“Saya telah memutuskan untuk tetap mencintai. Kebencian merupakan beban yang terlalu besar untuk ditanggung”-Martin Luther King
Peristiwa tragis yang menimpa anggota Jakmania, Haringga Sirla (23) tak hanya mencoreng persepakbolaan nasional. Lebih dari itu, kejadian di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) (23/9) sesungguhnya adalah cermin keberagamaan kita. Bagaimana para pelaku, oknum Bobotoh tega membantai saudara sebangsanya hanya lantaran perbedaan klub sepakbola semata ?
Terlepas ada atau tidaknya kalimat tauhid yang dilontarkan oknum Bobotoh ketika sedang menganiaya Haringga -karena kabar terbaru dari kepolisian hal tersebut hanya hoax- tidak menutup kenyataan bahwa kekerasan yang terejawantahkan dalam kejadian tersebut tidak bisa tidak terkait dengan pola keberagamaan seseorang.
Seperti juga sepakbola yang memiliki fans fanatik, begitu pula dengan agama. Baik sepakbola maupun agama memiliki sekelompok manusia yang gemar memertajam perbedaan. Mereka menebalkan identitas sembari menafikan pihak lainnya. Penganut agama lain atau supporter tim sepakbola lain adalah musuh utama yang perlu dimusnahkan.
Dus, pertandingan sepakbola hanyalah trigger atau pemantik belaka. Masalah timnya menang atau kalah bukan itu persoalannya. Kemenangan tidak membuat kebencian mereka terhapuskan. Sementara kekalahan bakal menjadi alasan kuat untuk memperdalam kebencian.
Perdamaian yang dibuat oleh para elit supporter tidak begitu dihiraukan di akar rumputnya. Kekerasan yang berulangkali di antara Bobotoh dengan Jakmania adalah buktinya. Semenjak 2012, telah jatuh korban sebanyak 7 orang dari kedua belah pihak (detik.com, 24/09/18). Setiap jatuh korban, para elit sepakat bahwa kejadian tersebut adalah untuk terakhir kalinya. Namun, pada kenyataannya, komitmen tersebut tak lebih dari “pepesan kosong” belaka. Kejadian dan peristiwa serupa berulang, entah untuk kesekian kalinya, mulai dari level saling lempar antar supporter, merusak kendaraan berplat B atau D, hingga menewaskan anggota-anggotanya.
Lalu, bagaimana meletakkan peristiwa-peristiwa ini dengan level keberagamaan kita ? ini bukan persoalan mengkaitkan, toh pada dasarnya, sikap kita sebagai manusia, apalagi yang mengaku beragama pastinya harus terealisasikan dalam praktik sehari-hari. Oleh karenanya, peristiwa di GBLA adalah praktik aktual kita dalam beragama. Bagaimana keberagamaan kita telah gagal mewujudkan kemanusiaan. Keberagamaan kita telah gagal menempatkan kita pada level manusia.
Kekerasan Atas Nama Agama dan Sepakbola
Sebab, jika kita mengaku sebagai manusia beragama –apapun agamanya- tentu tidak akan menghasilkan output semacam itu. Tapi, dalam praktiknya, para pemuka-pemuka agama seringkali menjelama menjadi agen kekerasan. Dari mulut merekalah keluar sumpah serapah, kutukan hingga ajakan untuk membunuh manusia lain yang berbeda dengan kelompoknya.
Sejarah agama-agama di dunia tidak bisa cuci tangan dengan kenyataan tersebut. “Ada darah di tangan mereka semua : komunisme, liberalisme, nasionalisme, tiap-tiap agama besar, bahkan sekularisme “tulis Amin Maalouf dalam bukunya “In the Name of Identity (Atas Nama Identitas).”
Pun, dalam sepakbola. Sejatinya sepakbola mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti sportivitas, disiplin, ulet, kerjasama, bahkan penolakan terhadap rasisme, karena di tengah lapang, tidak peduli warna kulitmu hitam, kuning atau putih, semuanya sama. Di dalam sepakbola kita belajar kemajemukan.
