Selama beberapa periode pemerintahan hingga tahun 2018, kebijakan politik pemerintah terus berupaya menaikkan APBN agar surplus adalah melalui perpajakan. Semuanya dibangun atas dasar keyakinan bahwa utang dapat dikurangi, dengan cara pengelolaan utang yang baik dan mendorong penerimaan pajak yang cukup.
Sederhananya, jika tidak dikelola dengan baik, tentu utang tidak bisa dilunasi. Penerimaan pajak yang masih merugi hingga saat ini bisa diatasi dengan penerapan struktur jatuh tempo utang, namun pengorbanan waktu diperlukan karena memakan waktu lama.
Sejak tahun 2017, total utang Indonesia sudah melebihi 4.000 triliun rupiah yang sudah mencapai level tidak aman, karena pembayaran bunga dan cicilan dibayar dengan cara menggali dan menambal lubang. Utang baru akan dianggap aman jika pelunasannya tidak mengganggu likuiditas keuangan negara.
Namun seperti diketahui bahwa, peningkatan ULN sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif melalui pemerintah demi kesejahteraan bangsa.
Upaya Politik Luar Negeri Pemerintah Indonesia
Presidensi G20
Pemerintah mulai selektif dalam menyeleksi proyek-proyek pendanaan, hanya berfokus pada kepentingan publik dan infrastruktur publik. Memberikan dukungan yang komprehensif dan kuat dalam mengkomunikasikan pesan penyelesaian utang melalui peran pendukung aktif sebagai Ketua G20.
Pandemi yang berlarut-larut menyebabkan kontraksi ekonomi di beberapa negara, terutama negara miskin. Indonesia juga mendorong negara maju untuk membantu negara miskin membangun infrastruktur, misalnya melalui peningkatan kapasitas.
Dorongan tersebut dilakukan karena krisis global telah meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi negara-negara sehingga mempersulit negara-negara untuk membangun infrastrukturnya.
Indonesia akan dilihat oleh masyarakat internasional sebagai negara yang dapat membawa semua negara ke dalam G20 karena telah berhasil menjembatani antara satu negara dengan negara lain dan membawa hasil positif bagi proses penyelesaian utang luar negeri terkhusus negara berkembang termasuk Indonesia.
Restrukturisasi Pinjaman
Pemerintah mencoba melakukan restrukturisasi pinjaman dengan melibatkan penyedia dan penerima untuk mengubah persyaratan yang disepakati untuk membayar kembali pinjaman, termasuk penjadwalan ulang, pembiayaan kembali, pengampunan hutang, konversi hutang, atau menawarkan skema pembayaran di muka kepada negara kreditur. Bagaikan gayung bersambut 4 negara resmi menyetujui kesepakatan bilateral diantarannya AS, Australia, Italia, dan Jerman.
Dalam hal ini, 4 negara berkomitmen menghapus utang Indonesia melalui program konversi atau debt swap. Debt swap yang disepakati berupa program/proyek yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Konsekuensi atau mobilisasi sumber daya tersebut sesuai dengan syarat dan kesepakatan antara kreditur dan debitur. Pertukaran utang ini hasil dari negosiasi Indonesia untuk merestrukturisasi utang jangka panjang yang dijamin publik untuk kreditur bilateral resmi.
Program pertukaran utang akan memberikan peluang bagi negara-negara berpenghasilan rendah dalam hal ini Indonesia untuk meningkatkan modal guna mengatasi tantangan lingkungan dan kebijakan lain. Meski demikian, tentu saja ada risiko dan masalah manajemen yang perlu ditangani agar debt swap bisa berjalan lancar.
Pertukaran utang dengan proyek lain ini tidak hanya terkait dengan masalah lingkungan, tetapi juga tergantung pada kepentingan masing-masing kreditur, pada isu ini 4 negara berfokus pada :
• AS pada bidang Tropical Forest
• Bidang Kesehatan oleh Australia
• Proyek perumahan dan pemukiman kembali oleh Italia
• Proyek Jerman untuk Pendidikan, Pendidikan, Kesehatan dan Dana Global
Sejauh ini, total akumulasi utang Indonesia yang dihapusbukukan keempat negara tersebut melalui debt swaps mencapai 334,9 juta dolar AS atau setara dengan 5 triliun rupiah. Posisi utang luar negeri pemerintah terus menurun dari Agustus 2022 menjadi $184,9 miliar, turun dari $185,6 miliar pada bulan sebelumnya.
Secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi 10,9% year-on-year, turun dari 9,9% pada Juli 2022. Penurunan ibarat tren karena masih terus berlanjut hingga kesepakatan dept swab terjadi pada 4 negara.
Konsekuensi Pemerintah
Penghapusan utang ini memang memiliki konsekuensi, tetapi konsekuensinya bisa dibilang bagus. Dalam semangat Perserikatan Bangsa-Bangsa: alih-alih membayar beban utang, uang dapat digunakan untuk berinvestasi dalam ketahanan iklim, infrastruktur berkelanjutan, dan ekonomi transisi hijau.
Melalui dept swab hal ini diindahkan dan dibantu dengan manfaat dari pemberlakuan UU Cipta Kerja Indonesia yang berlaku untuk mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi, mengkoordinasikan kebijakan pusat-daerah, memfasilitasi berbisnis, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, dan menghilangkan ego sektoral.
Namun, dengan semakin banyaknya investasi, pembatasan negara (limitasi) perlu semakin diperkuat untuk mencegah kemungkinan eksploitasi dalam bentuk apa pun yang merugikan Indonesia.
Kredibilitas negara Indonesia juga harus dipertahankan melalui kinerja pemerintah dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang secara tepat waktu, dan mengelola utang luar negeri secara hati-hati, jujur, dan bertanggung jawab.
Hal ini untuk mengurangi penyaluran kredit yang menyimpang, karena pengembalian pinjaman mencerminkan titik stabil kepercayaan investor asing yang harus dipertahankan meskipun dalam kondisi krisis keuangan global sekali pun.
Kesimpulan
Melalui upaya-upaya tersebut di atas, akan terwujud jangkauan struktur keuangan yang optimal, sehingga dapat mewujudkan tujuan negara untuk sebesar-besarnya menyejahterakan rakyat. Di antara berbagai alternatif restrukturisasi utang negara melalui debt swaps adalah keputusan tepat, hal ini selain menurunkan ULN juga akan memperkuat reputasi kredit negara dan dengan demikian kemampuan Indonesia untuk bersaing dengan negara lain semakin meningkat.