Pasangan turis dari London sedang berperahu di Loch Ness, 240 kilometer di utara Edinburgh, ketika tiba-tiba seekor hewan aneh muncul di tengah danau yang berbentuk kanal itu.
"Leher hewan itu panjang, seperti jerapah," tutur George Spicer, turis London yang kaget itu. "Bentuknya mirip naga – atau binatang pra sejarah yang belum pernah saya lihat seumur hidup."
Kesaksian Spicer dimuat di koran lokal. Lambat tapi pasti, berita singkat di tahun 1933 itu merambat ke delapan penjuru angin. Berita-berita selanjutnya bermunculan. Juga di koran-koran besar dan serius, yang sebelumnya tak berminat pada sensasi.
Seperti semua kisah ajaib lainnya, cerita 'monster Loch Ness' ditambahi beberapa bumbu di mulut kelima, ketujuh, dan seterusnya. Ketika yang mendengar mencapai angka ribuan, cerita sudah sangat jauh dari versi asli.
Kalangan terpelajar ikut turun pena. Ada yang menulis: hewan dengan ciri-ciri tersebut memang pernah ditemukan sejak abad ke-6.
Warga lokal, juga pemerintah setempat, dengan cepat dan cerdik menunggangi gelombang potensi ketakjuban itu. Dalam waktu singkat, buahnya sudah bisa dipetik.
Loch Ness, terletak di kota Inverness yang tak gampang dicapai, dengan cepat didatangi oleh banyak sekali orang, bukan hanya dari seluruh Inggris. Rasa penasaran pun membara di dada orang Jerman, Skandinavia, Amerika, Jepang, dan lain sebagainya.
Dua hari lalu, ada enam orang Indonesia ikut terkena virus penasaran itu, dan memutuskan untuk bertualang ke tempat yang mereka tahu sangat dingin – sebab di titik berangkat mereka pun, Edinburgh, suhu tiarap hingga ke titik nol.
*
Bis Volvo yang kami tumpangi berjalan gagah menyusuri jalan-jalan kecil Edinburgh. Menikung di sana, memutar di ujung sini, lalu lurus. Lurus terus.
Dan pelan-pelan suasana pun berubah. Jalanan kian sepi – dan terus sepi hingga 240 kilometer kemudian. Hampir tiada seorang pun yang terlihat di jalan kecil yang lengang itu. Bis kami adalah tempat yang paling ramai – ada 27 orang dari Jerman, Filipina, Inggris.
Supir bis – seorang berkepala licin yang mengaku bernama Brian ("a boring name") – mengerjakan tugas empat orang: jadi ketua rombongan, disc jokey, dan terutama juru penerang yang sangat informatif, selain supir yang andal.
Brian bukan hanya hafal lika-liku jalanan, tapi memberi kami pemahaman latar belakang sejarah, politik, dan budaya tempat-tempat yang kami lewati. Lengkap dengan tokoh-tokoh utama yang berperan dalam aneka peristiwa di tempat-tempat itu.
Jika seorang profesor sejarah berhalangan mengajar di kampusnya, Brian pasti sanggup menggantikannya.
Tiba-tiba ia bilang: 10 menit lagi kita akan melewati lokasi shooting "Skyfall". Ia bercerita sedikit tentang serial James Bond yang disutradarai Sam Mendes itu, yang masuk nominasi Oscar pertama kali dalam enam dekade serial Bond.
Sayup-sayup intro lagu "Skyfall" karya Adelle (pemenang Oscar untuk theme song) terdengar dari sound system Brian.
This is the end
Hold your breath and count to ten
Feel the earth move and then
Hear my heart burst again
Lalu:
Let the sky fall
When it crumbles
We will stand tall
Face it all together
Let the sky fall
When it crumbles
We will stand tall
Face it all together
At skyfall
At skyfall
Skyfall is where we start
A thousand miles and poles apart
Where worlds collide and days are dark
You may have my number, you can take my name
But you’ll never have my heart
Digigit dingin yang melambatkan arus darah, saya tetap merinding mendengar kejeniusan Adelle, yang mampu mencipta lagu tema tanpa keluar dari "pakem" musik Bond; juga dengan aransemen dan orkestrasi yang sangat rapi dan proporsional.
*
Brian terus berkisah. Semuanya dilandasi suatu kebanggaan akan tradisi Skot, yang berbeda dari Inggris, "tapi kami rela bergabung dalam Britania Raya". Ia bangga orang Skot melanglang hingga ke Hongkong dan tempat-tempat jauh.
