Membicarakan “talk” adalah topik yang menarik. Agar lebih komprehensif saya/kami akan uraikan dari beberapa kacamata pandang yang berbeda guna menemukan hakikatnya baik esensi maupun substansi, diantaranya dari segi Bahasa atau literatur secara tekstual, lalu kaitannya dengan komunikasi, kemudian filsafat Bahasa, dan terakhir hubungannya dengan agama atau doktrin-doktrin dogmatis.
Pertama, dari segi Bahasa mengapa penggunaan kata “talk” lebih banyak digunakan atau di-mention oleh banyak peneliti dibanding “speak”? ada perbedaan cara pandang di antara kedua redaksi kata itu oleh para jago-jago ilmu Bahasa. Yang pertama menyatakan bahwa talk lebih general dari speak atau speak lebih spesifik daripada talk, dimana talk bisa dianggap sebagai pembicaraan yang formal maupun informal sedangkan speak hanya digunakan untuk pembicaraan yang formal saja.
Yang kedua menyatakan bahwa speak itu lebih bersifat baku dalam penggunaan kata-kata yang harus sesuai tata Bahasa dan tidak melanggarnya, sedangkan talk biasa dianggap sebagai pembicaraan yang bersifat sehari-hari atau terkenal dengan istilah ngobrol, meski melanggar tata Bahasa yang berlaku namun tujuannya adalah pemahaman dalam pembicaraan bagi lawan ngobrolnya.
Kedua dari komunikasi, Bahasa biasa disebut sebagai alat atau media untuk berkomunikasi antara satu sama lain. Namun beberapa tahun belakangan komunikasi bukan hanya sekedar membahas pertukaran informasi secara manual antara manusia dalam hal ini penggunaan Bahasa, tapi juga mencakup dan melebar kepada komunikasi digital yang menyesuaikan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akibatnya, Bahasa hanya dijadikan ilmu klasik komunikasi dan disimpan di pojokan komunikasi serta yang berkembang ke kemajuan modern hanya bersifat formal yakni speech coomunicatin yang masyhur di Amerika Serikat.
Ketiga dari segi filsafat, mengkritisi orang-orang yang hanya menganggap Bahasa atau ilmu berkata-kata itu hanya sekedar alat/mediator komunikasi, Gadamer menyuguhkan ide dan gagasannya yang memunculkan fungsi utama lain daripada Bahasa, yakni alat untuk berfikir.
Hal ini didasarkan pada corak pemikiran Aristoles bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki Logos dari tradisi Yunani, namun banyak yang menerjemahkan logos sebagai pemikiran, alasan dan ilmu pengetahuan seperti biologi (terdiri dari bio: bumi dan logos: ilmu) begitu pula sosiologi, antropologi, geologi dan lain sebagainya.
Tapi bagaimanapun cara menerjemahkannya, Gadamer menganggap bahwa itu bermakna Bahasa atau kumpulan kata-kata. Mengapa demikian sebab dengan ia-lah manusia menunjukkan pikirannya berupa ide dan gagasan, mengekpresikan perasaannya bersumber dari jiwa dan hatinya, dan disitulah ia meletakkan bahwa Bahasa sebagai alat berfikir dan itulah fungsi utamanya, bukan hanya sekedar alat komunikasi.1
Gagasan ini didukung dengan pernyataan Resnick dkk bahwa “banyak orang yang telah mempelajari fungsi bahasa dalam konteks sosial dan lebih umum sebagai bagian dari pikiran manusia mulai percaya-atau setidaknya menghibur hipotesis bahwa kemampuan dasar menggunakan bahasa untuk bernalar adalah manusiawi secara universal. Mungkin entah bagaimana "ada dalam kode genetik," sehingga untuk berbicara, menunggu untuk dilepaskan dan tumbuh jika jenis peluang dan tekanan sosial budaya yang tepat muncul.”2
Kemudian psikolog perkembangan Deanna Kuhn dan rekan-rekannya telah mendokumentasikan dalam sejumlah penelitian, beberapa mengamati remaja muda dengan pendidikan terbatas, bahwa interaksi berulang dan diskusi tentang suatu topik meningkatkan kualitas penalaran tentang topik tertentu.3
Keempat dari segi agama atau doktrin-doktrin agama. Dalam tradisi dan ajaran Yahudi Nabi yang paling mereka agungkan dan termasuk dalam golongan Israel adalah Musa, dimana ia adalah anggota Ulul Azmi juga dalam literatur Islam utamanya bergelar Kalimullah atau bermakna orang yang berkata-kata langsung dengan Tuhan serta Tuhan berfirman langsung kepadanya.
