Stereotip Bule di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan segudang keindahan alam dan keunikan yang menyelimutinya. Tak dapat dipungkiri banyak sekali keindahan alam Indonesia yang dapat memikat mata, menyejukkan jiwa dan menenangkan hati setiap orang.
Keindahan alam ini lantas banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata untuk orang – orang melepas penat dari padatnya aktivitas. Tak hanya menarik masyarakat lokal, namun ternyata banyak sekali orang dari negara lain yang juga tertarik untuk menikmati keindahan alam Indonesia.
Dari sekian banyak destinasi wisata di Indonesia, pantai menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi para turis asing atau yang sering disebut sebagai bule. Bali sendiri adalah pulau yang memiliki banyak pantai, sehingga hal tersebut membuat para bule lebih memilih Bali sebagai tempat untuk menghabiskan waktu.
Adanya kehadiran para turis asing atau bule di negara Indonesia ternyata membuat sebagian besar masyarakat Indonesia merasa kagum dan menganggap mereka superior, sehingga sudah tak asing lagi apabila kita menemukan masyarakat lokal yang secara tiba-tiba mengajak para bule untuk berfoto walaupun mereka bukanlah artis ataupun selebriti terkenal.
Fenomena bule yang menjadi begitu superior sejatinya terjadi sudah cukup lama, namun memang menjadi semakin masif semenjak adanya perkembangan gadget di Indonesia. Mungkin fenomena ini terlihat tidak begitu penting, namun perlu diketahui bahwa ada banyak hal penting yang ternyata melatarbelakangi fenomena ini.
Sebelum melangkah lebih jauh, Kata ‘bule’ sendiri berasal dari kata ‘bulai’ yang dalam KBBI berarti putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen. Dalam hal ini kata ‘bule’ merujuk pada orang-orang asing yang berkulit putih di masa lampau. Namun, saat ini kata ‘bule’ lebih banyak digunakan sebagai panggilan kepada orang-orang asing yang berada di Indonesia.
Penyebab utama pada fenomena mengajak bule berfoto dimulai dari stereotip yang salah tentang mereka. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengalami miskonsepsi terhadap orang asing atau bule.
Masih banyak yang beranggapan bahwa bule merupakan seseorang dengan segudang kekayaan, berdompet tebal dan memiliki segalanya. Sedangkan pada kenyataannya bisa saja mereka hanyalah orang biasa yang hanya ingin berlibur ke Indonesia.
Pandangan masyarakat Indonesia pada bule ini ternyata berkaitan dengan mental inlander yang merupakan warisan masa lalu, di mana bangsa kita memandang bahwa bangsa lain jauh lebih baik dibanding bangsanya sendiri. Hal ini kemudian diperparah oleh rasa tidak percaya diri yang dimiliki oleh sebagian akibat standar yang dibangun oleh media saat ini.
Dalam berbagai media bisa di lihat bahwa banyak sekali artis cantik dan tampan yang selalu memiliki beberapa hal, sepeti berkulit putih, tinggi, berbadan ideal dan juga memiliki poin plus jika berwajah blasteran.
Hal ini seolah menjadi standar yang harus diikuti agar dapat memenuhi rasa tidak percaya diri yang ada dalam masyarakat. Sehingga, tanpa disadari, standar kecantikan yang terbentuk telah berhasil membuat orang asing semakin terlihat begitu superior di mata masyarakat kita.
Berkenalan dengan Strukturalisme
Gagasan umum mengenai struktur dalam sudut pandang klasik mengacu pada masyarakat dan kebudayaan yang merupakan bagian dari struktur sosial besar, dimana setiap individu yang ada dalam lingkup struktur tersebut tidak akan bisa bertindak secara bebas, sebab sudah terikat dan dikontrol oleh sistem yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
Strukturalisme merupakan teori yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, Barthes, Foucault, Lacan, dan Derrida. Kelima filsuf strukturalis ini menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang terkungkung oleh struktur ataupun sistem yang tanpa sadar mempengaruhi kesadaran dalam diri mereka.
Namun, dibalik itu semua ada seorang Ferdinand de Saussure yang juga berjasa dalam perkembangan awal dari strukturalisme.
Strukturalisme menurut de Saussure memiliki empat gagasan dasar yaitu, Diakronis-Sinkronis, Langue-Parole, Sintagmatik-Paradigmatik (Asosiatif), Penanda-Petanda. Diakronis-Sinkronis adalah sebuah penelitian menurut perkembangannya (Diakronis), dan juga penelitian menurut unsur-unsur yang sezaman (Sinkronis). Langue-Parole adalah penelitian bahasa yang telah menjadi universal atau disepakati bersama (Langue), dan penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara Individual (Parole).