"Presiden Trump itu separuh Skot," kata Brian dengan datar di pengeras suara, seolah ia mengatakannya bukan sambil menyetir bis besar yang butuh konsentrasi yang juga besar.
Kami terus menyaksikan pemandangan yang sama di kiri-kanan jalan; suatu monotoni yang lebih menakjubkan ketimbang membosankan.
Rantai gunung dan bukit berbaris tanpa putus. Semuanya tak berpohon. Warnanya pun sama belaka: cokelat tanah. Semuanya bertopi salju – bagaikan kue moci raksasa yang teronggok begitu saja di sana-sini.
Kadang-kadang kami melewati hutan pekat berisi barisan pohon sangat tinggi, yang posisinya akan disebut Iwan Simatupang "tegak lurus dengan langit."
Dataran di sekitar barisan gunung pun sama belaka: penuh genangan air di banyak bagiannya, dengan rerumputan dan perdu yang tak kami kenal. Barangkali yang tertarik dengannya hanya para geolog. Dari pengamatan di sana, mereka boleh berharap bisa sedikit menyibak tabir rahasia proses pembentukan bumi (dan akhirnya, siapa tahu, keseluruhan alam semesta).
"Beberapa menit lagi kita tiba di lokasi pembuatan film serial Harry Potter: The Prisoner of Azkaban," ujar Brian lagi. Ia bercerita sedikit tentang pencipta Potter, J.K. Rowling.
Brian tampak akrab dengan jagad Hollywood; dan ia fasih menyebut beberapa film lagi yang terkait dengan Skotlandia, termasuk "Braveheart".
Juga "Victoria & Abdul", kisah nyata tentang Ratu Victoria (dimainkan Judi Dench dengan gemilang) yang menjalin hubungan yang mendekati relasi asmara dengan Abdul, pelayan Muslim yang diberikan sebagai hadiah oleh penguasa kolonial di India.
Masih ada beberapa loch (lake, danau) yang kami lewati sebelum tiba di "promised lake" dengan monster Nessie-nya – suatu legenda ringkas yang terus diperkaya oleh para korban yang memilih untuk percaya dan mengembangkan ceritanya, ketimbang jengkel karena merasa tertipu dongeng anak-anak.
***
Menaiki kapal kecil "Spirit of Loch Ness" dari dermaga Caledonian Canal, kami menyusuri danau sepanjang hampir 40 kilometer. Monitor sensor kapal memberi info: kedalaman danau antara 30an hingga 200an meter.
Pastilah blackness dasar danau itu sangat tinggi, sampai air danau terlihat hitam – maka Loch Ness juga dikenal sebagai "danau air hitam."
Dengan lebar sekitar 70 meter, kiri-kanan Loch Ness dipagari oleh tebing securam 75 derajat. Di beberapa bagian tebing itu kadang muncul kambing-kambing liar putih, hitam, atau kelabu.
Tidak akan ada pemburu yang mengintai kambing-kambing itu, sebab lahan berbukit sepanjang puluhan kilometer tersebut adalah milik pribadi. Salah satu dari dua pemiliknya adalah keluarga Sam Walton, pemilik jaringan pasar swalayan Amerika berkaryawan dua juta orang, Wal-Mart.
"Sejak mereka beli perbukitan ini sekian tahun lalu," kata John, staf kapal, "setahu saya, baru dua kali mereka datang ke tempat ini."
Saya tak tega menanya John hal yang tak mungkin mampu ia jawab: untuk apa orang-orang itu membeli tebing puluhan kilometer yang ternyata sangat jarang mereka sentuh.
Di lantai 1 kabin kapal, John menghibur 60an penumpang dengan banyak info tentang danau legendaris kebanggaan kampungnya itu.
"Saya mau tahu, ada berapa orang yang percaya tentang Nessie si monster Loch Ness?" tanyanya tiba-tiba kepada hadirin. Sejumlah orang mengacungkan tangan.
"Wah, ini memecahkan rekor!" kata John, dengan gembira dan terkesan kaget sungguhan. "Kemarin, dari 200 orang, hanya satu yang percaya. Terima kasih karena Anda mempercayai cerita danau kami."
Saya duga, besok sore pemuda 20an tahun itu akan berkata sama: "Kemarin, dari 180 orang, hanya dua yang percaya..."
