“Cih! Najis!” Kulontarkan kata-kata itu saat aku dan beberapa orang timku memaparkan sebuah topik pelajaran di depan kelas.
Anak SMP memang masih labil. Begitupun teman sekelasku itu, Sama’at. Saat itu aku dan kelompokku yang maju, dan saat kami menyilakan siswa lain untuk mengangkat tangan memberi pertanyaan, ia juga termasuk yang ikut semangat mengangkat tangannya. Namun, mungkin khilaf atau memang tak kelihatan karena ia duduk di belakang, aku tak menyilakannya untuk bertanya. Sampai tiga kali ia mengangkat tangan dan tak kugubris sama sekali, ia pun muntab.
Ia tiba-tiba maju ke depan tanpa diminta. Wajahnya bengis dan matanya nyalang. Ia percepat langkahnya, dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dadaku. Aku pun refleks dan tanganku secara otomatis bergerak membentuk benteng pelindung. Dan sepatu itu, sepatu yang kotor bekas menginjak-injak tanah itu, mendarat di lenganku, cih, najis! Saat itu permusuhan kami dimulai.
“Apa? Kau bilang aku najis?” Ia menggertak.
“Iya! Memangnya kenapa? Kau duluan yang menerjangku.”
“Kau bilang aku najis. Melawan? Mau berkelahi?”
“Oh, aku takut sekali!” Sindirku sambil melemparkan wajah ke luar jendela.
“Tunggu jam pulang nanti!”
Saat bel pulang dipukul dan berlenting tiga kali, aku buru-buru mengeluarkan jurus andalan: kabur. Bukan apa-apa, tapi memang aku takut berkelahi. Mentalku memang mental tempe. Kalau bisa lari, kenapa harus hadapi. Itu sudah jadi motto dalam hidupku dan mendarah daging.
Cepat-cepat kuhentikan angkot yang melintas depan sekolah kami. Aku kemudian membenamkan diri dalam angkot yang berjejal dengan iringan lagu Peter-Pan itu. Sama’at yang tadinya berlari mengejarku tampak geram. Aku berlalu. Sungguh, untung saja sopir angkot itu menyetel lagu Peter-Pan, karena lagu itu sedikit menenangkanku dari degup takut yang terus menghujam dada sejak tadi.
***
Esoknya, aku berangkat ke sekolah naik sepeda, agar bisa cepat lari saat pulang sekolah. Aku harus tetap menghindari perkelahian, agar tidak babak belur. Di jam istirahat pun, aku tidak berani makan di kantin. Soalnya disana tempat yang empuk untuk anak-anak melancarkan emosinya kepada anak lain. Aku yakin, Sama’at selalu bersiap-sedia di kantin, kalau-kalau aku datang untuk sekedar minum, ia bisa kembali menerjangku seperti di kelas. Tidak! Tidak hanya dia, pasti ia membawa segerombol teman binatangnya yang lain.
Saat pulang sekolah aku kembali menghambur. Aku cepat ke parkiran sepeda karena di depan halte angkot, pasti gerombolan Sama’at sudah menunggu. Dan ternyata benar. Mereka sudah bersiap. Aku cepat mendayung sepedaku. Mereka tiba-tiba mengejarku dengan berlari.
“Rasakan ini!” Tangan Sama’at menghantam bahuku keras sekali saat aku mencoba kabur, namun aku tetap dapat kabur dengan rasa ngilu di bahu. Selamat tinggal!
Esoknya kurang lebih sama. Sama’at dan aku sudah seperti Tom dan Jerry. Sama’at sebagai Tom yang selalu mengejar, aku sebagai Jerry yang selalu lari. Begitu seterusnya. Sampai letih.
Namun itu semua tak bertahan selama seminggu. Semua berlalu dan terlupakan begitu saja. Aku akhirnya kembali tenang dan mulai berani mengunjungi kantin. Sama’at juga terlihat tak peduli dan tak ambil pusing soal keberadaanku. Memang, aku dan ia tak bertegur sapa. Tapi, karena kami selalu bertemu di kelas, tentu sedikit banyak keadaan mulai membiasa.
Itu berarti, strategiku berhasil. Menghindari perkelahian cukup efektif agar tidak menambah masalah, meskipun itu semua memang karena aku juga takut berkelahi. Karena rasa takutku itulah, api tidak semakin membesar. Aku bagaikan menyiram air pada kobaran itu dan memadamkannya perlahan.
Berbulan-bulan kemudian, semua membaik. Meski tak begitu banyak bertegur sapa dengannya, tetapi aku merasa tetap berteman dan memiliki ikatan. Ikatan yang disatukan oleh solidaritas karena seperjuangan dalam kelas yang sama. Hanya saja kami saling tak peduli satu sama lain, dan hanya memedulikan urusan masing-masing.
Kecuali pada hari itu. Aku terkejut. Mengapa Sama’at hari itu bersikap begitu? Aku masih heran hingga kini. Tapi sejak hari itu, dan sikapnya itu, hubungan kami semakin membaik. Baiklah, begini ceritanya:
Hari itu saat jam istirahat aku pergi ke kantin. Bayangan mie instan ditambah telur diperkuat dengan saus buatan Nenek kantin terbayang sejak jam pelajaran di kelas tadi. Perutku juga sudah sejak tadi menyalakan alarm-nya. Langsung saja saat di kantin aku masuk antrian pemesanan mie instan dan segelas es jeruk.
Tiba-tiba, tanganku disambar oleh seseorang. Ia langsung menyeretku hingga aku tak sempat menahan. Aku terpaksa ikuti dia. Ia bawa aku ke belakang kelas yang agak sepi. Lebih tepatnya memang tak ada satu anak pun yang berada disana selain aku dan dia. Sebenarnya aku kenal anak itu, dari kelas sebelah. Badannya lebih tinggi dariku. Wajahnya sanggar, seperti ada goresan di beberapa bagian karena sering berkelahi. Mulutnya bau. Bau asap rokok.
“Minta duit! Kalau tak mau kasih, ni!” ujarnya sambil mengepalkan tangan di depan wajahku dan memasang mata penuh kobar api.
Aku diam dan menunduk. Karena memang nyaliku tempe, aku tak melawan, dan itu akan baik untuk kesehatanku beberapa hari kedepan. Sebenarnya akum au saja memberi uang jajanku, hitung-hitung sedekah. Ibu selalu bilang bahwa sedekah adalah amal yang balasannya berkali-kali lipat. Tapi, sayangnya aku sudah keroncongan. Aku kelaparan. Aku juga sudah memesan mie instan dengan telur dan saus special dan es jeruk tanpa gula.
“Mana duit kau?” sergakknya, kali ini sambil menggenggam kerah bajuku.
Aku hendak mengeluarkan uang jajan lima ribu di saku celanaku itu. Namun, tiba-tiba Sama’at datang. “Oi!” bentaknya.
“Berani kau mengganggu kawan sekelasku?” benak Sama’at dengan nyalang matanya yang khas itu.
“Bruk!!” Sama’at menerjang anak yang mencengkeram kerahku itu dan ia terguling, lalu berdiri dan beranjak meninggalkan kami.
Aku dan Sama’at saling pandang beberapa detik, dan akhirnya tertawa bersama. Aku tak mengerti sikap Sama’at yang sebenarnya. Dulu ia begitu kasar dan seakan ingin menghajarku. Ia selalu mengejarku seperti Tom dan jerry. Tapi kini, ia malah membelaku. Sungguh, aku tak dapat membaca sikapnya, setidaknya tidak dengan mataku ini.