Terlepas apakah kita setuju atau menolak dengan istilah filsafat Islam, namun saya sangat yakin akan kegunaannya bagi kaum Muslim dan publik di tanah air. Seandainya tradisi keilmuan filsafat Islam dihidupkan di tengah-tengah kita, maka ajaran-ajaran agama Islam akan sangat efektif untuk menangkal maraknya penjaja spiritualitas palsu di tanah air. 

Selain itu, ajaran Islam yang rasional akan mampu berdialog secara kritis dengan perkembangan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bagi orang-orang yang masih menganggap filsafat bertentangan dengan ajaran Islam, perlu kiranya merenungkan makna dari Sabda Kanjeng Nabi yang sangat filosofis, "Ya Allah singkapkanlah padaku hakikat tertinggi segala sesuatu.". Juga Sabda yang lainya, "Tidak ada agama bagi orang yang tak berakal."

  

Penerjemahan Teks Filsafat Islam

Sebagai negeri Muslim terbesar, entah mengapa, Indonesia tak memiliki tradisi filsafat Islam yang kuat. Bahkan filsafat Islam cenderung tak laku, baik di kalangan akademisi, agamawan, maupun masyarakat umum. Buku-buku terjemahan filsafat Islam juga tak banyak kita dapati. Ambil contoh Ibn Sina (Avicenna) yang dikaji secara international, bahkan termasuk di Barat, namun bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia hampir tidak ada, kecuali buku tipis psikologi Ibn Sina. 

Kitabnya Al-Qanun Fi Al Tiib yang menjadi rujukan wajib mahasiswa kedokteran di Barat selama beberapa abad, sampai kini juga tak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Akademisi filsafat yang menekuni pemikiran Ibn Sina di tanah air juga tak banyak. Sehingga kita sangat bergantung pada para intelektual Barat dalam membaca filsafat Islam, yang notabene merupakan warisan tradisi intelektual dan keyakinan kita sendiri. Tentu ini sangat memprihatinkan.

Jika filsafat dan pemikiran Ibn Sina saja sedemikin asing di negeri ini, bagaimana dengan filsuf Muslim lain semisal Suhrawardi dan Mulla Sadra? Rasanya tak jauh beda nasibnya. Sependek yang berhasil saya temukan, karya Suhrawardi yang diterjemahkan ke bahasa indonesia, terbit tahun 1993, itupun bukan karya filsafat utamanya. Hanya berupa risalah risalah ringkas. Dan kemudian tahun 2003 terbit bukunya yang lain. Baru sebatas itu saja. 

Nasib karya Mulla Sadra, setali tiga uang. Baru dua bukunya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak tahun 2000 an awal. Dan karya ketiganya, baik Suhrawardi, Mulla Sadra, dan Ibnu Sina karya-karya yang telah dialih bahasakan ke bahasa Indonesia bukan merupakan karya utama mereka. Alhasil dengan kata lain praktis dalam enam belas tahun terakhir, penerjemahan karya tiga filsuf muslim utama ini jalan di tempat. 

Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra adalah tiga filsuf utama bagi dunia Islam. Jika karya karya mereka saja sangat susah kita temukan, bagaimana lagi nasib karya karya Al Farabi, Al Kindi, Ikhwan ash Shafa dan para filsuf minor lainnya. Tentu semakin tak.mudah menemukannya di negeri Muslim terbesar ini.

Mari kita bandingkan dengan para filsuf Barat, maka akan relatif lebih mudah bagi kita untuk menemukan karya-karyanya. Terlepas terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia presisi atau tidak, namun setidaknya upaya mengapresiasi pemikiran para filsuf Barat lebih hidup di negeri muslim terbesar ini. Sebuah kondisi yang sangat ironis, bukan?

Misalnya, Das Capital Marx, kita tak susah untuk menemukan edisi bahasa Indonesia dari masterpiece filsuf sosialis yang menyatakan agama sebagai candu. Juga karya filsuf besar Barat lainnya, tak susah bagi kita untuk mendapatkannya, edisi buku ori dan buku bajakannya bertebaran di pasar perbukuan tanah air. 

Saya sekadar subjektif membandingkan pengalaman pribadi. Saya teringat ketika sedang menyusun paper tentang Suhrawardi, betapa saya harus berbulan-bulan meluangkan waktu dan kewalahan mencari referensi tentang Suhrawardi. Baik teks primer maupun teks sekundernya. Dan hasilnya pun tak seberapa literature yang bisa saya akses dan kumpulkan.

