Pertanyaan penting di dunia dakwah di zaman modern ini adalah kenapa ustaz prematur lebih digandrungi oleh umat Islam daripada kiai atau ulama yang secara keilmuan lebih matang?

Pertanyaan singkat itu sangat mengusik pikiran saya. Sebagai santri yang cukup lama tinggal di Pesantren, hati saya miris ketika melihat ustaz prematur yang tidak jelas asal-usul keilmuannya diikuti dan dipuja, tetapi kiai yang jelas sanad keilmuan dan memiliki kematangan spiritual malah ditinggalkan, bahkan dibenci dan dicaci.

Setelah saya berpikir agak panjang, sebenarnya wajar fenomena ustaz prematur kerap terjadi di tengah masyarakat kita. Hal ini dikarenakan keberagamaan masyarakat kita cenderung mengikuti logika dan nilai-nilai budaya populer yang lahir dari industri budaya.

Loh, kok bisa? 

Jadi begini, kita harus sadar bahwa industri kapitalis tidak hanya melahirkan produk-produk fisik seperti mobil, laptop, gawai, atau benda fisik lainnya. Tetapi ia juga memproduksi nilai-nilai yang secara tidak sadar diikuti masyarakat kita. Nilai itu berupa kemudahan, kesenangan, dan kecepatan yang sewaktu-waktu bisa merisak pada berbagai bidang kehidupan kita seperti sosial, budaya, dan juga agama.

Kebudayaan adalah salah satu korban industrialisasi. Ia menjelma manjadi “industri kebudayaan”, yaitu sebuah kebudayaan yang diproduksi secara industri, dan harus mengikuti, tunduk, serta patuh pada tiap logika dan nilai-nilai industri.

Anak kandung dari “industri kebudayaan” adalah popular culture atau biasa kita sebut budaya populer, sebuah budaya yang memiliki selera dan mutu yang rendah. Lawan dari popular culture adalah high culture, yaitu kebudayaan yang dibangun dari sifat reflektif, dan daya kreativitas dan standar kualitas yang tinggi. Contoh praktisnya adalah antara pertunjukan wayang atau ludruk dengan acara-acara TV seperti Pesbukers atau Opera Van Java. Jelas sekali perbedaannya, bukan?

Nasib yang sama juga dialami oleh agama. Saat ini ajaran agama harus berhadapan dengan ajaran-ajaran industri kebudayaan dalam pertarungan ide, gagasan, dan keyakinan. Ajaran agama yang bersifat mendalam, substantif, dan reflektif harus berhadapan dengan budaya populer yang penuh dengan citra, kesenangan, dan kenikmatan.

Terus, apa hubungannya dengan masalah ustaz karbitan?

Oke, kita kembali lagi kepada persoalan dakwah agama.

Menghadapi serbuan budaya populer yang kian masif berkat dukungan penuh kemajuan terknologi informasi, dakwah agama dengan metode konvensional seakan mengalami kebuntuan. Dakwah konvensional yang biasa dilakukan kalah bersaing dengan produk budaya populer seperti acara tv, konser musik atau konten-konten video di YouTube.

Bayangkan saja jika masyarakat kita terutama anak-anak millenial diminta memilih antara menonton TV atau YouTube dengan mengikuti pengajian di masjid atau alun-alun. Jelas mereka akan memilih membuka gawai, duduk manis sambil menikmati berbagai macam video di YouTube.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan agar dakwah agama bisa diterima oleh masyarakat terutama millenial adalah dengan berkompromi dengan budaya populer.

Sialnya, jika dakwah agama bersekongkol dengan budaya populer, maka agama harus mengikuti logika, nilai, dan cara kerja budaya populer. Dengan demikian, agama harus dibungkus dengan sesuatu yang fun, mudah dipahami, dan mengikuti selera para penonton. Akibatnya, ciri utama ajaran agama seperti kedalaman, substansi, dan refleksi bukan lagi sesuatu yang penting, karena yang terpenting adalah selera, kesenangan, dan kepuasan.

