Kira-kira sudah lewat dua kuartal kita hidup di tengah kalang kabutnya pandemi. Sehingga sudah menjadi layak dan sepantasnya, kesehatan dan kestabilan ekonomi masyarakat Indonesia jadi fokus pemerintah saat ini. Namun perlu diperhatikan, hutan kita pun ikut terkubur seiring mata pemerintah yang ikut kabur.
Saat ini pandemi banyak mengambil alih kegiatan normal kita sampai dengan pekerjaan yang jadi sumber hidup juga kesejahteraan setiap keluarga. Tidak menjadi pengecualian, kesejahteraan hutan Indonesia juga makin dan makin bobrok. Prestasi ini sudah lama Indonesia capai, bahkan jauh sebelum pandemi.
Padahal Indonesia sampai saat ini menggenggam peringkat sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ke-3 di dunia. Tetapi di lain sisi, Indonesia juga meraih peringkat tertinggi dengan potensi merusak hutan dibanding dengan negara lainnya. Entah apa yang Indonesia lakukan hingga kini, fungsi hutan dan kelayakan hidup satwa isinya dilewatkan begitu saja.
Jurnal Hutan Indonesia
Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia sudah menjadi perihal yang konsisten. Faktanya, Kalimantan dan Sumatra memiliki potensi lebih dari 50 persen atas kehilangan hutannya. Masih belum berakhir, rancangan target proyeksi kini meluas hingga wilayah Timur Indonesia terhitung setelah tahun 2017.
Kerusakan hutan yang salah dua faktornya ialah karena terbakar atau dibakar. Alokasinya di antara Sabang sampai Merauke, subjeknya ya hutan tropis kita. Hutan tropis yang menyimpan kekayaan satwa dan macam flora yang tidak sedikit secara kuantitas ragamnya.
Tidak hanya aset bernyawa yang hilang bersama lahan yang terbakar, tapi gas yang dominan mengandung karbon pun menyumbang untuk segera merusak atmosfer bumi. Bahkan, kontribusi emisi kebakaran hutan di Indonesia sempat terdata hingga dua kali lebih besar dari kasus kebakaran hutan Amazon.
Indonesia kini makin tak sehat. Bulan Juni kemarin, kebakaran seluas 353 hektare di Aceh pun tak dapat dihindari. Ditambah lagi pada bulan Juli, keasrian hutan lindung Egon Ilimendo di NTT lenyap sekiranya 90 hektare dilahap api.
Segelintir angka mungkin tak mampu mendeskripsikan nyawa hutan yang terbilang luar biasa impactful. Namun, lagi-lagi ini hanya data yang terekam. Lagipula, tidak cukup jika semua kasus pengawahutanan dituntaskan di satu waktu. Intinya ini darurat, deforestasi harus segera diberi perhatian meski pandemi.
Fakta dan Faktor
Meninjau fakta sebelumnya, ada beberapa faktor yang sekiranya ikut terlibat dalam aksi deforestasi yang sudah-sudah. Maksud dan tujuan peninjauan ini, pemerintah juga masyarakat bisa ikut berempati dan terlibat andil dalam mempertahankan hutan kita.
Faktor yang pertama ialah dampak dari kondisi dunia saat ini, tepatnya di tengah wabah coronavirus. Dampaknya konkret, salah satunya ekonomi negara mengalami pemoloran yang signifikan. Namun, membakar hutan, menjual lahan yang serta merta mengorbankan satwa bukan resiko yang baik untuk menengahi persoalan ini.
Kemudian faktor yang kedua, implikasi relevan kala pandemi selain masalah ekonomi ialah hilangnya pengawasan ketat akibat berkurangnya operator penjagaan hutan.
Sebelum pandemi pun kerusakan hutan secara ilegal masih sering terjadi. Bagaimana dengan masa pandemi seperti ini? Pastinya perintah lockdown tidak cukup memadamkan aksi ilegal pengawahutanan di samping penjaga hutan yang sedang dirumahkan.
Aksi jahat tersebut tentu sudah jadi niat buruk yang sudah terencana, sehingga karantina bukan halangan bagi kelompok mereka. Apalagi yang namanya sudah niat hingga ubun-ubun.
Tujuannya tentu satu, untung secara individu dan/atau golongan kecil. Demi merampas kekayaan hutan dan isinya, satwa langka seperti trenggiling, berang-berang, lutung jawa bahkan sempat-sempatnya diperdagangkan secara daring.
Kemudian yang terakhir, faktor yang lepas dari kendali manusia. Hal lain yang ikut menjadi rekam hutan kita yang semakin terpuruk, tak lain ialah partisipasi alam. Tapi kalau dipikir lagi, keadaan alam pun banyak berubah merupakan bagian dari dampak skala panjang. Toh sejak dulu, manusia sudah menabung kerusakan global. Buktinya sekarang pola cuaca tak lagi sesuai dengan prediksi tahunan.
Kemarau sudah menyambut di bulan Juli. Curah hujan rendah, sehingga tingkat kelembapan yang rendah pula. Keadaan ini memberi peluang hutan yang gersang dan cenderung mudah terjadi kebakaran besar yang sulit ditangani.
Tak banyak solusi untuk yang namanya kondisi alam. Namun, penanggulangan seperti upaya pembasahan lahan dan hutan mampu mengurangi kemungkinan kebakaran akibat tanah penuh ranting kering itu.
Perlu kita ketahui juga prestasi yang tak patut jika dilewatkan. Indonesia dan perjanjiannya dengan Norwegia sudah berjalan 10 tahun bertahan sampai sekarang. Hingga kini, Indonesia dibayar Norwegia karena mampu mengurangi emisi dunia sebanyak 26 persen atau 11.2 juta CO2 dunia. Kemudian dilansir pada bulan Juli kemarin, Indonesia juga menerima 812 Miliar atas partisipasinya menurunkan potensi membahayakan jangka panjang dunia tersebut.
Tatkala Indonesia patut diapresiasi, tapi kritik pada masalah yang sebenarnya tak boleh diabaikan. Prestasi hutan kita adalah sekarang, selanjutnya kita belum tahu. Toh dari dulu kita sudah paham, mempertahankan nilai raport adalah hal yang sulit. Lho, bisa disamakan bukan?
Harapannya, jangan sampai kita mengganti objektif menyembuhkan hutan kita sekedar mendapat pengakuan dunia. Tapi semua untuk kita, masyarakat Indonesia sekarang dan nanti.
Stop Indonesia yang lalai. Kita dari dulu sulit menghentikan masalah seperti ini. Padahal sekalinya hutan terbakar, habisnya tak kalah cepat dengan penambahan kasus positif korona. Selain jangan berkerumunan saat ke luar rumah, jangan remehkan si jago merah itu. Hutan kita juga harus segera diselamatkan.