Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dalam pesta demokrasi dapat membuka pintu korupsi. Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) atas kajian Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut survei tersebut, biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon (paslon) dapat mencapai 20 hingga 100 miliar rupiah sekali pemilihan.
Finansial memang menjadi salah satu modal penting untuk memenangkan pemilu. Modal finansial ini dapat menjadi penggerak sumber daya politik paslon kepala daerah.
Untuk Perkenalan
Modal finansial dapat digunakan untuk kepentingan paslon kepala daerah. Misalnya, mereka dapat membuat iklan-iklan bertebaran di beberapa lokasi strategis untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat bahwa mereka mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Contohnya saja seperti ini. Menurut beberapa agensi periklanan baliho, harga sewa baliho tersebut sekitar Rp200.000.000 hingga Rp300.000.000 per tahun tergantung lokasi tempat iklan tersebut. Itu hanya satu lokasi, belum dihitung untuk beberapa lokasi yang lain. Ini tentu memberikan gambaran kecil tentang harga yang harus dikeluarkan oleh paslon hanya untuk iklan mereka saja.
Di samping itu, paslon kepala daerah juga dapat berkampanye dengan cara yang belakangan ini semakin populer, yaitu blusukan. Biaya transportasi dari kediaman paslon menuju tujuan blusukan, dengan tim sukses yang dibawa tentu tidak dapat dipandang sebelah mata.
Hal-hal pengenal tersebut tidak murah, apalagi mencoba mengenalkan orang-orang yang jarang terlihat jasanya atau terdengar namanya. Belum lagi paslon harus membayar tim sukses yang membantu mereka dalam proses pengenalan tersebut.
Mencari Sponsor
Untuk menutupi biaya kampanye yang mahal, paslon kepala daerah tentu saja dapat mencari sponsor kampanye, atau dalam bahasa KPU, sumbangan. Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017, sumbangan tersebut dapat berupa uang tunai, barang, atau jasa yang bersumber dari perseorangan, kelompok, partai politik, atau badan swasta.
Melalui aturan tersebut, terlihat bahwa hampir setiap orang maupun setiap kelompok atau organisasi, selama legal menurut undang-undang, dapat menjadi sponsor paslon. Setiap kelompok tersebut bisa jadi memiliki tujuan masing-masing. Tujuan tersebut bisa jadi dapat terwujud dengan mengangkat pemangku jabatan yang mungkin akan membantu mereka, tidak terkecuali dengan pihak swasta.
Pihak swasta tentu tidak ingin mengeluarkan uang dengan sangat mudah. Dalam “perjanjian” sumbangan dengan paslon, kemungkinan mereka telah dijanjikan beberapa proyek yang dapat dijalankan selama paslon berkuasa dalam suatu daerah. Menurut data KPK, terdapat catatan 30 kasus korupsi yang melibatkan 22 kepala daerah sebagai tersangka. Mereka terjerat kasus suap proyek dengan pihak swasta.
Selain uang, pemerintah daerah yang sudah terpilih bisa jadi masih memiliki utang jasa terhadap tim sukses dan donatur mereka. Utang politik tersebut dapat dibayarkan dengan mengangkat tokoh-tokoh yang kurang profesional namun dekat dengan pemimpin dalam jabatan-jabatan tinggi. Penempatan tokoh yang tidak sesuai bidangnya tentu dapat memperlambat perkembangan politik yang ada di daerah tersebut.
Mengurangi Biaya Kampanye
Mengurangi kemungkinan korupsi dapat dilihat dari aspek pemerintah dan pasangan calon. Dari bagian pemerintah sendiri, melalui Kompisi Pemilihan Umum atau KPU, telah mengurangi biaya yang dapat dikeluarkan oleh paslon.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020, Pasal 61 huruf a, terdapat beberapa alat peraga kampanye yang dibuat atau dicetak oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Melalui peraturan tersebut, paslon mendapat kuota baliho sebanyak tiga per kabupaten, umbul-umbul sebanyak sepuluh per kecamatan, dan spanduk sebanyak satu per desa atau kelurahan.
Pemasangan alat peraga kampanye tersebut akan lebih baik jika lokasi yang dipilih merupakan lokasi strategis. Semakin banyak yang melihat dan mempelajari visi misi paslon, semakin dikenal lah mereka. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran paslon untuk menyewa baliho, spanduk, dan sebagainya dalam masa kampanye.
Berdasarkan perspektif paslon, beberapa biaya yang dapat dikurangi adalah biaya pengenalan paslon. Hal ini dapat dilakukan dengan prestasi yang mereka raih. Prestasi-prestasi tersebut dapat menggaungkan nama mereka bahkan sebelum menjadi calon kepala daerah.
Mencoba untuk membuktikan diri layak memimpin dari level yang lebih rendah dapat juga menjadi alternatif iklan baliho. Mungkin waktu yang diperlukan untuk ini tidak sedikit, namun hal tersebut dapat juga menjadi investasi, tidak hanya untuk pencalonan diri sebagai calon kepala daerah.
Selain itu, KPU melalui Peraturan KPU RI Nomor 13 Tahun 2020 melarang acara kampanye yang mengundang orang banyak untuk berkumpul. Hal ini dapat menjadi momentum untuk menggunakan dana kampanye dengan lebih efisien – fokus untuk “menjual diri” dibandingkan dengan membayar orang, seperti artis untuk konser, makanan untuk pertemuan besar, dan sebagainya.
Paslon juga dapat mengiklankan diri mereka menggunakan layanan iklan digital yang naik daun belakangan ini. Mengajak dan memperkenalkan diri dengan visi dan misi paslon kepada anak muda yang banyak menggunakan sosial media bisa jadi dapat meningkatkan impresi positif dan angka pemilih.
Namun layanan iklan digital juga tidaklah gratis. Oleh karena itu, paslon dapat menawarkan opsi donasi dari rakyat, selain menggunakan rupiah pribadi. Donasi ini mungkin akan membawa utang politik, namun utang politik tersebut akan mengarah kepada rakyat, bukan para usahawan.
Opsi donasi dan relawan tentu tidak dapat langsung diambil. Rakyat perlu melihat apakah orang yang mereka donasikan atau menjadi relawan ini pantas untuk mendapatkan donasi atau mendapat kerja keras mereka. Memperbaiki rekam jejak dapat mempermudah agar opsi tersebut berhasil.