Peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance tidak pernah berbicara tentang hierarki intelek manusia. Malahan yang ada hanyalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan, sedemikian parahnya hingga umat manusia menjadi ragu apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang.
Sangatlah tidak ilmiah apabila kita menganggap peradaban modern saat ini, dengan segala presumsinya mengenai sifat manusia dan alam semesta yang mendasarinya bukanlah sebagai eksperimen yang gagal. Dan sesungguhnya riset ilmiah, jika tidak menjadi 'mandeg' karena rasionalisme dan empirisme yang totalitarian sudah barang tentu merupakan cara yang mudah untuk menyadarkan manusia modern bahwa peradaban modern sesungguhnya telah gagal karena kesalahan-kesalahan konsep yang melandasinya.
Dengan kata lain, peradaban modern telah ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial bagi manusia. Hal esensial inilah yang sebenarnya menjadi patokan utama maju dan mundurnya sebuah peradaban.
Nah, lalu di mana sebenarnya kita dapat menemukan sisi “yang hilang” dari peradaban modern saat ini? Tentu jawabannya akan sangat mudah kita dapatkan apabila kita benar-benar mendalami gagasan dari tokoh-tokoh besar Islam seperti al-Farabi, al-Kindi, al-Razi, al-Khawarizmi, Ibn Rusyd atau Ibn Sina.
Sekilas tentang Peradaban
Ketika pertama kali bangunan peradaban modern dirancang, lahir semacam asumsi dari kalangan para arsiteknya bahwa peradaban yang akan dibangun adalah peradaban tanpa Tuhan.
Asumsi semacam ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan asumsi yang pernah dibangun oleh kalangan Jahiliyah pada masa Nabi Muhammad saw hidup, di mana mereka mencoba membangun peradaban tanpa cahaya Tuhan. Bedanya, kegelapan peradaban pada masa itu tidaklah terlalu tersebar seperti saat ini, jadi mudah bagi siapa pun untuk melacak yang gelap pada masa itu.
Lain halnya dengan kehidupan saat ini, dimana kegelapan berkumpul tidak pada satu sosok atau satu kelompok tertentu, akan tetapi pada pola pikir yang dapat saja diikuti oleh banyak orang kapan pun dan dimana pun. Sehingga untuk melacak yang gelap bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Maka dari itu mengembalikan kembali pola dan cara berpikir yang benar menjadi sangat penting untuk dilakukan saat ini.
Kendati demikian, kita dapat mengambil benang merah mengapa sebuah peradaban dikatakan gelap dan peradaban lain dikatakan terang dan bercahaya. Sebuah peradaban dikatakan terang manakala keadilan menjadi fondasinya, cinta Tuhan dijadikan sebagai orientasinya serta kebenaran dijunjung tinggi atas segala nafsu dan keinginan individu atau kelompok.
Dalam hal ini kita pernah diingatkan oleh Ibn Sina akan perlunya menyingkap realitas sejati agar kesempurnaan manusia bisa terwujud, karena dari kesempurnaan manusia inilah peradaban luhur dapat lahir. Dan pada akhirnya peradaban tersebut mendorong manusia untuk terus berkreasi mengembangkan ilmu pengetahuan, namun pada saat yang sama manusia dituntut untuk berendah hati atas segala pencapaian yang ada. Artinya, proses menjadi penting dalam peradaban ini.
Berbeda dengan peradaban yang gelap di mana manusia tidak diajarkan untuk bagaimana mencintai Tuhan, melainkan hanya disuguhkan kehidupan berbasiskan materi. Ideologi materialisme menjadi panutan dalam peradaban ini. Keadilan menjadi tidak penting, karena yang utama adalah keberhasilan segelintir orang atau kelompok yang berkuasa. Cara apapun halal untuk dilakukan asalkan hasil itu yang dimaksud. Sehingga orientasi hasil menjadi ciri dari peradaban gelap ini.
Dari penjelasan tersebut di atas kita dapat melihat, bahwa ujung dari seluruh perjalanan peradaban modern sekarang ini adalah kemakmuran material, tingginya produktivitas, namun pada saat yang bersamaan telah terjadi pengeringan spritual hampir pada seluruh level kehidupan manusia modern.
Sehingga saat ini, manusia dituntut untuk melakukan ‘lompatan eksistensial’ yang dapat membawanya pada gerakan revolusi diri, yakni bergerak dari orientasi material menuju orientasi spritual, maka dari situ, yang akan lahir kemudian adalah sebuah peradaban besar dan bercahaya. Peradaban yang seperti inilah peradaban yang sesungguhnya dicita-citakan oleh para Nabi, para cendekiawan dan seluruh orang-orang arif di atas muka bumi ini.
Alternatif Pemikiran
Tak kalah pentingnya, yang dibutuhkan saat ini adalah berbagai alternatif pemikiran yang bisa dijadikan sebagai pegangan di tengah kehidupan yang semakin tidak beraturan dan cenderung chaos ini. Warisan khazanah intelektual yang telah diwariskan oleh para pemantik pijar peradaban Islam terkait bidang klasifikasi ilmu bisa dijadikan sebagai basis bagi terciptanya suatu kajian-kajian interdisipliner di mana seluruh ilmu pengetahuan sebenarnya berasal dari sumber yang sama.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sudah saatnya untuk mengkaji dengan serius berbagai pencapaian dari para pemantik pijar peradaban Islam tersebut. Sebut misalnya al-Farabi, al-Kindi, Ibn Rusyd atau mungkin Ibn Sina.
Jika memang ada anggapan bahwa pemikiran mereka sudah tidak lagi aktual tentu bukan berarti harus kita buang. Kita bisa belajar bagaimana etos kerja mereka, kita juga bisa belajar bagaimana keseriusan mereka dalam melakukan dialog-dialog kebudayaan dan peradaban.