Amerika Serikat pada April 2019 lalu dikejutkan oleh beberapa kasus kematian mendadak yang disebabkan oleh permasalahan pernapasan. Setelah ditelusuri, mereka yang menjadi korban kehilangan nyawanya setelah mengonsumsi produk rokok elektronik, atau yang dikenal dengan nama vape.

Krisis kesehatan ini terus berlanjut hingga awal 2020. Pada Januari tahun ini, setidaknya ada lebih dari 2.700 korban yang dirawat di rumah sakit akibat mengonsumsi produk vape, di mana sekitar 60 di antaranya kehilangan nyawa (CDC, 2020). Merebaknya krisis kesehatan ini membuat Presiden Donald Trump mengeluarkan berbagai larangan dan restriksi terkait produk vape, salah satunya melarang produk vape yang memiliki perasa.

Kejadian mengerikan di Amerika Serikat tersebut juga memiliki pengaruh terhadap diskursus mengenai kebijakan vape di Indonesia. Gerakan Muda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), misalnya, menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa vape dapat membawa masalah yang besar (Antaranews, 14/09/2020).

Lantas, mengapa peristiwa di Amerika Serikat tersebut dapat terjadi? Apakah anggapan bahwa vape berpotensi dapat membawa masalah besar di Indonesia adalah anggapan yang tepat?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apakah vape benar-benar merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, terutama bila dibandingkan dengan rokok konvensional.

Pada 2015, misalnya, lembaga kesehatan Pemerintah Inggris, Public Health England, yang berada di bawah Departemen Kesehatan Britania Raya, menyatakan bahwa rokok elektronik 95% lebih aman dibandingkan dengan rokok konvensional (Public Health England, 2015). Hal tersebut dikarenakan rokok konvensional yang terbuat dari tembakau ketika dibakar mengeluarkan lebih dari 7.000 zat kimia, di mana 69 di antaranya merupakan zat berbahaya yang dapat menyebabkan kanker (American Lung Association, 2019).

Hal tersebut jauh berbeda dengan zat yang terkandung di dalam vape, di mana cairan yang digunakan dalam produk elektronik adalah propylene glycol (PG) dan vegetable glycerin (VG) yang digunakan untuk membentuk uap dan menambah rasa. Kedua bahan tersebut merupakan bahan umum yang kerap digunakan oleh berbagai produk makanan dan telah dinyatakan aman oleh lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (US Foods & Drugs Administration, 2019).

Lantas, bila vape benar-benar aman, mengapa beberapa waktu lalu banyak warga Amerika Serikat yang kehilangan nyawa setelah menggunakan produk tersebut?

Hal tersebut dikarenakan vape atau produk rokok elektronik yang digunakan oleh mereka yang menjadi korban adalah vape ilegal yang diisi dengan zat berbahaya. Vape tersebut adalah produk yang didapatkan dari pasar ilegal dan bukan produk resmi yang mendapatkan lisensi dari pemerintah, dan telah disetujui oleh lembaga regulator kesehatan (NYTimes, 06/07/2019).

Produk vape yang dipasarkan secara ilegal tersebut mengandung kandungan tetrahydrocannabinol (THC) ilegal. Dampak dari mengonsumsi zat tersebut dapat mengganggu saluran pernapasan yang ditandai dengan berbagai gejala seperti batuk, sesak napas, muntah, dan rasa sakit di bagian dada. Hal tersebut tidak pernah terjadi bagi pengguna vape yang membeli produk rokok elektronik di toko resmi yang mendapatkan lisensi (The New England Journal of Medicine, 2020).

Sebagai akibat dari kejadian tersebut, otoritas anti obat-obatan terlarang Pemerintah Federal Amerika Serikat, The Drug Enforcement Administration (DEA), berhasil menangkap seorang pria yang menjalankan bisnis produk vape ilegal tersebut di negara bagian Wsconsin. DEA setidaknya menyita 85 kilogram produk ganja dan minyak yang mengandung THC serta 8 senjata api (Associated Press, 11/09/2019).