Tapi dalam kenyataannya, oknum pemain sepakbola dan pecinta fanatiknya seringkali melenceng jauh dari nilai-nilai ini. Maka tak aneh jika kita lihat permainan sepakbola dipenuhi adu jotos antar pemain atau wasit pertandingan.
Di luar stadion pun, oknum-oknum supporter tak kalah beringas. Mereka sanggup membunuh supporter lawan layaknya menyembelih ayam. Dilansir dari liputan6.com, selama 23 tahun tercatat ada 56 fans sepak bola Indonesia tewas secara mengenaskan. Kasus kematiannya berbeda-beda. Mulai dari jadi korban bentrok antarkelompok suporter hingga kecelakaan lalu lintas (25/09/2018).
Di belahan dunia lain pun, korban atas nama fanatisme sepakbola terus berjatuhan. Tragedi Heysel di Belgia pada 1985. Peristiwa ini terjadi ketika para fans Liverpool mulai melempari fans Juventus dengan batu. Fans Juventus mencoba lari dengan memanjat tembok pembatas, tetapi tembok tersebut akhirnya tidak mampu menahan banyaknya orang yang memanjat. Tembok tersebut akhirnya runtuh membuat banyak orang mati dan terluka. Sebanyak 39 orang meninggal dalam kejadian ini dan 600 orang lebih dilaporkan terluka.
Tragedi lain terjadi di Mesir. Pada 1 Februari 2012 dalam laga Premier League Egypt antara El Masry melawan El Ahly di Stadion Port Said terjadi kerusuhan yang menewaskan 74 orang dan 500 lainnya terluka. Laga ini sudah panas sebelum pertandingan dimulai, bahkan ketika pertandingan sedang berjalan para fans sudah ada yang masuk ke lapangan.
Puncaknya terjadi ketika El Masry akhirnya menang. Para pendukung El Masry mulai menyerang pendukung El Ahly dengan berbagai senjata tajam. Sebanyak 11 orang dihukum mati terkait kejadian ini dan kompetisi sepak bola Mesir dihentikan selama dua tahun (sindonews.com, 19/03/2018).
Dengan jatuhnya korban akibat ekses sepakbola lantas kita bertanya, bagaimana sebuah olahraga yang dirancang sebagai pengagungan nilai-nilai kemanusiaan seperti dibahas di atas berubah menjadi kuburan bagi para fans-nya ? Pertanyaan serupa juga bisa kita lontarkan kepada agama. Bagaimana agama yang semestinya mengantarkan manusia menuju Tuhannya, malah menjerumuskannya menjadi lebih buruk daripada iblis.
Barangkali, fenomena tawuran antar supporter dapat dikaitkan dengan rumusan teori Dom Helder Camara. Camara menganggap bahwa kekerasan lahir dari kekerasan sebelumnya, semacam rantai atau spiral kekerasan. Dan karena kekerasan terus berulang, dikhawatirkan kekerasan menjadi sebuah banalitas, dianggap sesuatu yang biasa.
Maka, ketika fans Persija dan fans Persib tawuran, mereka kemudian menganggapnya kekerasan yang terjadi di antara mereka sebagai hal biasa dan wajar. Mereka lupa, bahwa pada suatu masa, mereka pernah guyub, damai dan menjadikan sepakbola sebagai sarana hiburan yang memersatukan anak-anak bangsa.
Keprihatinan Ridwan Kamil
“Jangan-jangan mereka –oknum fans- meniru perilaku para pemimpinnya yang tak baik ?” ujar Ridwan Kamil dalam forum Indonesian Lawyer Club (ILC), pada Selasa, 25 September lalu. Pernyataan ini sungguh menarik.
Masyarakat awam biasanya mengambil patron dari para pemimpinnya. Ketika para pemimpin negeri ini cakar-cakaran, saling ejek, saling hina, maka di bawah pun kondisinya sama. Mereka bercermin kepada para elit-elitnya. Seperti dilansir dari bogor.tribunnews.com, lebih lanjut Ridwan Kamil pun mengulas soal sikap suporter yang nyatanya meniru sikap dari para pemimpinnya itu.
