Beberapa hari yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan bentrokan antara TNI dan masyarakat petani di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Bentrokan tersebut memperlihatkan dengan jelas sikap represif aparat TNI kepada masyarakat yang sedang berusaha mempertahankan tanahnya agar tidak dipagari oleh pihak TNI.
Tanah yang menjadi konflik terletak di daerah Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Jateng), terletak di antara muara Kali Lukulo Desa Ayamputih di sebelah barat, sampai dengan muara Sungai Wawar Desa Wiromartan. Luas total daerah yang berkonflik ini memiliki panjang kurang lebih 22,5 km dan lebar 500 meter dari bibir pantai.
Warga yang terlibat dalam konflik ini berasal dari beberapa desa sepanjang pantai Kebumen Selatan, yaitu Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren), Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal), Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit).
Dari bentrokan tersebut, masyarakat mengalami luka-luka yang di antaranya luka bekas pukulan dan injakan, serta luka akibat terkena peluru karet yang ditembakkan aparat TNI.
Pinjam Lahan Berakibat Petaka
Konflik yang terjadi di tanah pesisir Urutsewu dimulai sejak tahun 1982 di mana hal tersebut diawali dengan pengiriman surat pinjam tanah oleh pihak TNI kepada kepala desa setempat. Surat pinjam tersebut pun pada akhirnya tidak lagi dilakukan dan hanya memberikan surat pemberitahuan latihan semata.
Pada tahun 1998, TNI membuat kontrak dengan Pemkab Kebumen untuk penggunaan tanah di pesisir Urutsewu sebagai tempat latihan militer yang kemudian disusul dengan pemetaan sepihak tanah oleh TNI untuk area latihan dan uji coba senjata tersebut dengan lebar 500 meter dari garis pantai ke utara dan dengan panjang 22,5 kilometer.
Pada tahun 2007, terjadi pelebaran klaim tanah oleh TNI yang semula 500 meter dari garis pantai ke utara menjadi 1000 meter dari garis pantai. Pelebaran klaim tersebut kemudian mendapat dukungan dari DPRD Kabupaten Kebumen dalam Draft Raperda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dipaparkan pada 13 Desember 2007.
Kemudian, pada tahun 2008, Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi dengan memberikan surat izin pemanfaatan tanah milik TNI AD di Kecamatan Mirit kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Di tahun yang sama pula, pemerintah Kabupaten Kebumen memberikan izin eksplorasi pasir besi kepada PT tersebut.
Di tahun 2011, pemerintah Kabupaten Kebumen mengeluarkan izin usaha pertambangan ekploitasi operasi produksi tambang pasir besi kepada PT MNC untuk waktu 10 tahun dengan luasan wilayah izin eksploitasi seluas 591,07 ha, dengan 317,48 ha di antaranya adalah tanah milik TNI AD.
Tanpa sosialisasi, ijin tersebut dikeluarkan meskipun Perda Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen yang berlaku saat itu belum menetapkan wilayah Urutsewu sebagai wilayah pertambangan sehingga ijin tersebut harus batal demi hukum.
Di tahun yang sama, masyarakat Urutsewu melakukan penolakan terhadap latihan militer dan uji coba senjata oleh TNI dikarenakan tewasnya warga beberapa tahun silam dikarenakan terkena ledakan mortir.
Aksi penolakan tersebut ditunjukan dengan berbagai cara, bermula dari ziarah makam korban meninggal hingga blokade jalan dengan batang-batang kayu yang kemudian dibalas dengan tindakan represif aparat TNI hingga mengakibatkan masyarakat menjadi korban. Di antara korban-korban tersebut, terdapat juga masyarakat yang dikriminalisasi dengan pasal perusakan dan penganiayaan.
Masih di tahun 2011, pada akhirnya pihak TNI AD melalui surat dari Kodam IV Diponegoro mencabut persetujuan penambangan pasir besi oleh PT MNC karena mendapat penolakan yang keras dari masyarakat. Hal tersebut membuktikan bahwa TNI pernah benar-benar memberikan izin dan melakukan kegiatan bisnis, yaitu penambangan pasir besi.
Pada tahun berikutnya, tepatnya tahun 2012, kembali terjadi aksi penolakan oleh masyarakat. Aksi tersebut atas respons terhadap terbitnya Perda Tata Ruang Wilayah yang menjadikan Urutsewu sebagai wilayah pertambangan pasir besi dan wilayah latihan uji coba senjata berat, serta sebagai wilayah pertanian dan pariwisata.
Tuntutan masyarakat pada aksi tersebut adalah meminta Pemerintah Kabupaten dan DPRD untuk hanya menjadikan wilayah Urutsewu sebagai wilayah Pertanian dan Pariwisata saja.
Besarnya gerakan penolakan masyarakat Urutsewu tersebut ternyata tidak mendapatkan respons dari Pemerintah Kabupaten maupun DPRD sehingga gerakan penolakan masyarakat dialihkan dengan mengusir PT MNC yang akan melakukan kegiatan penambangannya di Kecamatan Mirit.
Pada tahun 2013, pemagaran dilakukan oleh TNI di tanah rakyat dengan merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan. Pemagaran ini telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, tetapi tetap dilanjutkan.
Mengkhianati UUD 1945 dan UUPA 1960
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 September 2019, kembali terjadi aksi penolakan warga masyarakat yang menolak pembangunan tembok pembatas untuk kawasan latihan dan percobaan senjata berat TNI. Aksi tersebut sempat terekam video di mana menunjukan kembali respons aparat TNI dengan sikap represifnya sehingga menimbulkan korban luka, baik luka akibat benda tumpul maupun peluru karet.
Seperti telah diketahui, penolakan masyarakat tersebut adalah bagian dari perjuangan panjang perlawanan terhadap kesewang-wenangan atas perampasan tanah masyarakat.
Kesewenaang-wenangan tersebut merupakan bukti kuat bahwa posisi masyarakat masih sangat lemah dalam memperoleh haknya sebagaimana telah diamanatkan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Untuk mendapatkan hak tanahnya, masyarakat harus melakukan perlawanan dan mendapatkan tindak represif yang luar biasa. Pemukulan, penembakan, dan kriminalisasi menjadi hal yang pasti ada pada perjuangan masyarakat atas tanah. Apalagi jika perjuangan tersebut melibatkan para pemilik modal besar yang hendak menguasai suatu wilayah di mana terdapat masyarakat di dalamnya.
Harus diketahui bahwa UUPA 1960 telah memandatkan bahwa tugas negara untuk mendistribusikan tanah kepada masyarakat dan petani miskin. Namun pada kenyataannya, 59 tahun sejak UUPA 1960 ditetapkan, kondisi petani dan masyarakat miskin tetap dalam kondisi yang terpuruk.
Hal tersebut ternyata berbanding terbalik dengan mandat dan cita-cita UUPA dalam rangka menjalankan UUD 1945 agar masyarakat dapat sejahtera. Apa yang diterima masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanahnya justru adalah tindakan represif dan kesewenang-wenangan pemerintah serta para pemilik modal.
Hal tersebut terjadi di seluruh penjuru tanah air dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini adalah bukti nyata bahwa telah terjadi pengkhianatan UUD 1945 dan UUPA 1960 oleh negara kepada masyarakatnya.