Untuk itu, kebijakan pelarangan total atau membuat produk vape legal makin sulit untuk diakses konsumen merupakan kebijakan yang sangat berbahaya, karena akan makin menyuburkan produk-produk vape ilegal yang sangat berbahaya bagi kesehatan, dan bahkan terbukti mematikan. Kebijakan yang paling tepat adalah bagaimana membuat regulasi yang komprehensif bagi produk-produk rokok elektronik dan memastikan produk-produk tersebut tidak bisa diakses oleh anak-anak di bawah usia dewasa.

Melalui sejarah, kita bisa belajar betapa bahayanya kebijakan pelarangan terhadap produk tertentu, apalagi produk tersebut merupakan produk yang diminati oleh banyak orang. Amerika Serikat pada 1920-1933, misalnya, melarang produksi dan penjualan seluruh jenis minuman beralkohol, yang dikenal dengan nama prohibition era.

Akibatnya, makin banyak produk minuman beralkohol yang berbahaya yang beredar di pasar, dan organisasi kriminal pun juga makin besar dan kuat karena hanya mereka yang memiliki sumber daya untuk memproduksi minuman keras dan mengelabui hukum (History Channel, 2009).

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Lembaga think tank Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), misalnya, pada 2016, memublikasikan laporan penelitian mengenai dampak larangan minuman beralkohol.

Berdasarkan penelitian tersebut, kota-kota dan daerah-daerah di Indonesia yang memberlakukan pelarangan minuman beralkohol menyebabkan tingkat kematian karena konsumsi minuman beralkohol ilegal menjadi makin meningkat (Center for Indonesian Policy Studies, 2016). Tidak mustahil hal yang sama juga terjadi bila vape dilarang.

Selain itu, terkait praktik mencampurkan cairan vape dengan zat-zat berbahaya, setiap orang juga bisa mencampurkan berbagai produk makanan, minuman, atau produk-produk konsumsi lainnya dengan zat-zat yang berbahaya, dan tidak terbatas pada produk vape. Seseorang bisa mencampurkan suatu minuman soda, misalnya, dengan obat-obatan tertentu yang dapat kita temukan dengan mudah di apotek, yang tentunya akan sangat berbahaya bagi kesehatan.

Namun, bukan berarti kita bisa melarang seluruh minuman soda dan produk obat-obatan medis dengan alasan untuk mencegah seseorang menyalahgunakan produk tersebut. Kebijakan tersebut adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Berdasarkan berbagai preseden dari masa lalu, tidak mustahil justru mereka yang bisa memproduksi dan mendistribusi produk-produk minuman soda dan obat-obatan medis hanya organisasi-organisasi kriminal yang sangat berbahaya.

Langkah yang harus dilakukan adalah menyusun kebijakan yang komprehensif yang mengatur dan meregulasi produk-produk minuman tertentu, atau obat-obatan tertentu, untuk meminimalisasi kemungkian dan mencegah produk-produk tersebut digunakan secara tidak bertangung jawab dan dikonsumsi secara tidak semestinya. Hal yang sama juga berlaku bagi produk-produk rokok elektronik.

Jangan sampai kita mengulangi kembali kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, seperti kebijakan yang diambil di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, dan juga kebijakan regulasi superketat terkait dengan produk-produk minuman beralkohol yang diberlakukan di berbagai tempat di Indonesia.

Jangan sampai keinginan kita untuk menanggulangi dampak dari berbagai produk-produk tertentu, seperti produk-produk rokok elektronik, dalam hal ini tentunya juga termasuk produk-produk minuman beralkohol, justru melahirkan korban-korban jiwa baru dan memperkuat organisasi-organisasi kriminal.

Karena, sekali lagi, kebijakan pelarangan produk tertentu merupakan kebijakan yang sudah terbukti gagal dan bahkan makin membahayakan masyarakat. Jangan sampai kita kembali membuat kesalahan yang sama dengan melarang produk vape sebagaimana produk-produk lainnya sebagaimana yang diberlakukan di berbagai tempat dan berbagai daerah.

Referensi