Akhir-akhir ini, linimasa kita banyak dihiasi dengan berita seputar penggunaan Video Assistant Referees (VAR) dalam sepak bola. Tentu saja ini berkaitan dengan keberlangsungan piala dunia 2018 yang menerapkan VAR secara resmi. Bukan hanya itu, sudah terjadi beberapa peristiwa yang menguntungkan sekaligus merugikan pihak terkait. Semisal adalah pertandingan antara Prancis vs Australia di Stadion Kazan Arena yang berakhir 2-1.
Dalam pertandingan tersebut, Paul Pogba mengirim umpan terukur kepada Griezmann. Griezmann lolos, tapi Joshua Risdon berhasil mencuri bola dan Griezmann terjatuh pada menit ke-54.
Awalnya wasit Andres Cunha dari Uruguay memerintahkan "play-on", tetapi kemudian ia diminta untuk memeriksa layar video di tepi lapangan. Ia sepakat dengan wasit penjaga video, Mauro Vigliano dari Argentina, bahwa terjadi pelanggaran di kotak penalti. Ia menghadiahkan penalti sekaligus kartu kuning untuk Risdon. Griezmann tak menyia-nyiakan peluang dan berhasil mencetak gol dari titik putih. 1-0 untuk Prancis.
Kejadian tersebut sangat jelas menggambarkan adanya perubahan makna permainan sepak bola. Sepak bola yang tadinya merupakan olahraga yang menekankan spontanitas, kerja keras, juga termasuk di dalamnya kontroversi, kini dipaksa menjadi sebuah jalan untuk menuntaskan ide-ide mengenai idealisme “pencarian kebenaran”, yang bahkan bukan merupakan ranahnya sendiri. Akhirnya, ia mengkhianati dirinya sendiri.
Bayangkan saja, ketika ada kesebelasan yang berlari menendang bola dan masuk ke gawang, dengan adanya VAR, bisa dibatalkan golnya. VAR adalah mata-Tuhan bagi pemain sepak bola masa kini. Ia dapat menentukan apakah timnya dihukum dengan gol yang batal, kartu kuning yang terlambat, dan sebagainya.
Hal ini cukup meresahkan penikmat sepak bola. Kegelisahan dan ketaknyamanan karena perubahan sistem ini membuat penikmat sepak bola bingung untuk percaya. Apakah wasit tidak cukup dan harus menyerahkan segalanya kepada pengamatan VAR?
VAR dalam sepakbola adalah bukti penerapan genealogi dalam olahraga. Sebagaimana Nietzsche dan Foucault pernah mengatakan, genealogi adalah sebuah studi yang serius, bekerja secara detail dengan kumpulan arsip-arsip, meneliti secara rinci.
Genealogi memang sebuah usaha untuk membongkar asumsi-asumsi mengenai nilai dalam pandangan tradisional serta memberi alternatif tafsiran yang baru. Namun, untuk mencapai hal itu, orang tidak hanya berspekulasi saja, mengkritik sana-sini tanpa rujukan yang jelas.
Sebaliknya, untuk mencapai kritik semacam itu, seorang genalog harus terlebih dahulu mencemplungkan diri di antara tumpukan dokumen/ arsip-arsip sejarah; mengumpulkan berbagai macam sumber dari mana saja, mempelajarinya dengan teliti untuk kemudian menjadikannya alat membongkar asumsi-asumsi tradisional.
Foucault menilai genealogi sebagai studi ketat-akademik, berkutat pada rujukan-rujukan yang jelas. Hasilnya dapat dilihat pada buku-buku genealogi Foucault, seperti misalnya Discipline and Punish yang merupakan hasil dari riset yang teliti.
Buku tersebut cukup detail dengan data-data sejarah dan pemaparan yang jelas, sistematik, dan ketat dalam sekitar 300 halaman. Dalam buku ini, Foucault menelaah perubahan-perubahan teknologis politis terhadap tubuh. Dari seluruh uraian dan analisis yang dibuatnya, setidaknya muncul dua signifikasi.
Pertama, teknologi menghukum berubah dari bentuk yang amat kasar dan kejam menjadi lunak dan semakin tidak menyentuh tubuh. Dari sepak bola kita melihat bahwa teknologi dapat diartikan sebagai VAR, di mana sepak bola menjadi lunak. Ia tidak lagi menjadikan manusianya keras, dalam hal ini wasit. Ia tidak perlu bersusah payah mempertimbangkan dengan kemampuan logisnya, tinggal menyerahkan sepenuhnya kepada VAR, semua akan beres.
Kedua, perubahan yang disertai dengan perkembangan pengetahuan ini memang tidak terpisah dari mekanisme penaklukkan, tetapi penaklukkan ini menjadikan individu patuh dan berguna. Teknologi kuasa menghukum menjadi semakin efektif, semakin mencapai targetnya di dalam rezim pendisiplinan.
Pendisiplinan menurut Foucault merupakan cara kuasa melaksanakan kontrol terhadap individu dan pada gilirannya menghasilkan individu yang patuh dan berguna. Wujud ideal individu yang disiplin tampak dalam diri seorang tentara yang dari kejauhan sudah dapat dikenal melalui tubuhnya yang sudah terlatih.
Sangat jelas dalam kaitannya dengan penggunaan VAR, para pemain sepak bola yang bertanding tak ayal seperti narapidana di sebuah penjara, di mana segala sesuatunya diawasi oleh kamera, sehingga insting membunuh seorang striker, ataupun kontak badan dalam sepak bola menjadi terreduksi dengan sendirinya, karena secara psikologis pemain akan terganggu oleh mata-Tuhan tersebut.
Secara psikologis, mereka akan meredam kekutan untuk menaklukkan lawannya dalam permainan. Semua karena adanya VAR.
Menurut Foucault, tubuh terus menerus menjadi target kuasa. Foucault juga memperlihatkan strategi-strategi kuasa yang semakin tidak menyentuh tubuh secara kasar. Namun, gejala ini bukan merupakan tanda bebasnya tubuh dari kuasa atau suatu akibat dari semakin diperlihatkannya kemanusiaan dan kebebasan manusia, melainkan justru momen ketika tubuh dan individu semakin ditaklukkan, dijadikan patuh dan berguna.
Foucault memandang individu modern sebagai individu yang dalam segala aktivitasnya terus menerus diawasi, dipantau, didisiplinkan, ditaklukkan, dijadikan patuh dan berguna. Dan semua nampak dalam penggunaan VAR dalam sepak bola.