Setelah soal uijan “Anies diejek Mega” pada sebuah SMP di Jakarta terlupakan, mendadak datang heboh lain. Ini kali ini soal pelajaran agama SD terbitan Tiga Serangkai. Redaksi soal yang diingat khalayak adalah “walaupun sudah mendapat rezeki banyak, Pak Ganjar tak pernah bersyukur”. 

Tentu saja, di tengah pandemi kayak gini, kayaknya kurang relate, memberi contoh ada orang yang dapat rejeki nomplok. Udah gitu, dia nggak pernah bersyukur lagi. Walaupun faktanya ada ratusan warga Sumurgeneng, sebuah desa di Tuban, kaya mendadak berkah dari gusuran tanah terkena proyek kilang minyak Pertamina dan Rosneft. 

Tetapi, kok ironis banget dengan fakta ambyarnya omzet warung, bangkrutnya café, tukang layos yang tak pernah pasang apalagi bongkar. Belum ojol yang waktunya lebih banyak buat ngopi sachetan daripada orderannya, tukang cilok depan SD yang rindu kerumunan anak-anak sekolahan, bahkan maraknya PHK dan kasus sejenisnya. Termasuk curhat pejabat yang hobi travelingnya diongkosi dari perjalanan dinas jadi tersumbat.

Iya sih, itu kan cuma contoh soal pelajaran agama SD. Lagi pula, sudah diklarifikasi. Buku “Pak Ganjar Tak Pernah Bersyukur” itu sudah terbit sejak lama, sebelum Bapak Ganjar Pranowo jadi gubernur. Mungkin karena rasa bersalah, tepatnya takut divonis salah, penerbit bilang, siap 86 untuk merivisi.

Nah, mumpung mau direvisi, saya pengin nyumbang satu saja. Soal pilihan ganda yang kontekstual dengan masa pandemi dan insya Allah timeless. Soal yang saya usulkan begini.

Pertanyaaan : Pak Ganjar sedang mendapat musibah yang sangat berat, maka Pak Ganjar harus:  

a) prihatin

b) sabar

c) marah-marah

d) diam

e) bersyukur

Pastinya, kecil kemungkinan, siswa akan jawab a). Ehm, jadi inget yang suka dengan diksi “prihatin”. Nggak usah disebutin, nanti Tuhan tidak suka. Siswa yang mikir, juga nggak akan milih jawaban “marah-marah” Kalo ada yang sukarespon dengan “marah-marah”, itu kan masa lalu, waktu masih njabat. Beliau kan, selain kena hujat umat berjilid-jilid. Satu lagi, yang dicap hobi marah-marah, sekarang hijrah dari SBY ke JKT. Lagian, sejak ngurusi tunawisma belio lebih gampang iba.

Lalu, yang akan menyikapinya dengan “diam” itu siapa? Nggak mungkin Mega yang suka ngejek Anies, kan? Nggak sinkron antara label diam dengan suka ngejek.

Sekarang, hampir pasti yang ada di benak Anda, jawabnya b) sabar, bukan?

Begini, saya pengin bilang bahwa sabar ketika tertimpa musibah sih itu mainstream banget. Tidak out of the box. Tapi kalau bersyukur atas musibah, tidak semua manusia sanggup.

Merespon musibah dengan bersyukur itu satu level di atas bersabar. Selama ini, kesabaran sering dianggap sebagai respon paling ideal, puncak dari level ketakwaan dalam menghadapi masalah, cobaan, musibah dan bencana.

Kemudian, banyak yang bilang, manusia mendapat musibah dengan tujuan agar Tuhan tahu, seberapa tangguh dan hebat sih level ketakwaannya. Hmm, kok kesannya, Tuhan disuruh nebak-nebak. Lagipula, Tuhan Maha Tahu, kenapa harus repot-repot mencari tahu, seberapa takwa hambanya saat ditimpa musibah. Kira-kira begitu.

Mari setujui, apa kata Einstein. Tuhan tidak sedang bermain dadu. Segala sesuatu di alam ini yang tampaknya acak dan keliatan tumbuh dengan sendirinya, sudah direkayasa kok sama Tuhan. Semua dalam skenerio-Nya.

Bagaimana bersabar dan bertahan dalam sepahit atau segimana tragisnya nasib, bisa membaca mantra Nietzsche ini : “Apa yang tidak membuatmu mati, akan menguatkanmu”. Selama masalah yang menimpa seseorang. Lalu dia bersabar, bertahan dan mencoba melewatinya, kemudian survive, maka justrulah dia akan tumbuh kuat. Contoh yang bisa dibaca pengalaman Viktor E. Frankl saat di kamp Auschwitz dalam buku Man’s Search For Meaning. Versi bersabar, cara bertahan hidup, dengan mencari maknanya.

