Islam, sebagaimana agama yang lainnya, memandang bahwa para pekerja yang membantu setiap pekerjaan, baik itu yang ada di toko, di pabrik, di kantor, atau bahkan di rumah sekalipun, mereka adalah pihak yang harus dihargai dan dihormati hak-haknya.
Dalam hal ini, Kanjeng Nabi Muhammad pun telah menjelaskannya melalui salah satu hadis, "Tunaikanlah haknya pekerja itu sebelum ia kering keringatnya--U'thu al-ajir ajrahu qabla an yajiffa 'uruqahu."
Dalam hadits tersebut seakan mengajarkan dan mengingatkan siapa saja, khususnya pihak yang mempekerjakan orang lain agar memperhatikan jerih payah mereka sehingga tidak segan-segan untuk memberikan upah yang pantas bagi mereka.
Hal ini dijelaskan melalui simbol anjuran untuk memperhatikan 'keringat' seorang pekerja. Dengan memperhatikan tetes peluh mereka pada saat bekerja, pengorbanan mereka saat bekerja, maka hal ini diharapkan akan mampu mengetuk hati orang yang mempekerjakannya agar memberikan upah yang pantas bagi mereka.
Kita mungkin akan mendapati atau bahkan sering menjumpai pemilik usaha yang mempekerjakan karyawan yang cenderung memandang pegawai dari pencapaian kerja mereka saja, tanpa melihat lebih lanjut seberapa berat mereka dalam mengemban pekerjaan itu; sudah berapa banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang telah mereka curahkan demi menyelesaikan pekerjaan itu.
Jika hanya itu yang mereka pandang, maka besar kemungkinan kesimpulan yang akan mereka dapat hanyalah berada di wilayah rajin dan malas, mampu bekerja dan tidak mampu bekerja, produktif dan tidak produktif. Mereka adalah pihak yang selalu diposisikan untuk mengerjakan segala hal yang dimaui oleh majikan mereka.
Dan sebagai konsekuensinya, maka bagi mereka yang malas akan dikenai potong gaji, sedangkan bagi mereka yang produktif akan diutuhkan gaji mereka atau mungkin, jika mereka rajin, akan diberikan tambahan insentif lainnya.
Hal ini sebenarnya tidak perlu untuk terlalu diungkit dan dipersoalkan mengingat sebenarnya hal itu adalah sebuah kewajaran yang harus dilakukan oleh seorang pekerja dan konsekuensi yang akan mereka terima dari hasil kerjanya itu. Apalagi, jika ditinjau dari ilmu manajemen sumber daya manusia maupun ilmu manajemen produksi, pada umumnya pun mengajarkan demikian. Yakni, pemberian kompensasi pada pegawai haruslah sesuai dengan produktivitas mereka demi menghindari inefisiensi atau pemborosan.
Namun, sebenarnya ada hal lain yang patut untuk dikaji lebih lanjut berkaitan dengan pitutur dari Baginda Nabi tadi. Yakni, mengenai keseimbangan antara pengorbanan seorang pegawai dengan hak yang seharusnya mereka terima. Sudah sesuaikah upah yang mereka terima itu dengan segala pengorbanan mereka?
Pertanyaan semacam ini akan menjadi evaluasi bagi siapa saja yang mempekerjakan orang lain agar mereka tidak semaunya sendiri saat menggunakan jasa orang lain dengan menyembunyikan diri di balik sistem lingkungan pekerja yang seringkali tidak adil.
Nahasnya, kondisi yang pelik ini sulit untuk terelakkan sebab adanya faktor keterpaksaan pada diri seseorang untuk menerima pekerjaan demi mencukupi berbagai kebutuhan mereka. Sehingga kesannya adalah mereka rela digaji berapa saja asalkan masih bisa bekerja. Sungguh sebuah kenyataan yang miris dan memilukan.
Jangan sampai dengan adanya kondisi yang memprihatinkan ini kemudian menjadi aji mumpung bagi siapa saja untuk mempekerjakan pegawai dengan semaunya sendiri. Menggaji mereka dengan sesuka hatinya. Bayangkanlah jika pemilik usaha itu berada pada kondisi mereka? Mampukah mereka bertahan dengan kondisi yang demikian itu?
Mungkin saja mereka dapat berkelit, salah sendiri mau menjalani pekerjaan itu. Padahal, dengan mengikrarkan hal demikian, maka secara tidak sadar mereka telah menyetujui bentuk kezaliman pada pekerja mereka. Dan, berlangsung atau tidaknya bentuk kezaliman itu akan ditentukan oleh sikap dan keputusan mereka sendiri dalam menghargai karyawan mereka.
Mereka bisa saja bertanya pada nurani mereka sendiri, apakah mereka sedemikian tega menumpuk-numpuk harta kekayaan sementara pegawai mereka digaji jauh dari nilai upah minimum regional (UMR)? Jika alasannya adalah jenjang pendidikan dan profesionalitas, saya khawatir ini akan menjadi tameng pembenaran atas sebuah tindakan ketidakadilan.
Entah, dari dulu, saya secara pribadi selalu saja sulit menerima dan mengakui sebuah usaha di bidang apapun itu dapat dikatakan sudah sukses dan maju, selama ia belum mampu memperhatikan hak-hak bagi para pekerjanya.
Mau berapa pun omzetnya jika keuntungan itu hanya mengalir deras dalam kantong pribadi pemiliknya, tanpa memperhatikan kesejahteraan dari pekerja mereka, maka tidak ubahnya hal itu adalah budaya kapitalisme dengan mengeksploitasi tenaga manusia.
Maka, para pelaku usaha, khususnya para owner-nya, alangkah bijaknya jika mereka senantiasa melakukan perenungan dan evaluasi diri; Sudahkah gaji yang mereka tunaikan untuk karyawan mereka itu sudah layak adanya?
Sebuah cara yang dapat dijadikan sebagai indikator dari kelayakan inipun sebenarnya sangat sederhana, yakni dengan menjawab sebuah pertanyaan dari sebuah perenungan yang jujur, bagaimana jika ia sendiri yang berada di posisi karyawannya itu, maukah ia dihargai dengan cara yang demikian?