yang ditemui Jawa Pos, sebenarnya sudah lelah dengan perang. Perumahan murah dan akses kredit yang lebih baik, menurutnya lebih penting dari sekedar hamburan uang APBN Israel untuk membeli misil proyektil. Yang hanya bisa menumpahkan darah, dan sesekali berpendar layaknya kembang api di langit kedua negara.

Tapi sayang, elit politik masih sibuk dengan hal yang itu-itu saja.

Indonesia lewat upaya diplomatiknya telah melakukan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang patut diapresiasi. Di PBB, Indonesia secara konsisten menekankan pembelaannya atas kemerdekaan Palestina sejak era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo. Masyarakat pun tak kalah aktif. Aksi perdamaian digelar, dan upaya penyaluran bantuan kemanusiaan terus dihamparkan.

Tapi yang lebih progresif lagi, adalah Gus Dur. Ia berani turut serta dalam Shimon Peres Institute. Sebuah lembaga think-thank Israel yang meminjam nama mantan perdana menteri dari Partai Labor, dan bertujuan untuk menjembatani perbedaan ideologi antar kedua bangsa yang telah begitu berbeda puluhan tahun lamanya.

Jalinan dagang antar Indonesia dan Israel juga dirintisnya lewat Keputusan Menteri Perdagangan yang kala itu dijabat Luhut Pandjaitan. Relasi tersebut masih terus berlangsung hingga kini, walau Presiden demi Presiden malu-malu mengakui dan mengungkitnya.

Padahal, jalinan Indonesia-Israel tersebut seharusnya bisa menjadi momentum bagi bangsa ini untuk belajar. Bagaimana sebuah ambisi politik segelintir orang atau kelompok tertentu, dapat berpengaruh menjadi sebab pecahnya konflik dan krisis kemanusiaan yang berakibat fatal bagi jutaan manusia lainnya. Dan betapa indahnya jika masing-masing kelompok kepentingan, dapat menjadi negarawan sejati dengan menepikan kepentingan sesaatnya demi meredam dan mencegah konflik.

Pancasila, yang melandaskan diri pada persatuan atas perbedaan dalam Bhinneka, perlu diresapi oleh bangsa ini sebagai berkah sekaligus tantangan bagi kita untuk menjaga dan mengimplementasikannya. Karena walau bangsa ini sudah punya pedoman, siapa yang tau kemana pendulum sejarah akan berpindah?

Dan suatu saat nanti, jika sampai Pancasila tak termanifestasi hanya karena perdebatan politik, atau diterjemahkan bebas layaknya apa yang telah dilakukan Soeharto dan justru dijadikan alat kekuasaan segelintir oknum, kita sebagai kesatuan bangsalah yang harus menanggung getirnya kesalahan tersebut.

Sebuah kesalahan, karena tak mau belajar dari pihak yang selalu kita kecam dan kutuk dalam berbagai kesempatan: Israel.