Saat ini, kita berada dalam era globalisasi di mana teknologi menjadi garda terdepan dalam setiap aspek kehidupan. Teknologi tidak pernah absen menjadi sarana mempermudah setiap pekerjaan manusia, dari sekadar membaca berita, membeli barang dan makanan, mentransfer pulsa dan uang, dan lainnya. 

Namun, seyogyanya teknologi tidak menjadikan kita tercerabut dari akar lokalitas daerah kita masing-masing. Teknologi perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dan ramah terhadap perkembangan kekayaan lokal daerah.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang berbhineka tunggal ika, mutlak bagi kita untuk andil dalam melestarikan berbagai kebudayaan khas nusantara. Mulai dari pakaian adat, lagu daerah, tarian, rumah adat, senjata, dan lainnya. Termasuk di dalamnya kekayaan yang bersifat abstrak, seperti falsafah, norma, tingkah laku, prinsip hidup, dan lainnya. 

Melalui media tersebut diharapkan mampu tercipta sebuah pemahaman adanya konsensus bersama untuk saling menjaga dan menghargai. Sehingga mewujudkan rasa kebersamaan dan meningkatkan hubungan yang humanis sebagai sesama warga negara Indonesia.

Nilai-Nilai Luhur Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat khas yang menjadi salah satu bagian terbesar nusantara (baca: Indonesia). Budaya Jawa dengan segala pernak-perniknya memiliki andil dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga tak mengherankan, Taman Siswa, salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia menjadikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai dasar pengembangan pendidikannya.

Menurut Ki Tyasno Sudarto, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa (2007) menjabarkan terdapat kajian filosofis nilai-nilai luhur (supreme values) yang merupakan pedoman hidup (guiding principles) masyarakat Jawa. 

Pedoman tersebut dikenal dengan Tri Rahayu (tiga kesejahteraan), meliputi: a) mamayu hayuning salira (hidup untuk meningkatkan kualitas diri); b) mamayu hayuning bangsa (berjuang untuk Negara dan bangsa); dan c) mamayu hayuning bawana (membangun kesejahteraan dunia).

Dari konsep Ki Tyasno dapat dipahami bahwa pada hakikatnya masyarakat Jawa mengidealkan adanya keseimbangan tiga aspek, yaitu individual, nasional, dan internasional. Peningkatan kualitas diri sebagai modal dasar, sehingga seseorang diharapkan selalu menempa diri, belajar, dan peka terhadap situasi sosial masyarakat sekitar. 

Hal tersebut sebagai bekal untuk mampu berandil dalam mewujudkan kesejahteraan dalam level yang lebih tinggi, yaitu nasional (mamayu hayuning bangsa) dan internasional (mamayu hayuning bawana).

Untuk mencapai konsep Tri Rahayu di atas, maka manusia perlu memahami, menghayati, serta melaksanakan tugas suci yang tercantum dalam Tri Satya Brata (Tiga Ikrar Bertindak), yaitu: a) kesejahteraan dunia bergantung kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa (rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa); b) tugas utama manusia adalah menjaga keselamatan Negara (dharmaning manungsa mahanani rahayuning nagara); c) keselamatan manusia ditentukan pada perilaku dan rasa kemanusiaannya (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane).

Sementara itu dalam Serat Cemporet terkandung prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup masyarakat Jawa. Serat Cemporet merupakan maha karya Ranggawarsita, serat tersebut menggunakan bahasa yang indah dan tinggi. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam serat tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan. 

Tingkat pertama adalah rigen, mugen, tegen. Tingkat kedua adalah gemi, nastiti, ngati-ati. Dan tingkat ketiga adalah gumati, mangerti, miranti (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 67).

Adapun pada tingkatan pertama, rigen bermakna mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas, sampai selesai dengan hasil yang memuaskan. Mugen bermakna mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya mantap serta setia menjalani pekerjaan. Tegen bermakna tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja.

Tingkatan kedua, gemi bermakna mampu mengelola, mengatur, tidak boros, dan bersifat hemat. Nastiti maknanya cermat, memperhitungkan segala sesuatunya, dan memperhitungkan segala akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati artinya hati-hati dan sikap batin yang selalu waspada.

Tingkatan ketiga, gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan memelihara sesuatu. Mangerti maknanya empan papan (keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah berbicara atau bertindak. 

