Kalau tidak boleh disebut sebagai kutukan, perwajahan teater modern senantiasa berjalan dengan menanggung beban. Telah mafhum pula bahwa ada beragam sudut pandang untuk menilai perwajahan teater, terlebih jika dikerucutkan pada “apa” dan “bagaimana” di tanah air. Di satu sisi, penilaian untuk mengukur berat-tidaknya beban itu sendiri juga teramat enigmatis.

Pun begitu, beban perwajahan teater modern yang paling menonjol dapat dilihat pada tekanan di antara tuntutan seputar bentuk (performance) dan konten pertunjukan (matter). Bentuk menuntut adanya kebaruan demi kebaruan di antara moncong-moncong logika akting pertunjukan yang ambigu—dari tuduhan epigon hingga pakem perteateran modern seperti Stanilavsky-an, Bolelavsky-an, dan atau Grotowsky-an.

Sementara, modernitas yang melekat pada seni teater memaksa adanya konten pertunjukan yang kritis; terutama seputar dimensi sosial dan politik.

Sementara, sebagaimana yang disampaikan Tommy F Awuy (Suara Merdeka, 15/12/2017) bahwa perteateran tanah air tidak bisa melepaskan diri dari problem klasik yang menyangkut "kemiskinan", terutama miskin secara ekonomi, miskin kritikus dan kurator teater, miskin komunikasi, miskin penonton, dan miskin manajemen.

Pun begitu, bagaimana pun gurat wajah perteateran Indonesia tidak menyurutkan hasrat para pegiatnya. Di antaranya adalah seorang Akhmad Fatoni, pernah bergiat di Komunitas Arek Japan (KAJ), owner Rumah Budaya Akhmad Fatoni (RBAF), sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), yang juga kebetulan dosen Universitas Islam Majapahit (UNIM). 

Mata kuliah Penyuteradaraan dan Pementasan Drama yang diampunya menjadi wahana baginya untuk senantiasa menjaga denyut kesenian di Mojokerto dan melawan sederet kemiskinan yang dipaparkan Tommy F Awuy di atas.

Penulis buku kumpulan cerpen Meja No. 8 ini menempatkan agenda pentas studi sebagai jendela bagi mahasiswa PBSI UNIM untuk mengenal proses kreatif pementasan drama secara riil sebagai modal kelak saat mengabdikan diri di lembaga-lembaga pendidikan. 

Hal ini disampaikannya di antara dua repertoar teater yang disuguhkan dalam “Pementasan Drama FKIP PBSI Semester 7” yang digelar mahasiswa Angkatan 2016 di Graha Nuswantara Lt 1 UNIM Jl Raya Jabon KM 7 (11/01/2020).

Dua Repertoar teater tersebut adalah “Bunga-Bunga Malam” karya Dra. Ulifah yang disuguhkan oleh kelas pagi dengan pendampingan Rb Abdul Gani, seorang pegiat teater kawakan kelahiran Sumenep yang pernah bergiat di Teater Institut Unesa dan sekarang rutin berbagi proses kreatif di SMAN Bangsal Mojokerto. Sedangkan, kelas malam ini mengangkat repertoar “Kibar Benderaku” karya Rodli TL dan didampingi oleh Anjrah Lelono Broto.

Meski tak bisa lepas dari paparan Tommy F Awuy di atas, derasnya hujan yang turun di senja hingga malam menjelang tidak menyurutkan kawan-kawan mahasiswa yang terlibat dalam proses kedua repertoar tersebut. “Bunga-Bunga Malam” yang mengisahkan tentang mimpi dan ketakutan tokoh bapak (Jalal) menghadapi pahitnya hidup dikisahkan dengan apik melalui bentuk tampilan mistis dan suara koor yang menegakkan bulu roma. 

Usai melewati pergulatan batin, happy ending ditunjukkan dengan bangkitnya kesadaran tokoh Bapak (Jalal) akan kedudukan sebagai bapak dengan anak-anak sebagai amanah-Nya.

Sedangkan, akting ala drama realis Bayu dan kawan-kawan kelas sore angkatan tersebut mampu menghadirkan bentuk lain dari naskah “Kibar Benderaku” sehingga memukau penonton. Harapan tokoh bocah bisu dan idiot bernama Sarto (Fauzan) untuk mengadakan upacara bendera kandas setelah tubuhnya tertabrak mobil usai belanja di warung Yu Karjo (Rimanda). 

Sebagai single parent, tokoh Sartib (Devano) merasa berkewajiban untuk berusaha meluluskan keinginan Sarto. Sayangnya, ada tokoh Lurah (Bayu) yang menentang usaha Sartib tersebut. 

Bagi Pak Lurah, orang seperti Sartib tidak berhak mengadakan upacara bendera, apalagi jika digelar di halaman rumah dan pesertanya adalah para tetangga yang pakaiannya umbrud-umbrud dan amburadul. Perdebatan di antara mereka berkembang menjadi konflik hingga upacara yang digelar Sartib pun dibubarkan paksa.

Di antara bentuk pertunjukan yang dramatis “Kibar Benderaku”, terselip suara merdu Mbok Sumi (Siti Maf’ula) melantunkan nukilan lagu Mundur Alon-Alon yang tidak asing bagi publik belakangan ini. Kreatifitas ini merupakan salah satu upaya menjawab tantangan kemiskinan komunikasi yang dipaparkan Tommy F Awuy di atas. 

Sedangkan, seorang Akhmad Fatoni mengaku untuk beberapa saat hampir tidak bisa membendung air matanya ketika pertunjukkan repertoar ini tengah berlangsung. Selain karena kesungguhan akting masing-masing tokoh. Tentu saja, usaha dan harapannya untuk menjaga denyut kesenian di Mojokerto “sedikit” telah menunjukkan grafik yang positif.

Teater merupakan induk dari sekian cabang seni dengan menempatkan kolektifitas tim sebagai landasan proses kreatifnya, dua gelaran repertoar tersebut tidak akan memberikan hasil yang patut diapresiasi tanpa dukungan aransemen musik dari Bagas “Bojes Monot” (jebolan Lidi Art Forum-nya Bagus Mahayasa), serta pemusik dan penyanyi latar dari Teater Samudera Illahi (TSI) MAN Sooko Mojokerto.

Semoga repertoar-repertoar ini tidak menjadi the last perform demi usaha melawan kemiskinan dan menghadirkan wajah yang lebih ceria dari perteateran modern di tanah air, khususnya di Mojokerto. Semoga.