Dari sini saya mulai mengerti kenapa para ustaz itu lebih mementingkan penampilan daripada isi; kenapa mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memancing polemik di masyarakat, berbohong, bahkan melakukan akrobat politik dalam setiap ceramah yang mereka lakukan.

Jawabannya adalah karena mereka tidak mengejar pemahaman dan substansi ajaran agama. Mereka tidak perlu belajar ajaran agama secara mendalam, karena itu bukan tujuan mereka. Tujuan utama mereka adalah kesenangan dan kepuasan para jemaah.

Mengapa demikian?

Karena kesenangan dan kepuasan itulah yang akan menjadi candu bagi jemaahnya. Jemaah yang sudah kecanduan akan terus mengikuti setiap ceramah yang disampaikan oleh sang ustaz tanpa peduli dengan isi dan substansinya.

Jika kita jeli mengamati realitas ini, kita akan menemukan logika industri telah masuk di dalam dakwah agama yang dilakukan oleh para ustaz. Di tangan mereka, agama dijadikan sebagai komoditas yang dikomersilkan sehingga bisa mendatangkan banyak keuntungan materi.

Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan jemaah tetap setia kepada ustaz idola mereka. Apa itu? Pragmatisme dalam beragama.

Maksudnya adalah para jemaah itu mengikuti ceramah sang ustaz bukan dengan niat tulus memperdalam ajaran agama, tapi hanya mencari pembenaran dari ajaran agama yang sesuai dengan kelompok mereka. Oleh karena itu, biasanya mereka tidak mau menerima pendapat seorang ulama selain dari ustaz-ustaz mereka.

Komersialisasi ajaran agama disambut dengan pragmatisme beragama menjadi perpaduan yang pas dan serasi, sehingga melahirkan fenomena ustaz karbitan dengan jemaah setia mereka. Jadi tidak perlu heran jika seorang ustaz yang cetek ilmu agamanya tetapi memiliki jemaah setia yang jauh lebih banyak daripada kiai atau ulama yang menyandang gelar profesor dan sudah mapan ilmu agamanya.

Di dalam relasi beragama antara ustaz karbitan dan jemaahnya, setidaknya ada tiga hal penting yang patut dicatat.

Pertama, agama menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Kedua, dakwah agama menjadi bersifat transaksional antara ustaz yang menjajakan agama demi keuntungan materi dengan jemaah yang membutuhkan pembenaran atas pendapatnya. Ketiga, orang beragama hanya untuk memenuhi hasrat nafsunya belaka, agar mereka dianggap sebagai orang yang paling suci dalam beragama.

Logika industri dan budaya populer juga membuka mata kita sekaligus memberikan jawaban atas beragam metode dakwah ustaz seleb yang hanya mengedepankan hal-hal yang bersifat sensasional ketimbang substansi ajaran agama. Dengan logika industri, para ustaz berdakwah dengan mengandalkan sensasi.

Bentuk sensasi para ustaz seleb ini sangat beragam, misalnya mereka gemar menyerang ajaran agama lain, mengafirkan agama lain, dan menuduh mereka pantas masuk neraka. Selain itu, mereka juga suka memberikan gambaran dan ilustrasi menakutkan huru-hara akhir zaman, memberikan ramalan datangnya kiamat, dan hal-hal yang mengerikan lainnya.

Yang lebih populer lagi di kalangan ustaz seleb ini adalah utak-atik gatuk teori konspirasi. Mereka sangat lihai menggoreng sebuah isu dengan teori konspirasi menjadi sebuah ceramah yang memukau para jemaahnya. Tidak cukup sampai di sini, isi ceramah mereka juga sering kali memancing emosi umat Islam sendiri dengan membid’ahkan dan menganggap sesat amalan-amalan kelompok lain.

Berbagai akrobat dakwah yang sensasional di atas adalah bukti bahwa logika agama telah tunduk pada logika-logika industri. Sehingga agama dapat dimanipulasi, diselewengkan, dan dijadikan alat untuk menaikkan popularitas seorang ustaz. Substansi dan esensi ajaran agama bukan lagi hal yang penting, karena yang lebih penting adalah popularitas dan keuntungan materi yang mereka dapatkan.