Wonder adalah satu-satunya film drama tahun 2017 yang bikin air mata saya menetes lebih dari 3 tetes. Anda yang pernah melewati masa kanak dan sudah memiliki anak pasti akan emosional menonton film ini. Sangat emosional.

Memang film ini terlihat berupaya memancing emosi penonton dengan beberapa adegan klise yang membuat saya tidak nyaman dan tidak membuat emosi saya membuncah. Tapi adegan-adegan klise tidak sedominan adegan-adegan yang disajikan dengan segar dan menarik.

Film Wonder dibuka dengan adegan slow motion mengesankan. Nampak astronot mengambang seperti di angkasa luar, yang ternyata bukan benar-benar seorang astronot dan bukan di angkasa luar, tapi seorang bocah mengenakan helm astronot mainan di dalam kamarnya yang langit-langitnya berlukiskan angkasa luar. Ia sedang berimajinasi berada sendirian di angkasa luar.

Adegan pembuka itu dapat dijadikan panduan kita tentang apa yang ada dalam benak bocah bernama August "Auggie" Pullman (Jacob Tremblay) itu, yang menjadi pusat cerita dalam film yang disutradarai Stephen Chbosky (sebelumnya menggarap film luar biasa The Perks of Being a Wallflower) ini.

Auggie adalah karakter fiksi yang bersumber dari novel laris karya RJ. Palacio yang diadaptasi ke dalam film ini. Ia digambarkan berusia 10 tahun dan suka mengenakan benda itu, bukan hanya karena ia ingin menjadi astronot dan menyukai film Star Wars, tapi juga dia merasa nyaman karena helm itu menutupi sekujur wajahnya yang ia pikir orang lain akan menilai wajahya jelek dan menakutkan, terutama saat berada di luar rumah.

Adapun angkasa luar, adalah tempat hening di mana Auggie tidak perlu khawatir ada orang lain menatap wajahnya dengan pandangan "tidak lumrah."

Ia memang memiliki wajah dengan bekas-bekas luka operasi, 27 kali operasi, supaya ia bisa melihat, bernafas, dan mendengar. Karena ia lahir dengan wajah tidak seperti wajah bayi pada umumnya, disebabkan kelainan genetik langka: Treacher Collins.

Ibunya, Isabel Pullman (Julia Robert) memutuskan bahwa Auggie sudah waktunya untuk tidak lagi belajar di rumah, homeschooling. Auggie perlu berbaur dengan teman-teman sebayanya di sekolah umum, kelas 5. Tidak di sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Meski Auggie setuju, itu nampak bukan keputusan yang tepat. Suaminya, Nate Pullman (Owen Wilson) agak keberatan dengan keputusan istrinya. Ia khawatir sekolah akan menghancurkan mental Auggie dan Auggie menjadi sasaran bullying, karena keberadaan wajahnya. Tapi sang Ibu bersikeras dan Auggie pun untuk pertama kalinya berada di tengah anak-anak sebayanya, di sekolah, tanpa mengenakan helm astronot mainan.

Film ini dan juga Jacob Tremblay dengan luar biasa melukiskan apa yang dirasakan Auggie dan respons-responsnya pada hari-hari pertama ia sekolah, atas cara anak-anak sebayanya menatap wajahnya, saat ia mendapatkan bully dan cara Auggie mendapatkan teman. Baik dilukiskan melalui narasi, dialog, adegan, dan penggambaran suasana. Ah, terutama metafor-metafor dan imajinasi-imajinasi Auggie melalui karakter-karakter Star Wars.

Penonton bisa begitu emosional dengan memahami situasi yang dihadapi Auggie: saat ia di-bully, dikhianati satu-satunya kawan yang mau akrab dengannya, dan situasi saat ia berada di satu tempat yang tidak ia harapkan berada. Karena hal itu adalah situasi yang hampir semua orang yang pernah mengalami masa kanak pernah merasakan perasaan negatif dan situasi emosional tersebut. Tidak harus anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti Auggie. Itu mengapa film ini begitu menarik untuk ditonton bagi semua usia.

