Mungkin kita sering menjumpai seseorang yang hampir dalam setiap interaksi sosialnya terlalu bersemangat. Bila bercanda, terasa garing dan memaksa. Dan bicara biasa pun kadang terlihat marah, apalagi ketika benar-benar marah, habislah lawannya jadi bulan-bulanan dan keluarlah penghuni kebun binatang. Kita, manusia, memang bukan makhluk halus. Tetapi jika terlalu kasar, juga tidak masuk kategori spesies manusia pada umumnya.
Seringkali watak seseorang dikaitkan dengan latar belakang intelektualitas dan spiritualitas. Orang yang belajar, sekolah sampai pada jenjang yang tinggi sering dianggap sebagai orang yang pandai berinteraksi, bicara halus, sopan-santun dan lemah lembut (bukan lemah-gemulai melentik-lentik jemari dan berkerling-kerling mata lho ya…).
Begitu pula orang yang belajar agama, yang terlihat fasih berstyle alim, merdu kala berucap Subhanalllah, Masya Allah, Astaghfirullah, seringkali dianggap sosok yang pandai meredam letupan-letupan emosi dan menyabarkan diri.
Ya, itu memang seharusnya sih. Agama kan mengajarkan kebaikan, menginstruksikan untuk disebarkan dan bersama-sama mempraktikkannya. Itu agama, bukan manusianya. Sementara, manusianya? Ya, beda-beda praktiknya.
Manusia, jauh sebelum ia berilmu dan beragama, telah menjalani hidup dengan lingkungan terdekatnya. Bahkan, jauh sebelum berinteraksi di permukaan bumi ini, saat dalam kandungan dan telah mencapai usia bernyawa, ia telah merespon rangsangan-rangangan di balik dinding rahim ibunya.
Saat inilah investasi psikologis mulai ditanamkan. Oleh karenanya, sebagian pakar menganjurkan agar sering memperdengarkan suara-suara lembut nan indah serta suara-suara religius untuk manusia kecil dalam rahim itu.
Tahapan berikutnya, setelah si manusia kecil telah sampai masanya untuk menghirup udara bebas di alam semesta ini, ia mulai menerima investasi lanjutan dari orang-orang terdekatnya.
Dalam agama Islam, terdapat riwayat yang menganjurkan untuk memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid lewar seruan adzan yang indah di telinga si kecil sebagai bentuk investasi awal. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang bersih, dan ibu-bapaknya, selaku lingkungan terdekatnya memiliki peluang besar untuk mewarnainya.
Singkatnya, masa kecil memiliki peranan besar terhadap (kejiwaan) seseorang dalam menjalani kehidupannya di masa-masa selanjutnya.
Kembali kepada perbincangan di awal, tentang watak kasar manusia. Saya sebenarnya tidak terlalu yakin atas analisis ini, bahwa tidak ada kesaling-terkaitan antara watak kasar, ilmu dan agama. Tetapi setidaknya, Anda dapat memulai untuk turut menganalisa juga.
Begini, Saudara. Seseorang yang memang lahir dengan membawa ‘barang kasar’ disekolahkan setinggi apapun, balik-baliknya kasar juga. Begitu pula mereka yang belajar agama, sedalam apapun teori agama ia pelajari, jika ‘bawaaanya’ memang kasar, ujung-ujungnya akan memilih memaknai agama dengan kekasaran. Lah mosok iyo sih?
Waktu itu, saat saya belajar tentang teori-teori ilmu tafsir, saya mendapatkan pelajaran penting tentang pengaruh kesejarahan seorang penafsir terhadap tafsirannnya. Penting menurut saya karena, teori ini kemudian tidak hanya berlaku dalam konteks penafsiran kitab suci secara khusus. Bahkan, teori ini bisa diaplikasikan sebagai alat menganalisa tafsir keagamaan setiap orang dalam memahami dan mempraktikkan dalam kehidupannya sebagai joiner dalam suatu agama.
Nah, berangkat dari teori itu, dalam pandangan subjektif saya, bahwa siapa pun yang belajar tentang suatu ilmu pengetahuan, apapun bidangnya, mestinya akan dapat memahami dan membedakan tentang kasar dan tidaknya suatu perilaku, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Setidaknya, dari interaksi dengan lingkungan sekitar, sedikit-banyak akan mendapatkan pelajaran tentang interaksi sosial, yang kasar seperti apa dan lain sebagainya. Terlebih lagi bagi mereka yang belajar tentang agama secara mendalam, tidak hanya sebatas belajar dasar-dasarnya, bahkan sampai punya gelar keagamaan yang prestisius. Wah, pasti sangat fahamlah tentang teori-teori perilaku.
Tetapi, apakah keduanya (ilmu dan agama) menjamin seseorang untuk tidak melestarikan watak kasar dalam dirinya? Belum tentu juga. Ya meski pun terdapat pula yang berhasil meredam bahkan menghilangkan watak kasar dalam dirinya. Nah, yang dibincang di sini adalah mereka yang tetap nyaman dengan watak kasar yang terdapat dalam dirinya itu.
Bagi tipe orang yang terlanjur nyaman dengan kekasarannya, teori-teori ilmu pengetahuan yang didapatkannya hanya akan menjadi legalisator, penguat atas tindakan-tindakan kasar yang dilakukannya. Dalil-dalil agama yang dipelajari dan dikuasai, kemudian akan dijadikan hujjah untuk melampiaskan hobi berkasar-rianya.
Menggapa demikian? Kenyamanan dengan watak tersebut telah membuat enggan untuk me-reset sikap dan perilakunya. Belum lagi situasi dan kondisi yang mendukung untuk terus mengeksplorasi potensi-potensi kekasaran yang terpendam jauh di dasar jiwanya.
Dan bagi mereka yang berpengetahuan dan berummat, watak kasar tersebut tentu sangat berbahaya karena berpotensi dianggap sebuah ajaran dan ajakan. Pasalnya, kedua jenis manusia ini menjadi semacam uswah, trendsetter bagi para pengagumnya.
Ilmu dan agama hadir sebagai bentuk kasih-sayang Tuhan kepada Manusia, agar mereka dalam menjalani kehidupan sesuai kehendakNYA. Menikmati segala fasilitas alam semesta dengan penuh damai dan cinta-kasih.
Namun sayangnya, orang yang nyaman dengan watak kasarnya, mereka lebih memilih menggunakan ilmu dan agama sebagai alat untuk melegalkan perilaku, ucap kasar, sumpah serapah kepada siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan dirinya, dianggap tidak menguntungkan dirinya dan tentu pula, dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya.