Gegap gempita Muktamar Muhammadiyah ke-48 makin asyik untuk dibicarakan. Lebih-lebih setelah membaca tulisan Nabhan Mudrik Alyaum di salah satu media online, menggelitik saya untuk ikut meramaikan suasana.
Yang membuat tulisan itu menarik, ada sosok tak terduga yang masuk kandidat calon Ketua Umum. Dia adalah orang yang sedang viral di dunia alam kepenulisan. Siapa lagi kalau bukan Iqbal Aji Daryono.
Bagi sebagian orang yang formalis atau konseptis, mungkin lumayan aneh. Bagaimana orang yang bernama lengkap Muhammad Iqbal Aji Daryono ini, bisa masuk jajaran calon Ketum Muhammadiyah. Lha wong tidak ada agamis-agamisnya sama sekali.
Apa cukup dengan embel-embel nama Muhammad, terus langsung jadi calon Ketua Umum Persyarikatan Muhammadiyah. Ini Muhammadiyah lho, Organisasi yang konon kabarnya termasuk dua besar terbanyak anggotanya di Indonesia, bukan Remaja Masjid Jogokariyan Yogyakarta, atau Takmir Masjid Al Falah Sragen.
Saya pribadi saat membaca artikel itu ya senyum-senyum sendiri, tetapi setelah saya pikir-pikir, ada benarnya juga. Iqbal Aji Daryono layak menjadi Calon Ketua Umum alternatif untuk Muhammadiyah.
Anda pasti langsung tanya, alasannya apa? Berikut beberapa alasan saya:
1. Kader Pembaharu.
Melihat sosok Mas Iqbal (memang cocoknya dipanggil “Mas”, karena masih muda), mungkin sangat berbeda dengan kader Muhammadiyah lainnya yang terlihat necis dan alim dengan peci bulat yang selalu menempel di kepalanya dan celana yang sedikit cingkrang.
Maksud saya, bukan berarti Mas Iqbal tidak alim. Tetapi, pakaian keseharian Mas Iqbal kurang menunjukkan ke-Muhammadiyahannya. Dia ya biasa saja, sederhana dengan baju kemeja kotak-kotak berlengan panjang yang dilipat sampai siku. Setidaknya itu yang saya tangkap setiap melihat seminar yang dia isi.
Dengan penampilan seperti itu, justru memberi ruang bagi masyarakat untuk mendekat dan mengenal Muhammadiyah lebih dalam. Sikap tersebut membuat kita seakan tidak ada jarak dengan dia.
Muhammadiyah yang selama ini tersirat sebagai organisasi keislaman yang terkesan kaku, akan terlihat lebih terbuka ke depannya. Tentunya persyarikatan membutuhkan sosok tertentu untuk menaikkan kembali pamor Muhammadiyah, yang akhir-akhir ini lebih dikuasai NU. Dan sosok tersebut yang paling pantas adalah Iqbal Aji Daryono.
2. Dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Bukan menjadi rahasia umum lagi, Mas Iqbal memang dekat dengan tokoh-tokoh NU. Bahkan, dia mengidolakan tokoh-tokoh NU seperti Gus Mus, mendiang Gus Dur dan lainnya. Dia juga banyak jualan buku tokoh-tokoh NU tersebut.
Saya pernah membaca status Mas Iqbal di Facebook tentang sosok Gus Dur yang sangat fenomenal saat menawarkan Buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton setebal 516 halaman, yang membuat saya terhipnotis untuk membelinya. Begitu juga buku-buku karya KH. Musthofa Bisri alias Gus Mus juga pernah ditawarkan Mas Iqbal.
Ya namanya juga usaha, buku apapun dijual kan gak apa-apa, kata Anda. Saya tidak mengatakan Anda salah, tetapi ketika kita menjual sebuah buku, berarti kita telah menyetujui pemikiran dari penulis buku tersebut, yang tentunya akan melambungkan organisasi yang berafiliasi dengan tokoh tersebut. Memang saya yakin, bukan untuk sekedar jualan tujuan mas Iqbal, tapi pemikiran-pemikiran tokoh NU sejalan dengan pemikiran Mas Iqbal yang moderat dan tawassuth tersebut perlu untuk diketahui banyak orang.
Sudah saatnya NU dan Muhammadiyah harmonis kembali. Mungkin Anda bertanya, apa selama ini mereka tidak harmonis? Itu pertanyaan yang sangat mudah dijawab, bahkan oleh Anda sendiri.
Sosok IAD sangat cocok untuk menunjang keharmonisan mereka. Berbekal bahasa yang luwes dan komunikatif, serta toleransi yang hebat, semuanya akan indah pada waktunya.
3. Mengembalikan ke khitah Muhammadiyah yang dahulu.
Dari banyak artikel dan buku yang saya baca tentang Muhammadiyah, memang terjadi banyak perubahan ajaran di dalam Muhammadiyah. Saya sangat berharap Muhammadiyah kembali ajarannya seperti zaman pendirinya yaitu KH Ahmad Dahlan. Seperti yang disampaikan oleh Mochammad Ali Shodiqin dalam bukunya “Muhammadiyah itu Nahdlatul Ulama – Dokumen Fikih yang Terlupakan”.
Kitab Fikih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1924 sebenarnya bukan hanya warisan berharga bagi kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU.
Kitab itu juga bak kitabnya orang NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU. Masalahnya hanyalah satu hal bahwa pada tahun 1924 itu NU belum lahir.
NU lahir pada tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fikih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di Nusantara ini, yaitu fikih mazhab Syafi’i.
Jadi, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fikih sebagaimana yang ada di dalam kitab Fikih Muhammadiyah 1924 itu. Artinya, di masa awal berdirinya, Muhammadiyah itu adalah NU, fikihnya menggunakan mazhab Syafi’i yang sama dengan NU.
Uraian ini menggambarkan betapa dekatnya Muhammadiyah dan NU. Perlu adanya sosok untuk mengembalikan hal tersebut. Sosok yang bisa membawa Muhammadiyah kembali ke Muhammadiyah yang dahulu sebagaimana ajaran yang dibawa KH Ahmad Dahlan adalah IAD. Saya rasa dia paling cocok.
Keterbukaannya dengan wawasan yang lebih luas, akan membuka cakrawala yang selama ini tertutup oleh lingkungan. Bagaikan katak dalam tempurung, kalau kita gambarkan dengan peribahasa.
Dengan terwujudnya harapan yang besar tersebut, saya rasa Negara ini akan menjadi Negara yang semakin kuat keislamannya, sehingga semakin menjadi rujukan bagi Negara lain yang berhaluan keislaman. Bagaimana Negara sebesar ini dapat hidup rukun dan damai dengan segala perbedaan dan kemajemukannya.