Tahukah engkau bahwa sejak mimpi ini disusun oleh jalur-jalur peringatan; aku pun hampir melekat seperti berhala kecemasan
Sungut-sungut bergema di telingaku, dan menyucuk, dan menusuk; pelabelan — hingga menamai identitas baru dalam panggung nestapa
Tetapi tetap saja masih kususun sebuah cerita ini, dari bau tubuhnya; aku berusaha membangun lintas perlawatan mandiri.
Maab
Mata-mata bersikukuh-tatap, air mata berlarah-larah. Tangis menengadah, dunia melerak-gerah. Gores pilu gerentang-membentang, isak sedan meronta-lunta. Jerit derita tumpah-meruah. Tahun-laung mendengung duka. Luka dihadang, muka diterjang; buka nyanyian, tengok kehadiran.
Tanam Harap, Tanam Cemas
Lekukan-lekukan teluh terasa menyentuhku melalui pelipis; meraba, menyeka, bersilutu.
Dan decak liur seakan bergumpal menggenangi kelintaran mulut—menggigilkan gigi; menggeliatkan talum
Sebuah malam, saat ia menggali palang angin, berusaha kembali menerobos gerak-gerik bayanganku, berusaha sekuat jera,
namun semuanya gagal—kembali
Tak akan bisa, tak akan sanggup kau mendobrak misteriku
Periksalah segala sesuatu sebelum mampu. Agar terpejam ilmu kau yang lama!
Agar mereka tidak mengakuinya, menyetuinya
Perintahkan kisah paku sebelum menusukku
agar ia sukar menelusurinya
agar ia teringat kesalahannya
Sudah saatnya kau rasakan sarang-serang balikkan ini kunyahlah dan kuak jasadmu memekik abadi!
Sanggam Kekasihku Rembulan
Mimpi itu, tangan memuncratkan darah
Mimpi kembali, lekap kelamin asmara
Mimpi beruntun, membuai dua saudara
Mimpi kemudian, beradu ke lumbung goa
Mimpi lalu, mendekap ranum pasrah
Mimpi kini berdiam padu sosok dara
Dari Imajinasimu gelagapan pukul dua-dua
Dari Imajinasiku melambung lurus ke rampai bunga
Mari peluk lagi keringat ranjang kita,
Mari bersetubuh api gejolak cinta.
Putih
Sudah lama rasanya aku mendekam kegelapan ini—terkantuk-kantuk, terbatuk-batuk, mengutuk; harapanku.
Kala menatap ringkih gugusan lara, kala semakin tamak berjejal apa
Kemudian remang-remang menuju sinar, kemudian sekeliling terbias adu pandang
Putih!
bawakan aku sejumput tangis hingga sakit
Putih!
bawakan aku sejerat bengis hingga pahit
Putih!
bawakan aku, bawalah aku hinggap ke langit-langit
Biar kurasakan atap-atap hidupku, menunggu peraduanku
Bertemu nasibku, kubayangkan hari ini
Bertemu matiku; kumandangkan pergi ini
Bertemu Tuhanku; layakkah aku ini?
Bersih batin semoga kubawa
Suci beling semoga tak ternoda
Putihkah aku, gelapkah aku?
Jalanku; biarlah engkau dituntun oleh-Mu.
Menyusul Kariangau
Enam kilometer tiba di Pelabuhan Feri, lambung kapal duduk sila, kendaraan mengisi. Menghenti selancar berita, menyimak kemuning pagi.
Jam menunjuk orang sibuk bergantian. Kerah kemeja berpapas wewangian. Layar ponsel berdering-getar diabaikan, bakau menghijau dikawanan bekantan.
Ada yang memotret, ada yang menavigasi; Ada yang meneropong, ada yang menyepi. Kami membuka dunia dari kabar seorang penjelajah—bertukar cerita, berharap nasib.
Sambil sebentar menyelinap bertelimpuh kudapan, beli makanan lalu menampung perjalanan. Tangan merogoh kantong dari uang kembalian, untuk memberi hasil dan bersandar di masa depan.
Seperti Elang Menyongsong Angin
Ia bersewaka
dalam goa-goa sangkar
mematuk-katup hidup
menutup-maut hirup
Sementara diri tak sekuat sebentar
bulu-bulu menopang tubuh
tiba istirahatlah
sekujur badar
Barisan angin menyejukkan jiwa
cakrawala menembus angkasa
cakar-cakar! paruh tumpul!
gala-gala membikin lindung
Bergerak engkau, kembali!
kepakan sayap, mata membidik lesat
siul-menyuar peringatan,
senyap lingkar mengerjap lawan
Esok raja; berdikari
esok mangsa, tak bersisalak
Terbang engkau, kembali
puluhan tahun bergumul penghidupan
pengembara asing maju keluar
dalam wujud baru
Berlabuh engkau, lagi
seperti dulu-dulu bawa kekuatan
tapi bukan demikian kau semakin matang
bergolak melawan gerombolan
Sendiri engkau, sendiri!
pengelana kukuh tak risau kau hadapi
Engkau, sang raja angin!
elang tempuh, tak bertelut!
bawa makna kemenangan sejati
Hidup air kau batur,
hidup api kau kubur,
hidup tanah kau lumpur,
hidup angin kau atur.
Engkau adalah gerbang langit; engkau menerobos langit!
Jalan Pikiran dan Lintas Penghabisan
Tak terasa kami di jalan ini
jalan kebenaran yang dikemarikan
menyuguhi kebajikan, kebahagiaan
Di setiap daerah
gelar tersebar berhamburan
nama-nama, alamat, dan penghabisan
serta-merta elok
di rua penghijauan
Di tengah perjalanan,
kami bagai sepetak taman rumput,
bunga-bunga Lavender dan mata air
Rumput bagai kebenaran, yang akan terus tumbuh di hati tulus pencarinya
Lavender bagai perjuangan, yang selalu mekar melawan penindasan
Mata air bagai surgawi yang menjadi hilir energi keberserahan Ilahi.
Kufur Nikmat
Adakah yang lebih gelap dari malam? malam ini, rumah seperti kurungan penjara!
Di luar, Tuhan semakin tak terlihat;
atau mata ini yang membikin segala kufur dalam nikmat
Aku rindu mengucapkan doa-doa; ketika mulut mengalun tangis, memeluk batin. Ketika lafaz berirama janji, mengukur sepi
Malam-malam yang telah kuluapkan itu, sepanjang hidupnya, hanya untuk memendam rindu yang telah kupanjatkan
Aku tidak ingin berterus terang sekarang, mati juga tidak pun sebelum menggerus kekhilafan
Di manakah doa itu? mengapa dia tak kutemui caranya bersabda? adakah cara lain untuk membujuk-Nya?
Lonceng hidup ini; jangan sampai kehilangan bunyi yang terdenting asingnya
Ugahari Kehidupan
Aku ingin kesederhanaan itu melekat di kepribadianku
Entah bagaimana prosedurnya—aku akan berjuang; melawan malas yang berujung kesengsaraan, ataupun kenikmatan-kenikmatan yang menjebak.