Afi, seorang remaja putri yang viral dengan tulisan-tulisannya (meskipun belakangan diketahui hasil plagiat), kembali membuat bibir para pembencinya bercuap dengan mengunggah video yang berisikan uneg-unegnya soal bully terhadap dirinya.
Dalam video berdurasi empat menit lebih itu, Afi menggunakan bahasa Inggris untuk menyampaikan kekesalannya. Dan seperti layaknya pemudi labil, Afi tidak sungkan menggunakan kata-kata fu*ck, ass*hole, dan umpatan-umpatan kasar dalam videonya. Ujaran Afi terlihat kontras dengan hijab yang dikenakannya dalam video tersebut. Mungkin ada ironi yang dimainkan oleh Afi (?)
Beberapa saat setelah video tersebut diunggah, banyak penghuni jagat maya yang mengkritik video tersebut. Rata-rata kritik yang disampaikan berkutat pada ucapan-ucapan kasar yang dilontarkan Afi. Umpatan-umpatan kasar yang dilontarkan Afi, bagi sebagian netizen, terdengar kurang patut.
Padahal kalau kita mau jujur, saya yakin, banyak yang berkomentar kontra tersebut sering melafalkan–bahkan dengan sangat fasih–kata-kata kasar di kehidupan sehari-harinya. Dan kalau mau jujur lagi, saya juga termasuk, sebagai orang Surabaya tulen, kurang mantep rasanya jika nongkrong di warung kopi tanpa diselingi kata-kata pencak-pencuk-jancuk.
Para pemberi komentar itu–yang kontra terhadap Afi–seolah merasa lebih baik dan suci. Bahkan dalam sikap yang paling ekstrem, ada yang sampai mengungkit masalah undangan Afi dari Presiden Jokowi ke istana–sebelum skandal plagiasi ini terungkap.
Yang menjadi pertanyaan: kalian iri? Jika iri, mulailah menulis–entah plagiat atau tidak, urusan belakang–, yang penting bikin tulisan seheboh mungkin, kalau perlu bawa isu-isu terkini biar dilirik pihak Istana.
Membedakan sebuah teks plagiat dan bukan, bukan perkara mudah. Menurut Jacques Derrida, filsuf Perancis sekaligus pencetus teori dekonstruksi, dalam Of Gramatology (1967), sebuah teks–yang terbentuk dari relasi antara penanda dan petanda–hanyalah trace (jejak) dari teks yang sudah ada.
Jadi, menurut Derrida, ada kemungkinan sebuah teks yang baru saja ditulis sebenarnya bisa dibilang tidak baru-baru amat atau orisinil, karena pasti ada jejak-jejak teks yang sudah ada sebelumnya. Contoh sederhananya adalah karya-karya ilmiah–seperti skripsi dan lainya–yang menggunakan kutipan-kutipan.
Penggunaan kutipan-kutipan ini sebenarnya jejak-jejak teks yang sudah ada sebelumnya, dan ini legal digunakan karena menyebutkan sumbernya. Kemudian yang menjadi masalah dengan dek Afi ini adalah ada kelupaan (kesengajaan) dek Afi tidak menggunakan kutipan dan mencantumkan sumbernya dalam tulisan yang diindikasikan plagiat.
Toh tidak menjadi tindakan yang memalukan jika kita mencomot tulisan orang kemudian kita taruh di media sosial kita, ASAL CANTUMKAN SUMBERNYA.
Di era yang sudah mengusung semangat Haki (hak kekayaan intelektual), semuanya harus serba ijin dulu sama si empunya, tidak boleh asal comot dan sembarangan mengakui milik orang lain. Iya toh? Memangnya mau istri njenengan diajak keluar teman laki-lakinya keluar, tanpa ijin lagi?
Ya, harap dimaklumi dek Afi ini. Kan masih duduk di bangku sekolah, jadi masih labil dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Kemudian bagaimana dengan menyikapi keresahan–yang sebenarnya terlalu dibesar-besarkan oleh pihak tertentu–yang ditimbulkan Dek Afi yang manis ini?
Sebagai orang yang sama-sama bisa mengakses internet–apalagi jika umur kita lebih dewasa dari Dek Afi–sebaiknya jangan terlalu memberi komentar yang terlalu pedas. Ingat umur, bro. Dunia maya memang memberikan kebebasan bagi para penggunanya dan kebebasan itu membutuhkan sikap bijaksana. Jangan menjadi kampungan dan merasa sok paling benar dengan mem-bully habis-habisan dek Afi yang masih belia.
Beberapa hari ini beranda Facebook saya sesak dengan postingan video curhat Afi. Hampir sebagian share postingan itu ditambahi caption soal plagiasi: “tukang plagiasi yang sempet diundang presiden berulah lagi wkwkwkwkw,” ujar salah satu akun teman Facebook saya.
Jika itu memang kritikanmu, kemudian, apakah kamu tidak pernah sama sekali melakukan plagiat? Jika ada pembaca yang dengan mantap mengatakan tidak, saya ragu jika merujuk pada pendapat Derrida yang sudah saya singgung sebelumnya.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik dari Northwestern University Amerika Serikat, Jeffry A. Winters, masih banyak ditemui praktik plagiarisme yang dilakukan pelajar Indonesia ketika menyodorkan esai sebagai salah satu prasyarat pengajuan beasiswa doktoral di Amerika (Tempo 9/4/2016).
Sekarang saya ingin bertanya kepada pembaca yang budiman, apa, ketika bersekolah, kita tidak pernah mencontek? Jika ada pembaca yang bertanya balik: apa hubungannya dengan mencontek? Mencontek tidak jauh berbeda dengan plagiat.
Kata plagiat, menurut KBBI, adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikanya seolah-olah karangan (pendapatnya) sendiri. Ada pengakuan karya orang lain bahwa karya itu hasil kerja kita sendiri, itu garis besarnya. Dan kita masih merasa lebih suci ketimbang Afi?
Sejauh pengalaman saya mencontek, dulu, saya belum pernah menemui seorang anak yang mencontek dengan jujur menulis nama orang yang diconteknya di bagian akhir lembar kerjanya.
Dan praktik contek-mencontek ini, jika mau jujur, sudah kita lakukan sejak kita duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah, dari skala kecil (mencontek ulangan teman sekelas), sampai skala nasional seperti terungkapnya kasus oknum pejabat yang melakukan tindakan plagiat ketika mengerjakan tugas akhir semasa kuliah. Tidak percaya? Silahkan ketik di mesin pencarian anda!
Tulisan ini bukan bertujuan untuk melegitimasi bahwa mencontek itu tindakan yang benar. Saya hanya gerah dan jengkel melihat tanggapan orang-orang sok suci terhadap Afi, yang seolah seumur hidupnya tidak pernah melakukan tindakan plagiat.
Kekesalan saya bertambah ketika saya membaca tanggapan dari seorang penulis top dengan sejuta pengikut, Jonru Ginting, terhadap video curhatan Afi di akun media sosialnya. Salah satu sindirian Jonru terhadap Afi adalah sikap Afi yang terlalu baper dan mewek’an ketika menghadapi kritikan netizen.
Dalam tulisan itu, Jonru membandingkan Afi dengan dirinya sendiri yang sudah kebal menghadapi kritik dan nyinyiran para netizen. Jonru seperti lupa bahwa Afi hanya seorang remaja dan masih labil. Menjadi kewajaran jika dia mewek ketika dia menghadapi begitu banyak nyinyiran di luar sana. Beda kasus misalnya jika njenengan yang mewek, bung Jonru. Eleng umur, wong tuwek kok nyiyiri arek cilik!