Hal menarik lain dari film ini, memang, Auggie menjadi pusat dalam plot-plot film ini, tapi kisah Auggie tidak hanya dinarasikan dari sudut pandang Auggie saja. Juga dinarasikan dari perspektif kakaknya, Olivia "Via" Pullman (Izabela Vidovic); temannya, Jack Will (Noah Jupe); dan Miranda (Danielle Rose). Variasi sudut pandang ini menjadikan film ini berwarna tidak hanya dari perspektif penceritaan, tapi juga memberikan kejutan-kejutan yang tidak terduga, tentang orang-orang terdekat Auggie, tentu yang terkait dengan Auggie.

Baik dari sudut pandang Auggie sendiri maupun Via, Auggie beruntung memiliki seorang ibu yang memberikan perhatian penuh pada Auggie. Sang Ibu mencurahkan seluruh hidupnya pada anak kedua dari dua bersaudara itu, sejak ia melahirkannya.

Sang Ibu tidak peduli karya tesisnya terbengkalai. Ia menilai Auggie butuh dirinya sepenuhnya, saat melewati 27 kali operasi di wajahnya, memberikan pendidikan di rumah, hingga memberikan kepercayaan pada Auggie saat ia merasa jatuh dan merundungi kondisi wajahnya sendiri.

Sang Ibu berharap Auggie menjalani masa kanaknya sebagaimana kakaknya, Via, dan anak-anak sebayanya. Menyekolahkan Auggie di sekolah umum adalah cara dia mewujudkan harapannya.

Sebagaimana suaminya, sang Ibu juga cemas Auggie tidak akan bertahan di sekolah. Tapi ia hanya bisa berharap teman-teman sebaya Auggie bersikap manis pada Auggie dan memberikan dorongan positif saat Auggie hampir menyerah.

Yang pasti, sang Ibu tidak pernah menyerah untuk kebaikan Auggie. Ia adalah ibu yang dahsyat. Dan keputusan menyekolahkan Auggie memang keputusan yang tepat.

"... Kakakku (Via) berhak mendapatkan standing applause selalu ada untuk aku. Ayahku juga berhak, karena selalu membuat kami tertawa. Dan ibuku berhak, terutama karena tidak pernah menyerah pada apa pun, terutama padaku."

Bagaimanapun, sang Ibu juga manusia. Via menganggap Auggie adalah pusat atau matahari dalam keluarga. Ia, ibu, dan ayahnya adalah planet-planet yang mengelilinginya, yang memberikan perhatian penuh pada Auggie. Bahkan Via merasa hidupnya dalam bayang-bayang Auggie.

Dan, Via merasa, sejak Auggie lahir, sang Ibu sering mengabaikannya. Via sadar, sikap sang Ibu itu "benar" dengan memberikan perhatian sepenuhnya pada Auggie, karena adiknya membutuhkannya secara khusus. Tapi Via tetap merasa tidak lagi diperhatikan.

Soal seorang Ibu yang bersikap "benar" pada anaknya, saya teringat film drama keluarga lain yang juga cukup membuat saya emosional, Gifted (2017). Dalam film ini, bukan sebagai cerita utama, sang Ibu mendidik dan memperlakukan putrinya yang memiliki kecerdasan matematika yang luar biasa, dengan cara yang menurutnya benar. Sang Putri saat beranjak dewasa, sebelum bunuh diri, meminta saudaranya membesarkan bayinya yang baru dilahirkan, supaya tidak dibesarkan di bawah asuhan sang Ibu.

"Jika harus memilih antara menjadi benar dan menjadi baik, pilihlah menjadi baik," kata Mr. Browne, Guru kelasnya Auggie.

Selamat Hari Ibu!