Baiklah, sekarang seberat-beratnya musibah yang kita tahu itu apa? Tentu jawabnya, mati. Maut itu adalah puncaknya musibah. Dalam Lentera Al Quran, Quraish Shihab mengajak kita mengubah kerangka pikir kita. Reframing terhadap kematian bukan sebagai puncak musibah, melainan suatu nikmat dan anugerah Tuhan.

Penjelasannya, kalau memang mati itu musibah. Itu kan bagi yang ditinggal. Bagi yang kehilangan. Belum tentu kata yang mati, bukan?

Lho, siapa tahu si mayit, justru have fun, bahagia dijemput maut. Dia bisa merdeka dari memikirkan angsuran, bebas dari beban urun BPJS, mulas lihat tagihan listrik yang naik tak jelas, misalnya. Contoh simpel, saat ada teman atau saudara kita yang menderita sakit secara kronis, atas alasan tak tega melihatnya sering keluar kata-kata bijaksana, "mungkin dengan mati itu jalan yang terbaik".

Nah, sebenarnya kematian adalah jalan memperoleh kebahagiaan, bukan? Saat saya bingung, bagaimana memahami kalimat sakti ini, saya ingat seorang teman. Kisahnya, dia terjerat hutang bank dan nyaris tak mampu bayar angsuran. Ia dikejar-kejar temen, famili, debt collector beneran sampai koperasi simpan pinjam. Dalam puncak kegalauan, dia bilang,

 “Mungkin satu-satu nya jalan masuk akal adalah saya mati”

“ Hus, nyebut, Bro. Inget, Gusti Allah”, spontan teman-teman menjadi penasihat.

“ Ini bukan masalah putus asa. Tetapi rasional. Dengan saya mati, kan ada klausul, seluruh hutang akan diputihkan lewat mekanisme perbankan”

Nah teman saya ini, menemukan sebuah jalan, bahwa kematian juga bisa menjadi jalan logis, rasional dan legal dalam menyelesaikan masalah dan penderitaan. Versi dia tentu saja.

Tapi baiknya kita simak bentar penjelasan K.H. Quraish Shihab. Kesempurnaan wujud anak ayam adalah ketika menetas, keluar dari dunia telur. Menetas, bangkit, berjalan, meninggalkan cangkangnya. Dunia yang retak-retak dan fana.

Bagi manusia, sebelum kita mendapat kesempurnaan ini, sebelum manusia menyongsong kebahagiaan ini, pendeknya, sebelum manusia mati, ia harus bertemu dengan bermacam jenis musibah, bencana, masalah dan penderitaan. Baik sifatnya masalah pribadi. Atau bencana yang dihadapai bersama dan massif.

Lalu, muncul penasaran. Bagaimana kita memastikan bahwa kita bahagia saat kita mati? Kalo penderitaan yang “kecil” saja kita tidak mampu bersabar? Lebih-lebih mampu bersyukur? Ya, artinya termasuk yang gagal tetas alias ndok kuwuk.

Kita semua adalah makhluk yang sedang terkurung dalam cangkang telur. Jadi percayalah, kita akan menjadi sempurna, saat kita sudah mati. Nggak percaya? Silakan mati duluan! Ha..ha..ha...

Nah, demi generasi yang masih bermasa depan panjang, sejak dini anak-anak SD perlu diberi soal dan pemahaman tentang ajakan bersyukur saat mendapat musibah ini. Bukan berpola yang mainstrim saja, cukup bersabar.

Kunci jawaban yang betul, “meskipun mendapat musibah, Pak Ganjar harus bersyukur”

Ini agenda penting pendidikan kita. Mengingat dan mengantasipasi banyaknya cobaan, penderitaan, musibah yang mungkin hadir di nusantara. Sehingga, jika sewaktu-waktu datang, generasi kita sudah punya modal mental spiritual. Memiliki kesiapan bukan cuma bersabar, tetapi siap bersyukur dalam keadaan apapun. 

Lebih dari itu, usulan soal bukan cuma bernilai pelajaran SD, tetapi pelajaran kehidupan yang pasti bakal dihadapi manusia.

Tetapi, pada akhirnya, terpulang pada tim pembuat soal dan para guru SD. Siap mengubah soal ini. Bagaimana dengan saya pribadi? Saya adalah produk pendidikan zaman “ini budi”. Soal-soal ujian yang saya kenal, masih mainstream mainstream saja. 

Justru tulisan ini adalah intropeksi untuk pribadi. Mohon maaf, level hamba masih di radius ini : “pulsa kepotong 10 ribu aja misuh-misuh terus. Sabar belum mampu, apalagi bersyukur”.