Ada banyak sekali kontroversi menyoal Papua yang telah kita dengar sebagai bangsa. Ada soal Freeport, ada soal sparatisme OPM dan dugaan pelanggaran HAM, ada soal otonomi khusus hingga pemekaran Provinsi Papua.

Apakah  soal-soal itu telah kita lewati atau belum, itu bukan persoalan. Sebab memang kita, baik sebagai Negara maupun sebagai Bangsa akan terus on going process, terus di dalam kemenjadian dan tak boleh dianggap selesai. Bangsa ini harus terus maju, menatap masa depannya.

Sampai kapan? Sampai di suatu saat yang entah, dimana kita melihat kesejahteraan adalah milik semua, milik Indonesia. Sebab itu sebenarnya tulisan ini ingin saya dedikasikan untuk membahas secara implisit soal Papua dan bagaimana kita akan melihatnya sebagai suatu Provinsi yang makmur masyarakatnya, yang maju daerahnya.

Dalam soal itu Lukas Enembe layak menjadi pembahasan. Sebab bisik-bisik soal kekacauan di Papua yang disupport oleh Pemerintah selama ini telah lama menjadi pembicaraan yang tidak secara berani kita buka ke ruang publik. Kita lebih senang mendengarnya sebagai kebisingan yang sunyi dan membiarkannya tanpa mau berbuat apapun untuk menyelamatkan Papua.

Belakangan Gubernur Papua itu tengah tersangkut dugaan kasus korupsi. Saya sebut dugaan karena kita memang harus menjunjung praduga tidak bersalah sepanjang putusan hukum belum inkrah, tapi sebagai dugaan, saya dan kita semua harusnya percaya bahwa kasus tersebut layak didalami.

Sejak KPK merilis dugaan gratifikasi 1 Milyar, pendukung Lukas di Papua telah membuat semacam kekacauan epistemik penegakan hukum kita. Seakan-akan Gubernur atau figur manapun dapat diselamatkan begitu saja dari suatu proses penegakan hukum jika pendukungnya banyak. Seakan-akan daya dorong untuk menghentikan atau menghambat proses penegakan hukum itu dapat berjalan efektif dengan pengerahan massa.

Padahal sebagai pejabat Negara, Lukas harusnya siap untuk melakukan pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya. Sudah menjadi kecurigaan umum terhadap Lukas, dimana LHKPN miliknya meningkat drastis sejak dua tahun terakhir. Ada peningkatan sebesar 12 Milyar di dalam 2 tahun--pada 2020 sebesar 21 Milyar dan pada 2022 meningkat menjadi 33 Milyar. Apakah itu wajar?

Kewajaran pada penambahan hartanya hanya dapat diterangkan melalui pembuktian terbalik jika dirinya mau melakukan. Jika tidak? Negara punya PPATK untuk melakukan analisis, dan memang hasilnya sungguh membuat kita tercengang.

PPATK melakukan sejumlah analisis dan dari 12 analisis PPATK ditemukan aliran dana sebesar 560 Milyar yang disetor ke Kasino. Jika memang setoran ke Kasino judi itu hoax, paling tidak Lukas harusnya mampu menerangkan dari mana dan ke mana uang 500 Milyar lebih itu? Bukan kah yang dilaporkannya sebagai kekayaan hanya berjumlah 33 Milyaran saja?

Negara pantas curiga. Sebab upaya untuk mensejahterakan Papua melalui Otsus, serta perpanjangan Otsus itu dilakukan dengan menggelontorkan dana yang cukup besar. Sementara telah 1000 Triliun digelontorkan ke Papua, masyarakatnya tak juga sejahtera.

Lukas juga disinyalir menggunakan uang negara untuk bermain judi di sejumlah tempat. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, baru-baru ini merilis data mencengangkan. Dikutip dari Detik.com, Boyamin memaparkan tiga tempat judi yang dikunjungi Lukas; 1) Solaire Resort & Casino, Entertainment City di Manila Filipina; 2) Casino Genting Highland di Malaysia; 3) Hotel Crockford Sentosa di Singapura.

Selain tempat, MAKI juga memaparkan sejumlah nama perempuan yang menemani Lukas bermain judi di sejumlah negara tersebut, bahkan ada sosok yang berperan mengurus pajak dari transaksi Lukas, bagaimana pajak tersebut menjadi murah.

Pemerintah tentu tidak ingin dituduh menganak-tirikan Papua, kita sebagai anak Indonesia juga tak menginginkan itu; kita tak ingin menganak-tirikan siapapun dan tak ingin dituduh menganak-tirikan siapapun. Seakan-akan negara ini sedemikian rasis. Padahal apa yang terjadi di sana adalah prilaku korup dari Gubernurnya, yang kalau didalami lagi, sangat mungkin melibatkan sejumlah pihak yang tidak akan pernah kita sangka-sangka.

Kini Lukas enggan diperiksa KPK. Dia berlindung di Papua atas nama rakyat Papua. Sebagaimana yang diberitahukan para pendukungnya bahwa dirinya ingin tinggal di tengah rakyatnya. Tentu ini bukan prilaku gentle dari seorang pejabat Negara, dari seorang yang menganggap dirinya Public Figure.

Baru-baru ini pengacara Lukas bahkan meminta kepada Presiden agar mengizinkan Lukas berobat ke luar negeri dengan alasan kesehatan yang kian memburuk. Sementara Lukas tak punya itikad baik untuk menghadiri panggilan KPK (update terakhir panggilan ke dua pada Senin, 26/9/2022 mendatang), dirinya malah minta diizinkan berobat ke luar negeri. 

Ujungnya gampang ditebak; jika tidak diizinkan akan berdalih bahwa pemerintah melakukan pelanggaran HAM terhadap dirinya. Padahal ada banyak rumah sakit yang tak kalah canggih di Negara ini untuk mengobati berbagai penyakitnya.

Memang rumah sakit di Indonesia tak satupun dapat mengobati ketamakan dan hobi main judi, tapi saya menyarankan agar setidaknya menghadiri dahulu panggilan KPK.

Sebenarnya saya juga agak kecewa dengan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai para pembela HAM semacam Veronica Koman yang tak lagi bersuara soal ini. Sebab pelanggar HAM sebenarnya adalah mereka yang menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dan secara sadar maupun tidak memiskinkan rakyatnya.

Belakangan banyak suara-suara sumbang yang dilempar ke Pemerintah terkait upaya penegakan hukum terhadap Gubernur Papua ini. Misalnya, suara yang mengatakan bahwa Lukas dituduh Korupsi karena penolakannya terhadap Pemerintah yang menginginkan seseorang untuk menjadi Wakil Gubernur.

Menurut saya ini tidak masuk akal, sebab semua Gubernur di semua Provinsi di Indonesia, memang secara hukum berada di bawah kendali Pemerintah. APBD nya saja berasal dari Pusat. Tuduhan itu jadi tampak semacam lelucon yang tujuannya barangkali memang untuk memberikan keringanan terhadap Lukas, paling tidak dari sisi opini publik.

Seberapa besar upaya pemerintah mensejahterakan Papua? Jawabannya adalah sangat besar. Sebab upaya pembangunan, perpanjangan Otsus hingga pemekaran Papua, dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan Papua. 

Jika upaya mensejahterakan, memberi rasa aman, membangun infrastruktur, mencerdaskan masyarakat Papua itu dihambat oleh seseorang bernama Lukas, saya rasa Papua layak satu suara untuk menolak Lukas. Demikian pun kita semua, layak satu suara untuk mendorong Pemerintah mensejahterakan Papua.