Sebuah pengalaman menarik ketika penulis mengikuti sebuah workshop yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM. Pada salah satu sesi presentasi, muncul pertanyaan yang menarik dari salah satu akademisi yang hadir pada acara tersebut dalam rangka menanggapi pemaparan dari salah satu presenter pada acara tersebut. 

Sang presenter sendiri dalam presentasinya secara khusus menyampaikan hasil studinya terkait dengan kelompok vigilante (kelompok yang lekat dengan aksi premanisme) yang berkembang di wilayah Yogyakarta. Menurut sang presenter kehadiran kelompok berbasis kekerasan semacam itu mengancam masa depan status kota Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai “city of tolerance”.

Sang akademisi yang hadir dalam acara tersebut kemudian mempertanyakan status Yogyakarta sebagai “city of tolerance”. Menurut sang akademisi tersebut kehadiran kelompok vigilante sudah lama hadir di Yogyakarta bahkan di era pra reformasi sekalipun. Sang akademisi juga memeparkan bahwa dalam sejarahnya berbagai perilaku kekerasan sudah melekat dengan Yogyakarta sejak lama sehingga sebenarnya tidak tepat Yogyakarta mendapat julukan “city of tolerance”. 

Julukan tersebut bagi sang akademisi dianggap potensial bernuansa politis, yakni menyembunyikan sisi kelam Yogyakarta pada khalayak luas. Sang akademisi secara khusus juga memberi saran pada pemateri agar pemaparan mengenai kelompok vigilantis tidak perlu dikaitkan dengan slogan “city of tolerance” karena secara akademik istilah tersebut diragukan memiliki aspek korespondensi dengan kenyataan yang ada.

Pernyataan dari sang akademisi tersebut membuat penulis berfikir mengenai slogan “city of tolerance” yang melekat pada Yogyakarta. Apakah memang slogan itu dapat digolongkan sebagai semacam “hoax” karena tidak berkesesuaian dengan realitas yang ada? Atau jangan-jangan ada cara pandang yang “reduksionis” dalam memahami slogan tersebut sehingga menjadikan sang akademisi tersebut –dan mungkin juga banyak kalangan lain- memahami slogan tersebut secara negatif bukannya positif. 

Tentunya penulis menghargai posisi yang diambil sang akademisi tersebut, tetapi dalam dunia ilmiah perbedaan perspektif adalah satu hal yang lumrah. Maka penulis ingin menghadirkan cara pandang yang lebih positif dalam memaknai slogan “city of tolerance” tersebut.

Pendekatan institusionalisme baru (new institutionalism) menurut penulis dapat menjadi lensa yang menarik untuk memahami eksistensi slogan “city of tolerance” tersebut secara lebih positif. Pendekatan institusionalis sendiri percaya bahwa institusi (struktur) dapat membentuk perilaku manusia. Semisal undang-undang lalu lintas yang mewajibkan para pengendara motor memakai helm standar dan menyalakan lampu depan di siang hari.

Eksistensi undang-undang tersebut secara faktual mampu mempengaruhi kebiasaan berkendara pada sebagian masyarakat Indonesia. Sebuah fakta jika beberapa waktu yang lalu kita dapat melihat berbagai pengendara memakai “helm ciduk” sekarang di jalanan kita akan sulit menemukan ada pengendara motor yang masih mengenakan “helm ciduk” tersebut.

Kasus diatas menunjukkan bahwa institusi (struktur) mampu mendisiplinkan seseorang. Dalam kasus sepeda motor ketakutan pada hukuman yang mungkin ditimpakan kepada dirinya (sang pengendara motor) membuat sang pengendara tersebut menyesuaikan dirinya sesuai dengan undang-undang yang dibuat tersebut. Logika serupa sekiranya dapat digunakan untuk memahami slogan “yogyakarta city of tolerance”. Perlu dipahami bahwa pendekatan institusionalisme baru mempeluas definisi tentang institusi (struktur) dimana ada berbagai institusi yang tidak nampak atau terkesan “soft” namun mampu mempengaruhi perilaku manusia.

Slogan “city of tolerance” dapat dikatakan adalah sebuah struktur yang “soft” tersebut. Slogan “city of tolerance” menyimpan sebuah makna definitif bahwa Yogyakarta adalah kota toleransi. Idea inilah yang diharapkan dapat terinternalisasi di benak setiap orang yang tinggal di Yogyakarta sehingga mereka terdisiplinkan untuk tidak melakukan berbagai aksi yang sekiranya dapat merusak makna tersebut.

Dengan pendekatan institusionalisme baru sebagaimana dijelaskan diatas kita dapat mengambil posisi yang lebih positif menyikaspi keberadaan slogan “city of tolerance” tersebut. Slogan tersebut bukannya menggambarkan atau dapat dikatakan sebuah abstraksi dari realitas tetapi slogan yang diciptakan untuk memproduksi realitas baru. Jika sang akademisi memeparkan data bahwa di masa lalu Yogyakarta lekat dengan aksi kekerasan maka justru sejarah itulah yang berupaya dipotong dengan menanamkan makna baru pada kota Yogyakarta tersebut.

Patut diingat pula justru dengan adanya makna baru yang disematkan pada kota Yogyakarta membuat penegakan hukum atau pendisiplinan dimungkinkan. Bisa dibayangkan ketika slogan “city of tolerance” diganti menjadi “city of intolerance” dengan alasan untuk menggambarkan realitas yang ada. Ketika makana “intolerance” justru tersematkan pada Yogyakarta maka penegakan hukum pada perilaku “intoleran” menjadi sulit karena dibayangkan kondisi “normal” Yogyakarta adalah kekerasan, intoleransi, dan berbagai keburukan lainnya. Pendisiplinan justru potensial digolongkan sebagai kegiatan “absurd” karena hendak mengubah “kenormalan” yang bercorak negatif tersebut.

Jika slogan “city of tolerance” dapat diterima sebagai sebuah mekanisme positif untuk mendisiplinkan masyarakat agar tidak melakukan tindakan intoleran, maka pemaparan salah seorang presenter di forum tersebut menjadi masuk akal. Ketika ditemukan fakta bahwa ada sejumlah organisasi vigilante yang kian hari kian kuat hal tersebut menjadi perlu untuk segera dicarikan pemecahannya karena fenomena tersebut melawan sistem makna yang harusnya ditegakkan di Yogyakarta.

Dalam bahasa akademis, pemaparan dari sang presenter tersebut dianggap sah karena mempertentangkan antara das sein (apa yang terjadi) dengan das sollen (apa yang seharusnya).  Das sein yang dimaksud sang presenter adalah kelompok vigilante, sementara das sollen adalah makna Yogyakarta sebagai “city of tolerance” tersebut. 

Jika makna ini dianggap perlu untuk ditanggalkan –sebagaimana saran seorang akademisi- karena dianggap tidak terkait dengan realitas empiris maka posisi sang presenter tersebut menjadi absurd atau maksimalnya presenter tersebut hanya dapat menjelaskan atau memahami apa yang terjadi tetapi tidak mampu mengubah realitas karena das sollen yang diupayakan untuk ditegakkan tidak eksis.