Penyebaran islam secara luas, masif dilakukan ketika masa kekuasaan Khalifah Usman bin Affan, yaitu pada tahun 30 HIjriyah atau 651 Masehi. Utusan-utusan yang dikirim, termasuk sampai ke Nusantara khususnya di Sumatera dan berhasil menciptakan relasi niaga di barat pantai Sumatera pada 17 tahun setelahnya.
Daerah pertama yang dikunjungi untuk menyebarkan Islam adalah Aceh, dengan bukti adanya kerajaan Samudera Pasai. Dalam catatan yang ditulis oleh Marco Polo selama melakukan penjelajahan ialah pada tahun 692 H atau 1292 Masehi terdapat banyak orang Arab yang turut menyebar luaskan Islam di Pasai.
Terdapat penjelajah lain yang berasal dari Maroko, yaitu Ibnu Battutah, dalam catatannya melaporkan pada tahun 746 Hijriyah/ 1345 Masehi adanya temuan lain di Aceh yaitu berupa sekolah Syafi’i.
Selain di Pulau Sumatera, Pulau Jawa pun termasuk ke dalam titik yang terjamah oleh para pejuang penyebaran agama Islam. Buktinya ialah ditemukannya makam Fatimah binti Maimun yang tertulis 746 Hijriyah/ 1082 Masehi di Gresik.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara ialah dengan memanfaatkan budaya yang berdampak kepada mudahnya para penduduk lokal menerima ajaran Islam.
Salah satu nilai kebudayaan yang dimanfaatkan dalam menyebarkan agama islam di Indonesia, khususnya di Sunda adalah melalui naskah. Para tokoh muslim di zaman dahulu, menulis banyak naskah dengan aksara yang beragam dan bahasa yang berbeda pula dari setiap tokohnya.
Keragaman bahasa dan aksara yang terdapat dalam naskah-naskah yang berkembang di tanah Sunda, di antaranya ialah dari yang menggunakan aksara Pegon berbasa Melayu hingga aksara Latin berbahasa Sunda.
Hasan Muarif Ambary, dalam bukunya berjudul “Peradaban Jejak Arkelogis dan Historis Islam di Indonesia” menyebut bahwa naskah yang mengandung keterkaitan dengan sejarah penyebaran islam dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis, di antaranya, wawacan, cariosan, babad, dan lain-lain.
Dewasa ini, untuk dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam suatu naskah, atau cara yang digunakan untuk mengkaji naskah kuno ialah dengan memanfaatkan analisis filologis.
Objek dalam melakukan pengkajian atau analisis filologi ialah naskah. Naskah ini merupakan benda konkret yang berisikan tulisan-tulisan seseorang di masa lalu dalam menuangkan gagasan-gagasannya sebagai suatu hasil budaya bangsa.
Salah satu naskah di tatar Sunda yang tentu sudah banyak diketahui ialah naskah wawacan. Terdapat berbagai naskah wawacan yang bisa ditemukan dan dikaji, di antaranya adalah Wawacan Carita Raja Jumjuman, Wawacan Said Saman, Wawacan Barjah, Wawacan Ogin Amarsakti, dan lain sebagainya.
Wawacan ialah suatu bentuk kesusastraan Sunda yang lahir pada pertengahan abad 17. Wawacan biasanya terlahir dari para ulama dan melalui pesantren-pesantren. Wujud dari wawacan adalah cerita dengan isinya yang panjang dan disusun dalam bentuk dangding (ditulis dalam aturan penulisan pupuh).
Naskah Wawacan Ogin Amarsakti atau disingkat WOA berasal dari Padalarang, Kabupaten Bandung, ditulis oleh Ajatrohaedi pada sekitar tahun 1939 Masehi. Teks WOA terdiri dari 1327 bait. Naskah ini terdapat di University of California, dan pertama kali didigitalkan yaitu pada tanggal 5 Februari 2007.
Dengan membaca naskah WOA ini, pembaca akan mendapatkan pengetahuan tentang masalah keislaman melalui pengenalan tokoh yang bernama Ogin. Dalam WOA, Ogin dikisahkan dari masa kelahirannya, saat bayi sampai diangkat sebagai raja, kelebihan-kelebihan dan kekuatan sakti yang dimilikinya.
Naskah Wawacan Ogin Marsakti diketahui ditulis semata-mata memang hanya untuk mendukung atau sebagai media dalam upaya menyebarluaskan nilai-nilai keislaman.
Secara umum atau garis besar, kisah yang terkandung di dalam Wawacan Ogin Amarsakti ialah mengenai kisah hidup Ogin atau selanjutnya disebut Raden Amarsakti yang dipenuhi dengan cobaan-cobaan.
Diketahui bawah raden Amarsakti merupakan putera dari istri kedua Raja Mahruf, yaitu Lesmaya Mahadewi. Saat Raden Amarsakti baru saja dilahirkan, isteri pertama Raja Mahruf, Dewi Nurhayati membuang Amarsakti ke sebuah laut.
Keberadaan Amarsakti yang sudah mencapai tengah laut kemudian ditemukan oleh pemegang tahta Kerajaan Malebah, yaitu Raja Antaboga.
Hingga dewasa, Raden Amarsakti tidak mengetahui bagaimana asal-usul dirinya sampai bisa bersama Raja Antaboga hingga pada usianya yang sudah cukup dewasa, Raja Antaboga menceritakan semuanya pada
Kesengsaraan menjadikan kemuliaan
Bekas susah jadi gagah
Yang dibuang menjadi membuang
Yang licik malah tidak terbukti
Begitulah terhadap orang yang dengki
Nyi Nurhayat yang keras kepala
Yang membuat sakit hati malah mati (Bait 1329)
Nilai keislaman yang mengandung sikap persuasive atau mempengaruhi yang terdapat dalam Wawacan Ogin Amarsakti ialah ketika diceritakan bahwa Raja Antaboga mengajari Raden Amarsakti membaca al-Quran.
Dalam tempo tiga tahun
Diberi pelajaran kebatinan
Setelah membaca Quran
Diajari berbagai ilmu
Kesaktian lahiriah
Pandai segala ilmu jin (Bait 173)
Berdasarkan uraian di atas dan kutipan-kutipan yang terdapat dalam teks naskah WOA, terlihat adanya nilai keislaman yang menjadi bukti upaya penyebaran agama Islam di wilayah masyarakat berkebudayaan Sunda, dan kemudian dijadikan salah satu media dalam memperkenalkan agama Islam.