Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan negara yang banyak menyimpan kekayaan budaya, salah satunya dalam kesusastraan. Banyak karya sastra yang menjadi ciri khas dari kebudayaan, adat istiadat, serta kepercayaan yang dianut suatu daerah. Tanah Sunda juga memiliki karya sastra yang menjadi ciri khas tersendiri. Salah satu karya sastra dari tanah Sunda ialah wawacan.

Nama wawacan berasal dari kata wawacaan (babacaan) yang berarti: apa yang dibaca. Mulanya wawacan ialah karya sastra dari tanah Jawa, dan dibawa ke wilayah Sunda lewat perantara kaum bangsawan (menak) dan kaum ulama (lingkungan pesantren). Masyarakat Sunda mengenal wawacan sebagai karya sastra hikayat yang berwujud puisi (dangding) tertentu yang dikenal sebagai pupuh (Rosidi, 1966: 11-26).

Ruhaliah dalam bukunya yang berjudul "Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda" mengemukakan bahwa, saat itu kemunculan wawacan juga merupakan salah satu pengaruh dari masuknya bahasa Jawa ke tanah Sunda oleh kerajaan Mataram pada abad ke-17 M. 

Wawacan kemudian berkembang pesat ke seluruh tanah Sunda dan biasanya disampaikan dengan cara ditembangkan (lisan). Isi wawacan bermacam-macam, di antaranya berisi ajaran agama Islam seperti, fiqih, tauhid, dan sebagainya, ada juga yang berisi cerita-cerita putra-putri raja dengan jin yang sakti, ada pula yang mengisahkan kejadian nyata dan peristiwa sejarah tanah Sunda.

Wawacan Danumaya adalah salah satu bentuk karya sastra Sunda yang menceritakan tentang perjuangan seorang yang bernama Danu Maya, putra Raja Sang Panji Subrata dari kerajaan Gilang Kancana. Dikisahkan, Danu Maya berjuang untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan kerajaan Keling.

Sebelum pergi ke kerajaan Keling, Danu Maya dibekali oleh orang tuanya berupa keris Si Gagak Karunjang dan jimat Ali Hampal yang berisi dua jin. Selain mengisahkan perjuangan Danu Maya mempertahankan kerajaannya, wawacan ini juga berisi kisah percintaan Danu Maya dengan Arum Ningrat dan Dewi Sinta.

Akulturasi Hindu-Buddha dan Islam terlihat dari beberapa bait wawacan yang menyebutkan tentang keris Si Gagak Karunjang dan jimat Ali Hampal sebagai bentuk perlindungan diri dari bahaya. Apabila dikaitkan dengan sejarah masuknya wawacan di tanah Sunda, maka hal ini sangat berkaitan dengan pengaruh dari kerajaan Mataram yaitu kerajaan Islam terbesar di Jawa yang menggabungkan unsur-unsur keislaman dengan kebudayaan Jawa. 

Pada Wawacan Danumaya, tokoh yang beragama Islam ini masih memiliki kepercayaan terhadap jimat dan keris. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa terdapat akulturasi antara ajaran Hindu-Buddha dengan ajaran Islam.

Seperti kita ketahui, tokoh-tokoh Wali Sanga saat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa tidak serta-merta menghilangkan budaya, dan adat istiadat Jawa, namun menggabungkannya dengan ajaran-ajaran Islam. 

Itu merupakan cara atau strategi agar ajaran Islam bisa diterima dengan baik oleh pribumi atau orang Jawa pada masanya. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak ditemukan karya sastra yang mengandung ajaran Islam yang bersatu indah dengan kebudayaan Jawa.

Beberapa bait dari Wawacan Danumaya yang memuat akulturasi ajaran atau budaya Hindu-Buddha dan Islam adalah sebagai berikut.

Masing hade simpen Agus

ieu ngaran jimat ali

ngaranna teh ali hampal

bisi ujang acan ngarti

ieu lelepen eusina

eusina dua ratu jin

(Bait 14 Pupuh Kinanti dalam Wawacan Danumaya)

Dari bait di atas, terlihat bahwa Ibu Danu Maya masih mempercayai jimat sebagai media pelindung diri dari bahaya. Bait tersebut erat kaitannya jika dihubungkan dengan budaya atau ajaran Hindu-Buddha yang menganggap jimat dalam bentuk apa pun sebagai pelindung diri. 

Jimat dalam bentuk cincin yang diberikan Ibu Danu Maya terdapat dua jin di dalamnya yang akan keluar jika diperlukan. Jin, jimat, dan kepercayaan pada hal-hal gaib sangat erat dengan budaya atau ajaran Hindu-Buddha. 

Ngan rumaos urang babu

percanten teh ku gusti

ngan muji alhamdulillah

pasrahkeun ka Maha Suci

tah kitu rasa engkang mah

nyarek mah da aya nyai

(Bait 8 Pupuh Kinanti dalam Wawacan Danumaya)

Bait di atas menunjukkan bahwa tokoh yang ada dalam Wawacan Danumaya beragama Islam. “ngan muji alhamdulillah, pasrahkeun ka Maha Suci”, penggalan larik tersebut berarti “hanya memuji alhamdulillah (segala puji bagi Allah), berserah pada Yang Maha Suci”. Bentuk tawakal dari seorang Danu Maya yang hendak pergi ke Keling untuk mempertahankan kerajaannya, dan juga bentuk tawakal dari orang tua yang hendak melepas putranya.

Kedua bait di atas, memperlihatkan bahwa dalam Wawacan Danumaya terdapat akulturasi antara ajaran atau budaya Hindu-Buddha dan Islam. Kehadirannya dalam wawacan menjadi bukti atau saksi bahwa penyebaran agama Islam pada masa dulu disertai dengan pendekatan tanpa menghilangkan ajaran atau budaya agama sebelumnya. 

Hal tersebut juga sebagai bentuk eksistensi kerajaan Mataram pada abad ke-17 sebagai kerajaan Islam terbesar terakhir di Jawa, yang berhasil menyebarkan agama Islam ke pelosok Sunda. Akulturasi tersebut juga membuktikan kayanya budaya Indonesia yang kemudian tersimpan dalam sebuah karya sastra dan masih ada hingga saat ini.