Sintagmatik-Paradigmatik sendiri adalah hubungan antara unsur yang berurutan (Sintagmatik), serta hubungan antara unsur-unsur yang hadir dan tidak hadir, dan dapat saling menggantikan serta bersifat asosiatif (Paradigmatik). Penanda-Petanda adalah penanda sebagai imaji dari bunyi dan petanda sebagai konsep dari pemikiran.
Konsep menarik juga datang dari Levi-Strauss di mana dalam teorinya ia banyak mengembangkan strurkturalisme linguistik dalam antropologi sosial dan budaya. Menariknya Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious.
Menurut Levi-Staruss struktur terhadap realitas bisa dibangun dengan cara berpikir. Berpikir ini sendiri dilakukan dengan cara klasifikasi, karena proses klasifikasi ini dilakukan secara tidak sadar maka subjek tidak berperan dalam hal tersebut. Pemikiran tersebut tidak berasal dari suatu subjek atau biasa disebut une pensee sans sujet.
Benang Merah dari Sistem yang Tercipta
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terkungkung dalam sebuah sistem yang sudah ada. Sadar ataupun tidaknya manusia akan struktur itu, tidak akan banyak mengubah sistem atau struktur yang sudah tercipta sebelumnya.
Fenomena mengajak para bule berfoto bisa menjadi gambaran jelas bagaimana tingkah laku manusia saat ini sudah terikat oleh struktur yang ada. Sebab, dalam kenyataannya fenomena ini tercipta dari serangkaian alasan yang dimulai dari masa lampau.
Mari kita mulai dari gagasan de Saussure, yaitu diakronis-sinkronis yang dapat menjelaskan benang merah antara strukturalisme dan fenomena mengajak bule berfoto. Sinkronis yang dimaksud dalam hal ini ialah kondisi saat bangsa Eropa menjajah Indonesia dan menglorifikasikan bangsanya sendiri.
Penglorifkasian yang dilakukan perlahan memunculkan mental inlander yang terbawa dan mengendap di masa sekarang. Hal ini kemudian secara tidak langsung menciptakan struktur pemikiran bahwa bule ataupun orang asing jauh lebih superior, yang juga diikuti oleh rasa tidak percaya diri yang perlahan timbul.
Sedangkan Diakronis sendiri lebih terkait dengan faktor pendukung yang ada saat ini, Seperti media yang lebih banyak menampilkan sederet film internasional dan penggunaan bahasa internasional sebagai ajang unjuk diri, yang perlahan menjadi sebuah kemampuan yang wajib dimiliki. Hal ini seolah membuka peluang besar bagi bangsa lain untuk tetap memperkukuh posisinya dengan cara memanfaatkan kekaguman kita.
Aspek – aspek inilah yang disebut sebagai sebuah struktur atau sistem, yang sadar atau tidak sadar kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk pemenuhan diri mereka dan salah satu gambaran perilakunya dapat terlihat saat mereka mengajak bule – bule yang sedang berlibur untuk berfoto ria.
Pada akhirnya bisa dilihat dari fenomena ini bahwa sebuah struktur yang terbentuk dimulai dari pemikiran individu itu sendiri. Adapun kehendak seperti yang dituturkan oleh Schopenhauer juga menjadi salah satu faktor pendukung dalam fenomena ini, dimana tiap individu punya kehendak untuk memenuhi keinginannya dan hal tersebut tidak pernah terpuaskan.
Sebuah Kesimpulan
Pemikiran tiap individu merupakan akar dari terbentuknya sebuah struktur, yang juga diperkuat oleh kehendak masing – masing Individu. Fenomena mengajak bule berfoto menjadi gambaran nyata bahwa masyarakat Indonesia terikat pada sebuah struktur yang berdasar pada pemikiran terdahulu, yang kemudian terbawa hingga kehidupan saat ini dan berhasil mempengaruhi sebagian besar aspek dalam kehidupan.
Dari fenomena ini kita setidaknya memiliki cara untuk tidak terus-menerus terjebak didalam struktur yang sudah ada. kita bisa mengawali semuanya dari pemikiran kita. Perlahan namun pasti, pemikiran tentang ketidakpercayaan diri, keunggulan orang lain, dan juga ketidakpuasan terhadap diri harus mulai dibenahi, mengapa? because we're good enough.