Vaporwave bukanlah sebuah karya seni yang hanya ada untuk didengar, melainkan juga untuk "dilihat".
Sebuah tren tengah melanda internet beberapa tahun belakangan. Di tengah kian majunya teknologi, terdapat sekelompok warganet yang mencoba membangkitkan kembali nostalgia di era 1980 - 1990-an melalui sejumlah musik dan gambar bernuansa jadul. Bagi yang memahaminya, nostalgia itu dirangkum dalam sebuah kata: vaporwave.
Vaporwave merupakan sebuah subgenre musik elektronik yang berkembang sejak era 2010-an. Lagu-lagu yang masuk ke genre ini umumnya diambil dari sebuah lagu populer yang kemudian diedit sedemikian rupa dengan cara diperlambat, diubah kuncinya, hingga dipotong-potong sehingga memunculkan bait yang repetitif.
Pada awal kemunculannya, vaporwave diniatkan sebagai sebuah parodi dari chillwave, yakni genre musik santai yang biasa kita temui di pusat perbelanjaan atau lift. Tak heran apabila penikmat vaporwave mengaku mengalami suasana "di dalam sebuah mall kosong" atau "di sebuah lift menuju dunia lain" tatkala mendengarkan genre ini.
David Keenan (2009) melabeli vaporwave sebagai hypnagogic pop yang bertujuan menghipnosis para pendengarnya untuk merasakan suasana yang ada di masa 1980 - 1990-an, walau mungkin mereka tak sekalipun pernah hidup di masa tersebut. Mendengarkan vaporwave pun dapat dianggap sebagai perjalanan spiritual yang membuat kita "rindu akan sebuah realitas yang tidak pernah kita alami sebelumnya".
Sulit untuk mengatakan kapan vaporwave pertama kali muncul. Namun Beauchamp (2016) mengatakan bahwa karya musik pertama dengan karakter yang kita kenal sebagai vaporwave hari ini adalah album Chuck Person - Eccojams.
Komposisi pertama di album ini, yang berjudul "A1", adalah hasil edit dari karya terpopuler grup band Toto, "Africa". Dalam album ini, Chuck Person, atau siapa pun orang di balik nama tersebut, mengobok-obok "Africa" sedemikian rupa sehingga lahirlah instrumentalia yang begitu terdengar aneh di telinga.
Perkenalan saya dengan vaporwave terjadi tahun 2017 di sebuah kafe di Yogyakarta. Waktu itu, saya tengah mengerjakan makalah sembari meninggalkan playlist YouTube saya di mode acak. Tiba-tiba, telinga saya mendengar sebuah instrumentalia yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Usut punya usut, lagu tersebut adalah "Lisa Frank 420", sebuah komposisi dari seorang musisi elektronik yang menyebut dirinya Macintosh Plus. Komposisi ini rupanya diambil dari lagu Diana Ross yang berjudul "It's Your Move" (1984).
Begitu "kurang ajar"-nya vaporwave, ia pun berhasil mengubah "It's Your Move" yang rancak menjadi sebuah karya musik tujuh menit bernuansa psychedelic. Belum lagi, Macintosh Plus mengakhiri lagu ini dengan pengulangan bait ...it's all in your hands yang diedit sedemikian rupa sehingga terdengar sebagai ...it's all in your head, menambah suasana trippy tatkala mendengarnya.
...it's all in your head
...it's all in your head
...it's all in your head
"Lisa Frank 420" barangkali adalah komposisi terpopuler dari semua lagu-lagu bergenre vaporwave. Sehingga, bisa dikatakan bahwa apabila seseorang mendengar kata "vaporwave", lagu inilah yang terngiang di kepala mereka.
Namun, lagu ini sebenarnya hanya salah satu dari sejumlah lagu yang ada dalam album Floral Shoppe (2011). Layaknya karya vaporwave lain, album ini pun muncul dengan visualisasi "berestetika".
Pada sampul Floral Shoppe, kita bisa melihat sejumlah ikon berupa patung kepala Helios (dewa matahari Yunani), lantai bermotif papan catur, serta latar belakang berwarna pink yang dihiasi tulisan Jepang.
Dalam presentasinya, vaporwave memang menampilkan diri sebagai musik yang membawa pendengarnya pada mood 1980 - 1990-an. Sehingga, sulit untuk mendefinisikan vaporwave hanya sebagai sebuah genre musik.
