Di masa lalu yang belum terlalu lama, warga Twitter bernama budok Fika dihina-hina fisiknya oleh netizen. Mungkin kamu yang menyimak ceritanya akan berkomentar, "Wajarlah, tweet-nya cringe dan narsis naudzubillah."
https://twitter.com/fikakartikap?s=09
Ya, baiklah, memang cringe dan narsis. Memakai kaos disablon "Menantu terbaik adalah dokter", mengembalikan diksi yang populer di jaman kolonial"Wong ayu bebas mas" dari kematian, masih ditambah cuitan minta orang lain untuk skinkeran dan nyari duit yang banyak dulu sebelum mengomentari beliau biar nggak malu. Gimana nggak bergejolak jiwa julid netizen kalau begitu caranya?
Keramaian yang terjadi berminggu-minggu gara-gara budok Fika narsis di cuitannya ini, terutama sebagai sesama muslimah yang jilbaber, membuat saya bertanya-tanya. Masa iya perempuan yang mencintai diri sendiri (soal berlebihan itu urusan lain), kemudian mengekspresikan kecintaannya di medsos, kecenderungan dibenci netizen?
"Dia sendiri yang kelakuannya minta dihina," alasan netizen.
Budok Fika yakin dirinya cantik, kemudian mengekspresikan diri sesuai apa yang diyakini, tapi netizen nggak yakin soal kecantikan ini. Jadi in masalah beda keyakinan?
Masalah klasik perempuan nggak sih? Saat diyakini jelek oleh khalayak, kena body shaming. Setelah berusaha percantik diri kemudian mulai yakin pada diri sendiri untuk berekspresi, eh, kena bully.
Di satu sisi dunia berputar dengan irama yang mengamini bahwa perempuan tidak seharusnya mengekspresikan diri, meski dilakukan dengan asertif sekalipun akan tetap dinilai abrasif. Di sisi lain, perempuan juga dituntut menjadi cantik, sesuai konsep cantik dari perspektif patriarki.
Apa itu patriarki? Berasal dari bahasa Inggris, "patriarchy", yang berarti "rules of the father", istilah ini berarti aturan yang mengikuti tradisi kebapakan atau laki-laki. Dalam aturan ini nilai kebudayaan, sosial, politik, dan sebagainya didasarkan pada selera dan kebutuhan laki-laki.
Tidak hanya ditemukan pada laki-laki, perempuan pun bisa memiliki cara berpikir dengan tradisi patriarki.
Perundungan pada perempuan akan makin intens, termasuk oleh sesama perempuan jika tidak memenuhi kriteria ideal yang ditetapkan atau disepakati (sesuai perspektif patriarki).
Dulu lazim terjadi di lingkungan terbatas, melihat tetangga lewat di depan rumah lalu ghibah, orang lain ada saja cacatnya. Sekarang, di era medsos, sambil nunggu cucian kering bisa disambi bully orang lain di dunia maya asal punya ponsel pintar dan kuota internet.
Medsos memungkinkan seseorang bisa menjangkau siapa saja, tinggal ketik komentar. Di medsos kita akan ketemu dengan orang yang berpendapat yang kekerasan verbal yang dilakukan secara daring pada perempuan itu wajar bahkan hanya guyonan. Kalau ditegur malah jadi plot twist, si korban perundungan dituduh baper, kan sialan kelakuan netizen yang kayak gitu.
Perundungan pada perempuan seakan menjadi "sign" untuk merespon unggahan orang lain yang dianggap tak elok dan gagal memenuhi imajinasi netizen tentang sosok perempuan yang ideal. Sama seperti saat tak berkenan melihat penampilan tetangga yang lewat di depan rumah, lalu di-ghibah.
Tak peduli apapun akibatnya pada orang yang mendapat perundungan di medsos, orang tersebut dianggap nggak layak mengaku cantik (atau apapun lah) dan dia harus tahu itu, titik.
Padahal bisa saja narsis lewat ekspresi "merasa cantik" ini sebagai usaha seseorang untuk mencintai dirinya sendiri karena timbul perasaan senang jika ada yang memuji cantik setelah mengunggah foto atau video di medsos.
Tahukah kamu bahwa mencintai diri sendiri itu perlu diusahakan dengan sebaik-baiknya?
Lou Andreas Salomé (1861-1937) seorang psikoanalisis, filsuf dan penulis kelahiran Rusia yang turut berkontribusi dalam pengembangan teori narsisme Freud bilang bahwa narsisme atau mencintai diri sendiri bukan bentuk pemujaan atas diri sendiri.
Selanjutnya, meski berpendapat narsisme itu perlu, Salomé tidak menganggap ada hubungannya narsisme dengan konsep cantik yang dilekatkan pada perempuan. Ia bahkan menolak memakai korset yang menjadi pakaian (dalam) wajib di masa itu supaya pinggang terlihat singset karena tak ingin terkekang dengan persepsi orang lain tentang kecantikan perempuan.