Namun ketika saya mengerjakan paper lain ketika menulis Nietzsche, tak cukup sebulan hampir semua karya Nietzsche bisa terkumpulkan, baik karya primer maupun sekundernya. Karya karya Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla Sadra bukan hanya sulit dijumpai dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris pun, belum banyak rasanya scholar muslim yang mendedikasinya hidupnya untuk mengkaji pemikiran mereka. Bila kita bandingkan dengan Malaysia, di sana ada Dr. Megawati Morris dan juga Dr. Zailan Morris yang telah diakui secara international kepakarannya dalam filsafat Mulla Sadra. Dan karyanya juga telah diterbitkan secara international.

Demikianlah kondisi kiwari tentang nasib teks-teks terjemahan filsafat Islam yang memprihatinkan di negeri ini. Padahal kalau kita baca sejarah terjadinya renaisance di Barat, maka jelas terlihat hal itu bermula dari proyek besar besaran penerjemahan teks teks filsafat Yunani ke bahasa Barat. Proyek penerjemahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, menunjukkan pemikiran jenis apa yang diapresiasi oleh masyarakat tersebut. 

Jika kini teks teks filsafat Islam tidak banyak diterjemahkan di negeri ini, hal ini memang dikarenakan rendahnya apresiasi masyarakat kita akan tradisi filsafat Islam. Sehingga terjadi keterputusan hubungan tradisi keillmuan antara masyarakat muslim modern dengan khazanah keilmuan klasik Islam.

Urgensi Filsafat Islam

Ada banyak tesis pemikiran diajukan oleh para pakar, dan cendekiawan tentang kondisi peradaban kaum muslim yang terus mundur. Namun yang cukup menarik disimak, pemikiran yang diajukan oleh Prof Dr. Osman Bakar. Ditanggalkannya filsafat dari tradisi keilmuan Islam, menjadi penyebab utama mundurnya tradisi keilmuan di kalangan masyarakat muslim secara meluas. 

Memang orang akan bertanya-tanya, dan meragukan tentang manfaat dari disiplin filsafat bagi agama Islam. Jika kita coba ukur dengan konteks kehidupan yang kita jalani, kita juga bisa bertanya, apa manfaat yang kita dapatkan dengan belajar biologi, geografi, kimia dan sebagainya. Apakah bagi seorang akunting, atau marketer, ilmu biologi, geografi, kimia akan menunjang bagi kemampuan menjual atau menghitung secara akurat ? jawabannya saya kira belum tentu positif, bahkan sangat mungkin negatif.

Namun profesi apapun yang akan kita pilih jalani, kita akan tak bisa menghindari dari pertanyaan untuk apa hidup ini, apa sebenarnya hidup ini, apakah kebahagiaan itu, apakah kebenaran itu, yang semua itu nikmatnya, atau sialnya, justru menjadi tema pembahasan filsafat yang sangat akrab. Memang ada kesan angker, rumit, dan sulit ketika nama filsafat disebutkan. Namun hal itu terjadi karena filsafat tidak diajarjan sejak dini. 

Seandainya filsafat diajarkan sejak dini, maka filsafat akan menjadi sama mudahnya atau sama susahnya dengan disiplin ilmu lainnya. Filsafat Islam, saat ini merupakan disiplin yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Filsafat merupakan disiplin intelektual yang agak berbeda dengan disiplin lain seperti hadits, fiqh, atau tafsir. William Chittick membagi ilmu ilmu menjadi dua tema besar, yang bersifat intelektual dan nukilan. 

Filsafat merupakan disiplin yang sepenuhnya intelektual. Karena sifatnya yang intelektual sepenuhnya, maka kebenaran filsafat valid apabila ia disaksikan secara personal. Dalam hal ini, pengetahuan lebih merupakan perjumpaan eksistensial personal. Bukan sekadar kutip mengutip pendapat para ahli. 

Argumen pemikiran Chittick sangat kental warna tasawufnya. Mungkin ini akan jadi hal yang aneh di mata masyarakat disini yang terbiasa membedakan dan memisahkan filsafat dan tasawuf.

Walaupun jika mau dikaji lebih jauh, tasawuf merupakan sejenis filsafat juga. Dalam karya filsafat masterpiecenya Iqbal, filsuf India tersebut sampai menghabiskan dua bab, dari tujuh bab buku dalam buku Reconstruction untuk membahas kesadaran mistik lengkap dengan cara pembuktian keabsahannya secara ilmiah di dunia modern. Pembahasan kesadaran mistik menjadi sangat penting di negeri ini, mengingat banyak sekali orang yang menjajakan pengalaman mistik dengan mensyaratkan cuti nalar dan pemenggalan logika kepada para pengikutnya. 