Ia bukanlah sebuah karya seni yang hanya ada untuk didengar, melainkan juga untuk "dilihat". Hal itu wajar, karena subkultur vaporwave juga terdiri atas penggunaan visualisasi-visualisasi era tersebut seperti clip art retro, glitch art, dan ilustrasi tiga dimensi.
Oleh para penikmat vaporwave, visualisasi tersebut dilabeli sebagai sebuah estetika (AESTHETICS). Ya, Anda tidak salah baca.AESTHETICS ditulis menggunakan font full-width untuk menyerupai tulisan-tulisan ala komputer jadul beraksara Jepang.
Sebenarnya, ada apa di balik segala parodi ini? Rupanya, di balik segala penggambaran nostalgia akan dekade 1980 - 1990-an itu, ada sebuah pesan yang coba dibawa oleh genre vaporwave.
Glitsos (2017) menyatakan bahwa vaporwave adalah genre yang "menggali kembali sampah-sampah masa lalu budaya konsumeris dan kapitalis", lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang menyindir budaya tersebut. Secara etimologi pun, vaporwave merupakan plesetan dari istilah vaporware, kurang lebih berarti produk yang gagal dirilis.
Ia pun kemudian melambangkan kejenuhan kultural, sehingga masa lalu pun menjadi sesuatu hal berharga untuk dirayakan. Vaporwave yang awalnya dianggap sebagai sebuah meme atau parodi pun kini mulai diperhitungkan sebagai sebuah counter culture di era digital.
Apabila kita lihat, banyak sekali visualisasi dalam seni vaporwave menggunakan ilustrasi Jepang pada masa 1980 - 1990-an.
Sebenarnya, obsesi vaporwave terhadap penggambaran Jepang ini bukan tanpa alasan. Pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an, Jepang mengalami perekonomian yang maju pesat, sehingga ia menjadi kiblat kemajuan teknologi dunia.
Kalau kita kembali mengingat masa kecil kita di tahun 1990-an (atau masa muda, tergantung usia Anda saat ini), maka budaya pop Jepang boleh jadi memegang porsi cukup besar. Siapa yang tak mengenal SEGA, Nintendo, VHS, dingdong, atau tayangan-tayangan seperti Gaban dan Ultraman.
Jepang pada saat itu tampak begitu jumawa menyaksikan budaya dan teknologinya begitu menghegemoni dunia. Namun, kejayaan itu tidak berlangsung lama, karena sejak dekade 1990-an, Jepang mengalami stagnansi ekonomi. Antiklimaks inilah yang diambil oleh gerakan vaporwave sebagai simbol bahwa konsumerisme adalah sebuah budaya yang fana.
Maka dari itu, tentu kurang afdal apabila mengenang (baca: meledek) konsumerisme masa 1980 - 1990-an tanpa memunculkan visualisasi yang berkaitan dengan Jepang.
Pinto (2017) juga berpendapat bahwa vaporwave meledek penggunaan teknologi berlebihan yang sudah dianggap normal di dalam musik pop masa kini. Genre ini pun berupaya menonjolkan "anomali-anomali" dalam musik elektronik untuk menantang pendengarnya membongkar kembali normalisasi tersebut.
Barangkali, vaporwave juga merupakan simbol kebosanan pendengar akan musik pop yang kini didominasi unsur-unsur seperti autotune dan instrumen-instrumen virtual.
Selain Chuck Person dan Macintosh Plus, terdapat sejumlah musisi vaporwave lain seperti Blank Banshee, Saint Pepsi, Eco Virtual, dan Internet Club. Kemunculan vaporwave pun memunculkan sejumlah genre lain, seperti vaportrap, hardvapor, maupun mallsoft.
Popularitas vaporwave ini mungkin juga berkontribusi kepada kembali bangkitnya genre city pop Jepang ("Plastic Love" dan kawan-kawannya) di jagat jembar pada dekade 2010-an.
Ironisnya, saat ini, barangkali vaporwave sudah melenceng dari tujuan asalnya. Alih-alih menjadi sebuah lelucon yang bersifat satir terhadap konsumerisme dan kapitalisme, ia kini justru menjadi sebuah genre "sungguhan" yang perlahan terkomersialisasi.
Namun, pertanyaan besar yang dibawa oleh genre ini mungkin tak akan lekang oleh waktu: apakah yang kita glorifikasi sebagai realita masa lalu sebenarnya hanyalah komodifikasi dari penguasa kapital pada masanya? Apakah kita hidup di dalam sebuah simulasi yang dibuat mereka?
It's all in your head.
/music plays.