Sudah jelas narsisme yang dimaksud Salome berbeda dengan yang dialami budok Fika yang berusaha keras memenuhi standar kecantikan pada umumnya. Skincare, makeup, mengunggah foto dengan pose kekinian yang unyu, dan sebagainya dianggap sebagai aturan main untuk berekspresi di medsos.
Menjadi perempuan saja tak cukup, perempuan juga harus cantik untuk bisa mencintai dirinya sendiri baru kemudian bisa berbahagia, ini adalah kredo yang melekat pada kehidupan perempuan. Inilah yang kita hadapi sehari-hari, mulai dari informasi media bahkan obrolan di lingkungan keluarga terdekat.
Disadari atau tidak menganggap dengan menjadi cantik bisa lebih mudah mencintai diri sendiri ini toksik. Tuntutan menjadi cantik dengan berbagai standar yang dibuat oleh orang lain memenjarakan perempuan di dalam tubuhnya sendiri.
Jadi wajar saja setelah medsos menyerang kehidupan umat manusia jadi penting banget pendapat netizen pada kemampuan seseorang untuk bisa peroleh self-love.
Coba saja periksa tagar yang sedang trending di Twitter, sesekali pasti menemukan akun (asli, bukan bot) perempuan yang numpang selfie dengan menyertakan tagar padahal nggak nyambung. Atau di IG lewat unggahan OOTD (outfit of the day) yang jika kita klik tagarnya bisa menemukan sekian foto dari warga IG yang lain.
Bahkan terjadi juga di kalangan jilbaber yang memilih pakaian dengan pertimbangan relijiusitas, termasuk mereka yang memutuskan memakai cadar. Siapa bilang bercadar bisa menghentikan seseorang mengunggah foto diri yang fashionable dengan barang branded. Yang tak tampak hanya mukanya, bukan gaya berpakaian atau apapun yang melekat di badan, jadi bercadar pun bukan halangan untuk mengunggah foto OOTD.
Tak cukup sebagai atribut dan identitas saja, disadari atau tidak, jilbab berkembang menjadi produk yang memiliki tren. Akibatnya konsumerisme meningkat justru di kalangan yang mendaku relijius. Jilbab bukan lagi simbol perjuangan muslimah di era 90-an, jilbab di masa sekarang adalah industri sekaligus simbol ketaatan formalistik dalam pergaulan. Jadi apakah jualan jilbab syar'i yang kekinian itu salah? Saya sedang membicarakan fenomena sosial di sini, bukan soal moralitas dan benar/salah.
Awal tahun 2019 menonton acara bincang-bincang yang dipandu Alvin Adam dengan bintang tamu Rina Nose, salah satu topik yang dibicarakan tentang keputusan melepas jilbab mendapat hujatan, bahkan ada yang berkomentar darahnya halal.
Rina Nose bilang, “Ketika orang-orang mengatakan saya lebih cantik dengan berhijab, mereka tidak sadar mengeksploitasi kebebasan seorang individu, seorang perempuan terhadap tubuhnya. Kenapa sih semua harus disangkutpautkan dengan kecantikan?"
Sudah jamak ajakan berjilbab disertai dengan bujuk rayu bahwa jilbab membuat si perempuan jadi makin cantik. Padahal konteksnya (di masa Nabi Muhammad) memakai jilbab itu supaya tidak diganggu laki-laki, bukan supaya makin cantik, kalau malah diganggu karena terlihat cantik setelah berjilbab lalu bagaimana--apa dilepas saja jilbabnya?
Relijiusitas tidak menghalangi seseorang untuk terjebak tradisi patriarki meski nilai-nilai dalam Islam berulang kali berbicara tentang kesetaraan dan memuliakan perempuan. Budaya Islam dan budaya Arab itu dua hal yang berbeda, pahami ini dulu sebelum banyak gaya.
***
"Galak banget jadi perempuan, nggak ngaca muka cuma sekedarnya.""
"Cantik dan mulus orangnya, sayang gemuk."
"Istrinya baik, pinter, tapi jelek, makanya suaminya selingkuh."
Kalimat-kalimat di atas sering kita temukan sehari-hari, saking terlalu sering jadi dianggap wajar dan dianggap berlebihan jika ada yang tersinggung, padahal yang perlu diwaspadai adalah pola pikir yang menghasilkan kalimat-kalimat semacam itu.
Nilai diri perempuan tak seharusnya ditentukan oleh pendapat orang lain, apalagi yang ditetapkan dari perspektif laki-laki. Untuk mencintai diri sendiri seorang perempuan tidak harus jadi cantik atau merasa cantik (terlebih dahulu).
Apalagi untuk merasa cantik ini kemudian membutuhkan persetujuan, lewat unggahan medsos, misalnya. Kalau dapat afirmasi alhamdulillah, kalau kena bully malah jadi musibah. Tak perlu berusaha sekeras itu--menyediakan diri dihujat orang lain di medsos--demi bisa mencintai diri sendiri.