Miranti berarti memenuhi keinginan, menaati peraturan yang berlaku, mengikuti SOP (standard operating procedures), dapat membagi waktu dengan baik, dan rajin dalam bekerja.

Pada mulanya prinsip-prinsip di atas merupakan ajaran kepada seorang gadis Jawa yang hendak menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Namun, seiring berjalannya waktu, secara esensial ajaran tersebut dapat dipergunakan bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Utamanya dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang tata titi tentrem kertoraharjo.

Kerja-kerja Kemanusiaan Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan tingkat rasa sosial dan solidaritas tinggi. Hal tersebut terbukti dengan berbagai ajaran (wewarah) yang terdapat dalam teks-teks klasik Jawa, seperti serat, babat, kidung, dan lainnya. Pada intinya setiap ajaran laku wong Jawa dalam rangka menguatkan dan menunjukkan eksistensi rasa kamanungsane (kemanusiaannya).

Secara sederhana kerja-kerja kemanusiaan masyarakat Jawa telah teraktualisasi dan tercermin dalam peri kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari. Kerja-kerja kemanusiaan tersebut, menurut hemat penulis tergambar dalam berbagai ciri khas nilai-nilai aplikatif berikut:

Pertama, pasrah dan nerima, maksudnya menerima takdir penciptaan dari Tuhan. Dari sini dipahami adanya nilai spiritual dan ketuhanan masyarakat Jawa, hal ini tergambar dari ungkapan manungsa sadrema nglampahi, kadya wayang upamane (manusia hanya menjalani, seperti halnya wayang). Melalui sikap ini manusia diajarkan untuk bersifat ikhlas, lapang dada, dan mampu menggunakan anugerah penciptaan untuk menebarkan manfaat sebesar-besarnya kepada sesama makhluk-Nya.  

Kedua, pangerten (pengertian). Masyarakat Jawa selalu berusaha menjadi pribadi yang pengertian. Memberikan bantuan tanpa diminta, berbuat baik tanpa mengharap balasan (datan melik pawehing liyan). Selalu berusaha menyesuaikan situasi dan kondisi di mana dan kapan ia berada (empan papan).

Ketiga, andhap asor atau lembah manah, artinya rendah hati dan tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah hati maksudnya tidak mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan. Kemudian juga bertindak santun dengan menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Sikap ini juga bercirikan mampu menahan diri jika dicela dan tidak mudah marah, serta mawas diri terhadap kekurangan dan kelemahan.

Keempat, guyub rukun dan tulung tinulung, maksudnya selalu menjaga kondusitifitas masyarakat dengan saling menjaga kerukunan dan tolong menolong. Jika ada tetangga yang mempunyai gawe (hajatan), maka masyarakat berbondong-bondong untuk memberikan bantuan. Jika ada saudara atau tetangga terkena musibah bersama-sama untuk saling meringankan sesuai kemampuan masing-masing.

Kelima, ngregani (menghargai). Sikap menghargai akan mampu menjaga kondusifitas dan stabilitas masyarakat. Seringkali cekcok mulut dan perdebatan di masyarakat terjadi karena tidak adanya sikap saling menghargai. Melalui sikap ini, para tetangga yang telah diberikan bantuan akan senyum serta mengucapkan terima kasih sebagai bentuk apresiasi dan rasa penghargaannya.

Kerja-kerja kemanusiaan di atas, sejalan dengan Ki Ageng Soerjomentaram yang menyatakan bahwa manusia harus bersifat satria (ksatrya). Satria Jawa dalam kehidupan selalu berlandaskan nilai ajaran berbudi bawa leksana (berbudi luhur dan rendah hati) dan kaprawiran (keperwiraan). 

Keperwiraan berarti selalu berlaku perwira dalam segala hal dan memiliki sikap temen (jujur), tanggap (antisipatif), tatag (teguh hati), tangguh (tidak mudah menyerah), tanggon (berani karena benar), dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan pemberian orang lain).

Begitu kaya khasanah prinsip hidup laku wong Jawa sebagai salah satu dasar dan prinsip dalam menjalankan kerja-kerja kemanusiaan. Prinsip-prinsip yang penulis sampaikan merupakan sebagian kecil dari totalitas kekayaan kebudayaan Jawa yang adiluhung. Di dalam berbagai prinsip tersebut termuat begitu banyak kearifan lokal lakuwong Jawa yang pada intinya sebagai bentuk ikhtiar orang Jawa untuk melahirkan generasi yang humanis. Semoga.