Lalu John menambahi ceritanya dengan banyak bumbu – semuanya disampaikan dengan nada bahwa kisah monster Loch Ness itu memang dongeng semata. Saya pun sudah lama mendengar bahwa foto monster di tengah danau itu palsu.
Ringkasnya: jika pada 1933 istilah "hoax" sudah dikenal luas, pastilah seluruh cerita tentang Nessie – suatu penamaan yang hangat untuk monster perempuan – akan diberi stempel itu oleh siapa saja yang berpikir wajar.
Hoax monster Loch Ness adalah contoh yang baik tentang bagaimana sebuah dongeng dimanfaatkan dengan cemerlang untuk kepentingan ekonomi warga dan pemerintah setempat.
Tak jelas apakah hoax itu dirancang sejak awal, dengan membangun cerita turis Inggris yang pertama kali melihat Nessie, atau ide pemanfaatannya disusun belakangan.
Yang jelas: dongeng Nessie, "hewan mirip naga yang menyerupai binatang pra-sejarah", sukses gemilang dalam memikat jutaan turis berkunjung dan membelanjakan uang mereka di kawasan sekitar Loch Ness.
*
Kami berenam termasuk dalam jutaan orang yang mengunjungi Loch Ness sejak 85 tahun lalu. Kepala rombongan Tatat Rahmita Utami mengatur semua teknis perjalanan dengan rapi.
Kami bertiga – Ichan Loulembah, Katamsi Ginano, dan saya – lebih mirip tawanan perang yang nurut saja diatur kepala rombongan, yang seakan mau menukar kami dengan teman-temannya yang ditawan musuh.
Dua peserta lain bergabung dari Jerman, yang berjarak dua jam terbang ke Edinburgh. Dan mereka memang seperti tawanan sungguhan: Haikal Sulaiman (putra tunggal Tatat yang bekerja di perusahaan telekom Jerman) dan istrinya, Chana, ahli gizi yang sedang kuliah lanjutan di sana.
Tapi kepasrahan kami pada Tatat membuahkan berkah besar. "Ekspedisi Loch Ness" kami menjadi perjalanan mengesankan yang akan kami kenang sampai bertahun-tahun nanti.
Tentu saja kami ke danau panjang itu bukan karena percaya pada adanya Nessie dan berharap bisa memergokinya di tengah danau. Kami rasa kami sudah terlalu dewasa untuk tertipu oleh dongeng anak-anak itu.
Warga dan pemerintah lokal pun tidak lagi mengeksploitasi dongeng tersebut untuk keperluan bisnis pariwisata. Mereka tampaknya insaf tentang adanya problem etis dari meraih keuntungan finansial dari suatu hoax yang didesain rapi – dan penyempurnaannya dikerjakan sendiri oleh korban-korbannya.
Mereka percaya: keindahan dan keunikan kawasan Loch Ness sudah memadai untuk memikat turis, meski sisa legenda Nessie mungkin saja masih dijadikan landasan awal.
Tapi setidaknya, setelah pengunjung tiba di sana, kisah Nessie disajikan dengan nada kocak, dengan gaya meledek orang lain yang percaya dan juga diri sendiri.
Semua gaya dan cara bercerita itu memang disajikan untuk membuat orang dengan gampang menyimpulkan bahwa cerita itu hanya dongeng belaka, yang tidak pantas untuk konsumsi intelektual orang dewasa.
*
Hari mulai gelap ketika kami pulang dari Loch Ness. Dalam perjalanan ke Edinburgh itu, Brian tetap setia menghibur kami dengan kisah-kisah Skotnya. Juga dengan "Auld Lang Syne" (the best national anthem in the world) dan "Four Hundred Miles", yang bukan dinyanyikan oleh Joan Baez sebagaimana yang saya tahu sejak kecil.
Persis dua belas jam waktu yang kami habiskan sejak keluar hari itu hingga masuk lagi ke hotel. Sebuah perjalanan yang kegembiraannya jauh melampaui kerasnya gigitan hawa dingin yang semakin menggigilkan tubuh yang terbungkus empat lapis pakaian.
Dan berkah terbesar dari suatu wisata bukanlah membeli aneka barang yang kita jumpai di sepanjang perjalanan. Berkah terbesarnya adalah: kemampuan melihat barang-barang yang kita miliki di rumah, barangkali juga sambil memandang diri kita sendiri, dengan mata baru.