Sejak di sahkan UU ITE pada tahun 2008, maka sejak itu pula kebebasan berekspresi di bungkam dan di berangus. Sebetulnya Pasal 28 ayat (12) UU ITE Jo Pasal 14 ayat (1) dan (2) di maksudkan untuk mengatur informasi, dan transaksi online, yang terkait dengan kecurangan, pemalsuan, dan peretasan.
Tetapi praktek kenyataan UU ini dipakai untuk mengkriminalisasi, menangkap aktivis, dan membungkam kebebasan berekspresi. Tidak mengherankan, hari ini (Senin, 31/01) sekitar pukul 19.00 WIB Wartawan Edy Mulyadi akhirnya di tetapkan sebagai tersangka dan langsung di tahan. Itu bukan karena bukti, fakta dan dokumen sudah terpenuhi. Tetapi sudah ada misi lain yang di tetapkan.
Anda bisa lihat juntrungan dan gelar perkara sebelum-sebelumnya.
Seperti kasus yang terjadi pada Habib Bahar Bin Smitt. Yang di Persoalkan kritik terhadap Kasad Jendral Dudung. Tetapi yang di sidik adalah masalah tentang 50 Km. Sama juga dengan kasus Habib Rizik Sihab. Yang dipermasalahkan kasus melawan kekolotan rezim. Tetapi yang di sidik kasus masalah prokes.
***
Kalaupun Edy Mulyadi sudah di jadikan tersangka, lantas kita bisa apa? Kalau Ia di penjara, memang kita punya kekuatan apa? Kalapun Edy Mulyadi di pidana, memang terus siapa yang punya daya?
DPR yang seharusnya memiliki misi dan agenda kekuasaan seperti ini. Sepertinya mereka lebih mengedepankan kepentingan dan pro terhadap kekuasaan, ketimbang masalah publik.
Kelompok-kelompok partai dan institusi-institusi yang seharusnya melindungi kebijakan publik, kini sudah bersetubuh dengan kekuasaan. Kampus-kampus, profesor-profesor, dosen-dosen, guru-guru, dan mentri-mentri yang seharusnya melindungi aspirasi publik. Kini sudah menjadi candu dan selingkuh dengan kekuasaan.
Tak bisa di duga dan di elak, bahwa keadaan kita hari ini benar-benar di bungkam dan di berangus oleh kekuasaan. Ungkapan kasus proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang di prakarsai dan di fokuskan oleh Edy Mulyadi. Justru yang dipersoalkan lagi oleh kekuasaan, ungkapan "Jin Buang Anak".
Secara jelas,—Pasal yang di persiapkan oleh kekuasaan, lengkap dengan drafting, isu atau target yang di upayakan. Dari Pasal 45A Ayat (2) Juncto Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan UU Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Bagi siapapun yang melawan rezim dan menentang kebijakan publik. Akan di tunaikan sanksi hukum pidana. Seperti yang terjadi pada Edy Mulyadi.
Tetapi barangsiapa yang memayungi kekuasaan. Akan di tunaikan perlindungan dan kepentingan. Seperti yang terjadi pada Puan Maharani, Alteria Dahlan, hingga Risma dan banyak juga yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.
Dalam KUHAP, Edy Mulyadi terlibat dalam "Dugaan Tindak Pidana Ujaran Kebencian". Atau biasa di sebut sebagai hate speech yang bermuatan SARA tentang "Ungkapan Jin Buang Anak". Itu akan di jerat dalam Pasal 156 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dengan hukuman di atas lima tahun penjara.
_"Jika pasal dan hukum pidana itu terjadi pada Edy Mulyadi".
Seharusnya pemerintah tetapkan juga dengan kasus yang terjadi pada Alteria Dahlan, Risma hingga Puan Maharani. Mereka semua juga terlibat dalam kasus tentang SARA, "Ujaran Kebencian".
Untung itu, —harus di berlakukan dengan hukum yang sama.
Terapkan pasal Pasal 45A Ayat (2) Juncto Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan UU Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Bahwa, _apa yang di dapatkan oleh Edy Mulyadi. Itu juga, wajib akan di berikan kepala Alteria Dahlan, Puan Maharani, dan Risma. Bila Edy Mulyadi di jerat Pasal 156 KUHAP. Dengan hukuman di atas lima tahun penjara. Maka jeratkan Pasal 156 KUHAP kepada Puan, Alteria, dan Risma. Dengan hukuman di atas lima tahun penjara pula.
Biar mereka semua,— sama-sama bisa merasakan hukum seperti yang dirasakan oleh Edy Mulyadi. Sekalipun mereka adalah kader PDIP. Tetapi tetap saja hukum itu di terapkan dan di tegakan.
Ancaman Kebebasan Ekspresi
Meskipun tingkat kepuasan Anda dan masyarakat Indonesia terhadap kebebasan ekspresi di katakan cukup tinggi. Tetapi indeks kebebasan kita di dunia sebetulnya mengalami penurunan (take down).
_"Freedom House", salah satu bukti Internasional terkuat di dunia, menilai bahwa iklim kebebasan kita di Indonesia. Itu sifatnya memburuk dari sejak 2014.
Semenjak masuk Era kepemimpinan Jokowi, hasil laporan wartawan, —Sans Frontieres (RSF) meningkat secara tahap signifikan. Pada tahun 2018, Institusi Kebebasan Pers, yang bertempat di negara Prancis meletakkan peringkat Indonesia itu di urutan ke-124, yang berada di bawah Nepal, Uganda dan Negeria. Tahun 2001-2002 di awal-awal Reformasi pencapaian prestasi Indonesia cukup tinggi, yakni urutan ke-57.
Ini tentu saja sinyal dan gambaran awal bahwa mimpi buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan demokrasi kita terasa makin pejal.
Pada satu sisi, masyarakat Indonesia lebih percaya bahwa demokrasi kita adalah sistem politik terbaik yang harus di kembangkan dan pertahankan.
Tetapi, pada sisi lain, tindakan dan perilaku politik kita dan masyarakat Indonesia kurang mendukung nilai-nilai demokrasi, khususnya yang terkait dalam persoalan "kebebasan berekspresi".