Fenomena Aa Gatot, merupakan contoh di mana akal dipenggal bagi para pengikutnya. Seandainya filsafat membudaya dengan baik di masyarakat, maka penjaja spiritual palsu yang berujung UUD / UUS (ujung ujungnya duit/ujung-ujungnya seks) akan berkurang. Inilah salah satu peranan yang bisa dimainkan filsafat, bagi orang yang bertanya dan masih ragu apa kegunaan filsafat.

Kegunaan filsafat Islam yang lain ialah, tantangan dari kemajuan sains seperti rekayasa genetika, isu cloning dan juga pandangan para saintis ateis yang menolak keberadaan Tuhan, semisal Hawking atau Dawkin tentu tak dapat melawan argument-argumen mereka dengan hanya menggunakan hadist atau ayat suci. Bagaimana mungkin ayat suci dan hadist dapat kita sampaikan, jika keberadaan Tuhan telah mereka gugurkan. Hal ini menjadikan akal beserta dalil dalil logisnya, merupakan satu-satunya senjata untuk menghadapai tantangan modernisme terhadap keabsahan agama Islam.

Lalu apakah benar filsafat Islam itu benar-benar ada dan absah secara istilah ? Hal tersebut menjadi perdebatan yang cukup sengit, apalagi jika ingin dilawankan secara vis a vis dengan filsafat Barat, tentu tidak apple to apple. Karena Barat bukan lawan Islam. Di Barat ada Barat dan Timur, sebagaiman di Islam juga ada Barat dan Timur secara geografis. Hal ini menyebabkan secara istilah filsafat Islam, menjadi perdebatan di kalangan akademisi. 

Sebagian pemikir merasa tak perlu membedakan mana filsafat Islam dan mana filsafat bukan Islam. Hal ini dengan argumen filsafat merupakan hikmah yang merentang sepanjang zaman. Dr Mohammad Iqbal termasuk yang berpendapat demikian. Tradisi filsafat Barat, bagi Iqbal hanya merupakan lanjutan dari tradisi keilmuan Islam di masa lalu.

Pembahasan bisa diperluas misalnya, dimanakah letak islami dari filsafat Islam? Apakah pada subject matter filsafat, pada metodologinya, atau pada apanya? Apakah seandainya sebuah perpustakaan filsafat Islam yang dibangun oleh orang non-muslim, lantas menjadi kehilangan keislamananya? Apakah seandainya buku buku Ibn Sina dan Mulla Sadra dicetak oleh penerbit non-muslim lantas berkurang nilai filsafat Islamnya? Karena pertimbangan pertimbangan yang sedemikian, maka sebagian pemikir memilih untuk menggunakan istilah filsafat arab. 

Sedikit saya sampaikan bahwa beberapa tema filsafat Islam bisa dibagi menjadi tiga tema besar, tema yang sama dengan filsafat Yunani kuno, tema yang secara istilah sama namun substansinya baru, dan tema yang benar benar baru. Tema yang baru ini benar-benar baru dan khas dalam filsafat Islam: seperti tema wujud, maqulat awali dan tsani dll, yang merupakan isu baru yang belum ada dalam tradisi filsafat Yunani Kuno. 

Bahkan dalam filsafat Mulla Sadra misalnya, wujud menjadi tema sentral dan utama dari seluruh bangunan filsafatnya. Sampai-sampai seorang pakar filsafat Heidegger yang bernama Prof Henri Corbin yang membandingkan antara pemikiran filsafat Mulla Sadra dan Martin Heidegger, dia sampai pada suatu kesimpulan yang mencengangkan. Yaitu filsafat Heidegger tak lebih hanya serupa catatan kaki atas filsafat Mulla Sadra.

Manfaat lain dari filsafat Islam ialah, fungsinya sebagai alat berpikir kritis, logis, dan analitis. Seandainya umat Islam memiliki corak berpikir filosofis yang kuat, hal ini tentu dapat menghindarkan umat Islam dari upaya pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan agama Islam demi kepentingan syahwat politik praktis dan kepentingan golongan tertentu. Dan sebaliknya, absennya tradisi filsafat Islam dari kalangan umat Islam menyebabkan mudahnya provokasi atas nama agama Islam menghantam sendi-sendi kerukunan umat, termasuk kasus terorisme yang kini banyak terjadi di sekitar kita. 

Hal ini tentu mengkhawatirkan. Mengingat masih saja banyak pihak yang tak segan-segan untuk berlindung di balik nama agama Islam. Demikianlah diantara manfaat filsafat Islam yang bisa kita harapkan, seandainya tradisi filsafat Islam dapat ditumbuhkan di tanah air, yang merupakan negeri muslim terbesar.