Aku memulai dengan mengingat-ingat sesuatu yang lalu-lalang di kepalaku seminggu terakhir. Memulai dari sosial media, sebagaimana kebiasaanku menghabiskan hari-hari dengan di sosial media, membaca cuitan dan keluhan serta kegembiraan netizen sepanjang waktu.

Demikian aku menemukanmu, semudah itu. Bahkan sejak saat itu aku mulai skeptis terhadap pameo laten dari makna keistimewaan yang hanya bisa diraih oleh rintangan berat dan kesulitan-kesulitan prosesnya.

Harus aku benarkan perilaku yang kuterima, sebab bila sudah menemukan kesesuaian jiwa lalu apa gunanya mempersulit keadaan.

Bukankah bagian paling menyenangkan adalah saat kita bisa bekerja sama menyederhanakan kerumitan hidup?

Pertama aku harus memperkenalkan dirimu pada dunia, aku khawatir dikutuk pembaca hanya sebab rasa penasaran yang akut hingga menjelma dendam.

Meski tak kusebut namamu yang terdengar mulia itu, tetapi deskripsi keindawan wajah saat dilukiskan dalam sastra selalu menginspirasi, mengembangkan imajinasi, walau tak pernah cukup.

Baca Juga: Perempuan

Sebagai pengantar, salah satu poin paling jelas adalah setiap perempuan harus pandai, mumpuni secara intektual. Mengingat perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, nanti.

Sehingga tidak salah ketika aku turut andil dalam alur cerita ini kemudian memanggilmu, Bu Guru.

Hal lain yang juga tak terduga, baru semalaman kita komunikasi, rasanya sudah saling kenal begitu dalam, keakraban kian cepat terbangun tanpa harus banyak basa-basi. Walau mungkin hanya aku yang merasakannya.

Aku membayangkan Tuhan menciptakan manusia lalu mempertemukannya lewat nasib. Sementara kita saling menemukan kecocokan lantaran memiliki pengalaman di atas luka yang sama sakitnya.

Masa lalu kita telah menjahit dirinya menjadi satu keutuhan dalam kepala, itulah sehingga orang-orang seperti kita selalu kuat dan tabah menjalani waktu.

Saat pertama melihat engkau walau sebatas digital. Aku memperhatikan manis bibirmu yang tipis dan ranum, mengembalikanku pada masa di mana aku hanya perlu bermain di sungai untuk bahagia semasa kecil, menyenangkan.

Entah kenapa aku selalu tertarik melihat bibir yang di pinggirnya terdapat tanda yang diberikan Tuhan. Tak harus kujelaskan semua keistimewaan yang terdapat di wajahmu, cukup aku sebut mancung hidungmu.

Untuk mengetahuimu, orang-orang cukup membayangkan perempuan-perempuan Turki yang begitu memikat secara fisik.

Aku sudah lama menyadari tipikal ekspresi yang kau sodorkan setiap kali mengirim gambar wajahmu sendiri. Dan aku belum menemukan cela untuk mencaci-maki wajah seperti itu.

Bisa jadi perempuan-perempuan sepertimu dilahirkan untuk mengakhiri pertikaian di bumi, sebab sungguh. Melihatmu adalah kedamaian paling esensional dialami oleh setiap orang yang memahaminya.

Memang kita belum pernah ketemu, Bu Guru. Tetapi aku sudah merasakan perihal-perihal layaknya pertemuan sudah sering dirayakan dengan sebotol bir kepada pemabuk yang membuatnya mengisahkan hikayat.

Kita sering bercanda ingin saling memeluk dan mengecup seumpama sepasang remaja yang telah lama saling cinta hingga kehilangan rahasia dalam hubungannya.

Namun, aku justru merasakan hal berbeda. Aku melihat setiap sudut di wajahmu adalah misteri yang entah bisa atau tidak akan pernah kupecahkan.

Keyakinan akan rasa pensaran yang terus tumbuh dan tak akan selesai ini membuatku kehilangan alasan untuk berhenti mempelajarimu. Dan itulah cinta! Saat setiap dari kita saling penasaran lalu saling mempelajari keduanya sampai kehilangan waktu, tanpa kenal rasa bosan.

Percakapan kita senantiasa mengalir, layaknya sungai rindu yang terbendung jarak. Sisa menunggu tumpah dan tak ada pilihan lain, selain temu.

Walau belakangan kau sedikit membuatku tercengang, lewat cerita yang kau sodorkan padaku yang sebenarnya juga sebagai tantangan berat. Bahwa kau telah dilamar oleh banyak lelaki dari berbagai latar belakang yang tentunya idaman mertua.

Bahkan beberapa hari lalu kau berkabar, didatangi keluarga lelaki dengan tujuan lamaran, membicarakan seperangkat kebutuhan resepsi yang tinggal menunggu persetujuan darimu.

Aku tahu, kau tak begitu tertarik pada lelaki yang belakangan melamar. Tetapi sebagai perempuan taat, membantah pada kehendak orang tua merupakan tindakan buruk bagimu. Sehingga mau atau tidak sama sekali, perlahan engkau akan menikah dengan lelaki lain yang bahkan bukan kecintaanmu sekalipun.

Bila itu sudah terjadi, dengan sendirinya aku telah jadi bangsat yang kehilangan keteguhan dan tanggung-jawab sebagai lelaki yang berani dan harus melamar lebih awal.

Terlepas dari itu semua. Memang kita saling memahami hakikat cinta masing-masing, adalah kebebasan. Tetapi kita tidak sedang di Eropa, Bu Guru. Kita di Sulawesi. Di sini kita hidup dalam dua konteks yang menyusun setiap orang bisa disebut manusia, pertama; Cinta. Kedua; Kehormatan.

Benar bahwa Cinta membuat manusia hidup, tetapi tak bisa disangkal. Kehormatanlah yang membuat kita tumbuh dalam tatanan sosial, walau menyiksa.

Cinta tidak mungkin diikat oleh pernikahan semata, sebab itulah aku juga percaya Sujiwo Tejo, “Cinta adalah proses hormonal, di bawah syaraf tak sadar” katanya.

Bahkan penulis terkemuka, Soesilo Toer juga mengatakan hal yang nyaris serupa, “Orang paling melarat di dunia adalah yang hidup tanpa cinta” katanya.

Itulah keyakinanku, Bu Guru. Sehingga aku memikirkan kebahagiaan ini akan jauh lebih besar ke depannya sekalipun kau dinikahkan oleh orang tuamu dengan lelaki lain.