Lalu dalam tradisi dan ajaran Nasrani atau Kristiani, Isa dianggap sebagai firman Tuhan yang menjelma menjadi manusia (Injil, Yohanes 1:1-14), hal itu diterima sebagai doktrin yang bersifat dogmatis dalam ajarannya serta pelengkap dalam teologi trinitas Kristen, sedangkan dalam literatur Islam Isa dianggap Nabi yang muncul dan lahir secara ajaib dari seorang hamba perempuan yang taat tanpa memiliki ayah, dan itu menjadi salah satu mukjizat bagi Isa sendiri, perbedaan penafsirannya terletak pada kata-kata (Al-Qur’an, QS: Ali Imran (3): 45), dimana Islam meyakin firman Tuhan “Kun” lah yang menjadikan Isa dikandung dalam rahim Maryam secara ajaib tapi tidak meyakini Isa sebagai Firman yang menjelma jadi manusia sebagaimana ajaran trinitas (Al-Qur’an, QS: Ali Imran (3): 59).
Kemudian dalam tradisi dan ajaran Islam, Kata-kata merupakan basis penting dalam ajaran sebab segala hal bertumpu pada nash/teks yakni al-Quran dan Hadis yang sebelum dikodifikasi jadi berupa buku merupakan kata-kata Muhammad itu sendiri dalam konteks ini adalah Hadis Nabi, bukti paling otentik dari pengaruh kata-kata Muhammad selain umat Islam mengikuti ajarannya adalah pencantuman Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh nomer wahid dalam sejarah versi Ahli Astronomi Amerika Serikat yaitu Michael H. Hart4 dalam buku karyanya.
Terakhir, Sarah Michaels & Cathy O’connor menguraikan pentingnya “talk” diantaranya karena ia adalah jendela bagi pemikiran seseorang dimana bisa dilihat dan dapat dibedakan mana pemahaman yang benar atau kesalahpahaman. “talk” juga mendukung pembelajaran yang berbasis ingatan dan hafalan, menyediakan asosiasi yang lebih kaya dan memudahkan pengembangan Bahasa.
Lalu ia juga mendorong penalaran logika yang mendalam serta mendukung siswa untuk bernalar berdasarkan bukti. Kemudian “talk” juga memungkinkan seseorang untuk mempraktikkan ilmu pengetahuan di ranah sosial dan intelektual. Akhirnya, talk juga berfungsi untuk mengembangkan kemampuan sosial baik hard-skill atau soft-skill dan mendorong untuk berani mengambil resiko dalam rangka pembelajaran.5
Referensi
1. Hans-Georg Gadamer, “Man and Language”, dalam: Hans-Georg Gadamer, Philosopical Hermeneutics, (California: California University Press, 1976), hal. 151-169.
2. Lauren B. Resnick dkk., “How (Well Structured) Talk Builds the Mind”, dalam David D. Preiss & Robert J. Sternberg, Innovation of Educational Psychology, (New York: Springer Publishing Company, 2010), hal. 171-172.
3. Deanna Kuhn dkk., “Effect of dyadic interaction on argumentative reasoning,” Cognition and Instruction, Vol. 15, No. 03 (1997), hal. 287-315.
4. Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the most influential persons in History, (1978).
5. Sarah Michaels dan Cathy O’Connor, “Talk Science Primer”, TERC: Education Research, (2012), hal. 4-6.