Ia berpendapat bahwa tidak semua lawan harus dimusuhi secara membabi buta. "Nah hal-hal ini jangan-jangan datang juga, mereka ini meniru pemimpin-pemimpinnya. Meniru pemimpin-pemimpinnya yang menyuburkan rasa permusuhan. Tidak bisa membedakan kata lawan sebagai mitra berkompetisi, menjadi musuh yang harus dimusuhi," imbuhnya (26/09/2018).
Jika maksud Ridwan Kamil adalah para elit politik yang tidak kunjung berhenti bertengkar, penulis mempunyai analisis sendiri. Menurut penulis, yang dicontoh oleh oknum-oknum fans pelaku kekerasan dalam sepakbola adalah para pemimpin atau tokoh agama. Lihat saja, dua dasawarsa terakhir masyarakat di tanah air disuguhi dengan peristiwa intoleransi, persekusi, serta kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Ormas-ormas keagamaan dapat dengan leluasa –seakan mendapat mandat- untuk menutup rumah ibadah umat agama lain, memersekusi kelompok-kelompok minoritas dan puncaknya, seperti di Cikeusik dan Sampang, mereka tak sungkan untuk menumpahkan darah saudara sebangsanya hanya lantaran perbedaan kelompok.
Bagaimana agama yang mengajarkan kedamaian bisa melahirkan orang-orang yang justru pro kekerasan? Bagaimana menjelaskan perilaku para penyerang anggota Ahmadiyah di Cikeusik yang memerlakukan korban layaknya hewan ?
Menjelaskan tragedi Cikeusik, tragedi Sampang dan tragedi-tragedi atas nama agama lainnya sangat relevan memakai pisau bedah dari Charles Kimball, yakni ketika agama diselewengkan, maka wajah agama akan berubah menjadi bencana.
“Whatever religious people may say about their love of God or the mandates of their religion, when their behavior toward others is violent and destructive, when it causes suffering among their neighbors, you can be sure the religion has corrupted and reform desperately needed.”
Senada dengan Kimball, Hazrat Mirza Thahir Ahmad dalam bukunya “Islam Responses to Contemporary Isues” menulis bahwa, “pada sebagian lapisan masyarakat di hampir semua agama, muncul pengungkapan kembali dogma-dogma lama yang kaku dan munculnya rasa kurang toleransi terhadap mereka yang berbeda pendapat.” Dengan cerdas, Hazrat Mirza Thahir Ahmad mengamati kondisi kontemporer atau dalam bahasa kerennya, kondisi kekinian.
Wujud jasmani agama nampak begitu semaraknya. Di mana-mana muncul penguatan identitas keagamaan yang nampak secara lahiriah. Sementara di sisi lain, ruh agama itu sendiri, seperti cinta, perdamaian, toleransi serta tenggang rasa justru memudar. ”Jadi, apa yang kita lihat dalam kehidupan beragama sekarang sebagai usaha pemberdayaan agama, sebenarnya tidak lebih dari menghidupkan bangkai mati” tulisnya (hal.3).
Dus, menurut hemat penulis, kejadian di GBLA tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan pola keberagamaan kita. Selama pola-pola keras, kebencian, kaku dan intoleran tercermin dalam khotbah atau ceramah para pemuka agamanya, maka umat di akar rumput akan manut apa yang dikatakan mereka. Mereka mencontoh, meniru bahkan menduplikasinya.
Kejadian di GBLA mungkin saja terjadi di tempat-tempat lain. Begitu pula, yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang Banten atau di Sampang Madura akan menular ke tempat lainnya.
Referensi :
Maalouf, Amin.2000. Atas Nama Identitas. Resist Book : Yogyakarta
Ahmad, Hazrat Mirza Thahir.1992. Pandangan Islam Atas Masalah-Masalah Kontemporer Masa Kini. Islam International Publications Ltd.
Tautan :
https://www.liputan6.com/bola/read/3652189/haringga-sirila-dan-55-suporter-yang-meninggal-dunia-di-pentas-sepak-bola-indonesia
https://soccer.sindonews.com/read/1290774/188/tragedi-paling-menyedihkan-di-dunia-sepak-bola-1521437789
http://bogor.tribunnews.com/2018/09/26/tanggapi-kasus-tewasnya-haringga-sirila-ridwan-kamil-jangan-jangan-suporter-itu-tiru-pemimpin?page=2