1.  

Aku melihatmu pergi di persimpangan jalan itu. Pada senja yang teduh dengan risau angin menghembus rambutku. Aku tak mengira kau akan pergi secepat itu. Lengan senja, aku berharap menjadi pendamping yang menemanimu sepanjang usia.

2.  

Tak ada lagi yang tersisa dari hidupku. Aku melihat berbaris Akasia dengan ranting yang masih sama pada hari-hari sebelum kau pergi. Kepergian adalah cara lain untuk menemukan yang lebih kuat dari sebuah pelukan masa lalu.

3.  

Langit di kepalaku seperti kata-kata yang kutulis ini. Aku menulis kau sebagai kata-kata biru yang mendampingiku sepanjang perjalanan. Tetapi takdir lebih kuat dari apa yang kuinginkan. Kini kau gelombang yang pandai menentukan arahmu sendiri.

4.  

Aku mengutuk diriku sendiri. Aku ingin jadi batu yang diam sepanjang musim. Aku ingin jadi burung yang bebas terbang tanpa ada rasa yang mengikat. Aku ingin tidak jadi apa pun sebagaimana aku saat ini.

5.  

Leluconmu waktu dulu menyembunyikan dirinya dalam diriku. Ada mata dalam diriku. Ada kau dalam seluruh hariku. Seringkali kita bertengkar-seolah seperti sepasang pelayan kafe tua yang kita jumpai di jalan yang sama ini.

6.  

Anak-anak burung mengibaskan ekor di kaca jendela saat kiat bangun dan melihat semua masih sama. Kecuali masa lalu. Pernah kita berjanji untuk senantiasa menyentuhkan kaki di masa kini sebagai perihal bahwa masa lalu sesungguhnya sudah tiada lagi.

7.  

Kita pernah sepakat untuk tak ada orang yang menyakiti kita. Sebab kita sudah lebih dahulu berjanji lebih mencintai diri kita dari hal-hal yang membuat kita rapuh dan menua.

8.  

Kita pernah seperti ini. Gelisah untuk tidak pernah melakukan apa pun. Hanya duduk di depan cermin dan membiarkan kesunyian melahap habis diri kita. sambil sesekali membaca koran dan menertawakan diri sendiri.

9.  

Duduk di atas kursi. Kita berdua. Kau memalingkan wajah. Kita mengecup hari yang sama dengan rasa yang berbeda. Tidak ada yang benar-benar mencintai dengan sungguh benar-benar. Sebab kita meyakini semua orang egois pada dirinya sendiri.

10.

Pernah kita ke pantai. Kau ingin jadi pasir yang diam membisu aku ingin jadi air laut yang menghabisi bagian dirimu satu demi satu. Kita menciptakan banyak jejak di sana sampai kita lupa hari sudah tengah malam dengan segala kepedihan dan rasa sakit.

11.

Di rumah kita mengurus diri kita sendiri. Kita tidak ingin lebih seperti orang-orang negara. Dalam diri mereka ada senjata yang setiap hari dapat membinasakan orang-orang yang mereka cintai.

12.

Hingga sore ini aku mengutuk diriku sendiri. Kau pergi untuk tidak pernah kembali. Semua yang pernah menumbuh pada akhirnya lenyap seperti rintik embun di siang hari.

13.

Seorang tukang becak melintasi persimpangan jalan ini. Ia menyanyikan lagu yang dulu pernah kunyanyikan padamu. Aku terhanyut ke dalamnya dan membayangkan kita bertengkar hingga bercak-bercak darah tumpah ke pipi tukang becak itu.

14.

Tapi aku menyadari persimpangan jalan ini akan menjadi rumah bagi setiap kepulanganku. Akan menjadi puisi yang kutulis melebihi puisi Kahlil Gibran dan Dorothea Rosa Herliany. Kau akan tertulis di sana sebagai kalimat yang tak pernah dibaca oleh siapa pun.

15.

Hujan tetiba turun dan ranting Akasia berceceran dari pepohonannya. Anak-anak berhamburan di jalan. Menikmati rinai hujan tanpa beban apa pun. Aku masih berdiri di persimpangan jalan ini untuk membiarkan semua tentangmu lenyap dari dalam kepalaku.

16.

Aku membayangkan tidak ada hal yang ingin kuratapi. Hujan masih bening. Persimpangan jalan ini masih kuat. Tanah masih cokelat. Aku masih ingin terus hidup.

17.

Aku ingin hidup dengan diriku sendiri. Tidak peduli siapapun dia. Aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama meski dengan orang yang berbeda.

18.

Aku ingin menjadi kuat dan meraih sebanyak mungkin yang ku ingin. Tetapi aku tidak ingin kau terus ada dalam diriku. Kau akan tumbuh pada pelukan-pelukan yang lain. Sementara aku pada pelukan diriku sendiri.

19.

Ingatanku tidak harus memberikan kembali padaku banyak hal tentangmu. Aku akan menulis sebanyak mungkin puisi. Puisi adalah hutan. Kata-kata adalah pepohonan. Aku menciptakan duniaku di sana dengan caraku sendiri.

20.

Sepenuhnya tidak ada yang lenyap dalam diriku. Aku hanya ingin membuat semuanya mengalir. Mengalir di dalam waktu. Hingga tiba waktu aku benar-benar kembali pada ada yang mengadakan.

21.

Hujan sudah reda dan hari sudah malam. Aku kembali. Tak ada yang menjemputku di depan pintu. Di dalam kamar aku menyalakan lampu. Pada mataku cahaya lampu seperti menghidupkan kesepian yang dengan cara apa pun tak bisa ku padamkan.

22.

Kesepian itu menumbuhkan ingatan di kepalaku. Ada ingatan kita di sana; yang lebih kuat dari pelukan bukan kepergianmu tapi jejak yang pernah tersusun. Dan sungguh, aku tak pernah tahu bagaimana caraku menghapusnya.

23.

Apakah kau juga begitu?