Pada era Modern, banyak pemikiran filosofis cenderung mengandaikan manusia sebagai Subjek yang terisolasi dari kosmos. Manusia diandaikan sebagai suatu makhluk yang sadar dan memiliki keistimewaan dari hal-ihwal lainnya. Bahkan perdebatan epistemologis antar rasionalis dan kaum empiris sangat berciri antroposentris. 

Keduanya cenderung memahami bahwa manusialah yang satu-satunya berwenang untuk sintas dan mencapai kebenaran tanpa melibatkan kosmos. Kosmos tidak diandaikan sejajar dengan manusia sebagai suatu rangkaian kehidupan yang dinamis yang dari ketersalinggantungannya satu sama lain terletaklah kebenaran.[1] 

Kendati demikian, pemaknaan modus sintas Manusia tersebutlah (yang tercermin dalam antroposentrisme) yang kemudian pada era pasca modern dipahami sebagai sebab atas kekacauan dunia dan krisis lingkungan hidup. Pada era ini muncul berbagai pemikiran ekologis yang beragam.

Berbeda dari aliran atau gerakan ekologi lain yang sangat bercorak kontinental atau teknikal, Henryk Skolimowski seorang filsuf Polandia memilih pendekatan yang longgar terhadap paham mistik namun tetap analitis. 

Dalam Tulisan ini, penulis pertama-tama hendak mengajak pembaca untuk memahami bagaimana manusia sepanjang sejarah berinteraksi dan terus-menerus hidup berdampingan dengan alam melalui berbagai worldview.

Worldview and Values for the future

Worldview atau cara memandang dunia dapat diterjemahkan ke dalam berbagai hal, dari hal teknis keseharian hingga nilai-nilai luhur yang diimani. Dalam beberapa disiplin ilmu humaniora, kita memahaminya sebagai ideologi, paham, kepercayaan, dan kebudayaan. 

Sejak kemunculan revolusi industri dan kemajuan sains pada abad 18 (Aufklärung), Worldview sains memonopoli kebenaran dan juga nilai. Singkatnya, dengan sains, manusia penentu arah dunia dan dengannya dunia telah mengalami berbagai krisis lingkungan hidup.

Skolimowski dalam Worldview and Values, membandingkan kedua corak Worldview tradisional dan modern. Ia membandingkan karakterisitik dan values dalam kedua worldview tersebut sebagai praktik bertahan hidup manusia yang berdampingan dengan alam/kosmos. 

Berikut uraian ringkas tentang pandangannya:

1 Traditional Worldview

Serumpumpun cara pandang dunia ini memiliki persamaan, yakni: luwes dan halus. Karena keluwesan dan elastisitas Traditional Worldview (disingkat TW) tersebut, maka interpretasi jamak dimungkinkan dalam memahami kosmik yang dinamis.

Oleh karena itu, TW dapat sintas dan menyesuaikan perubahan zaman dari waktu ke waktu jauh sebelum kemunculan sains. Lebih lagi, values dari berbagai TW selalu mengedepankan kesejahteraan, kebaikan dan kemakmuran.

2 Modern Western Worldview atau Sains

Berseberangan dengan TW, Modern Western Worldview (disingkat MWW) sangatlah kaku. Ia mengedepankan kepresisian dan ketepatan saintifik. 

Karakteristik dari MWW kurang lebih adalah: 1) manipulasi, 2) kuasa, 3) kontrol, dan 4) efisiensi

Skolimowksi mengkritik bagaimana Saintisme dan optimisme MWW yang memetaforakan dunia adalah jam mekanis dan tidak dapat memungkinkan kejamakan interpretasi akan realitas (newtonianisme dan mekanika klasik), telah merusak interaksi harmoni dengan alam.

Singkatnya, Skolimowski memberikan demarkasi karaktersitk nilai kedua sudut pandang tersebut sebagai berikut: “…Karena pencariannya akan kepresisian, dan karena kepatuhannya pada metafora mekanistik, pandangan dunia ilmiah sangat rapuh (sedangkan pandangan dunia tradisional bersifat elastis).”[2] 

Lebih lagi, ia mengkritik habis bagaimana dunia telah direduksi oleh nilai-nilai MWW sebagai berikut:

“Apa prinsip-prinsip etika yang kita peroleh dari pandangan dunia ilmiah? Nah, jika pengetahuan adalah kuasa, dan jika kosmos adalah mekanisme untuk dimanipulasi, maka yang penting adalah—kekuatan, manipulasi, kontrol, dan efisiensi. Ini memang telah menjadi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat ilmiah-teknologi. Jika tidak ada dewa-dewa yang lebih tinggi daripada efisiensi dan rasionalitas, maka semakin banyak efisiensi dan kekuatan yang kita miliki, semakin baik. (pen.).[3]

Nilai-nilai tersebut yang bagi Skolimowski menuntun kita pada persaingan yang kejam, menginjak-injak orang lain, egoisme, dan materialisme kasar. 

Ini bukanlah prinsip etika yang benar jika kita menyadari bahwa kita hidup di bumi sama, yang saling terhubung dan terikat dalam begitu banyak lingkaran ketersalinggantungan.[4]

Manusia Baru dan Taktik Baru 

Bagi Skolimowski terdapat persamaan nyata di tengah keragaman pendekatan kita terhadap alam (worldview, budaya, ideologi, bahasa, dst.): Warisan Kehidupan. 

Kita berbeda di dalam segala hal namun kenyataan bahwa kita diwarisi oleh bumi dan kehidupan adalah satu hal yang tak terbantahkan. Di samping pijakan utama tersebut (yang adalah warisan kehidupan), dengan mengikuti Oswald Spengler, Skolimowski percaya bahwa teknik adalah taktik untuk hidup (sintas).

Baginya, teknologi yang muncul dari MMW telah melupakan esensinya sebagai taktik untuk hidupnamun hidup yang bukan bagi manusia saja melainkan bagi keseluruhan tatanan kosmik.

Barangkat dari kritisismenya terhadap ragam Worldview, Values, dan Teknik untuk menjaga Kehidupan Kosmos, ia mengupayakan suatu taktik baru dari berbagai lapisan dimensi manusia (kepercayaan, budaya, spiritualitas, sains, sosial, dsb) demi menjaga ketersalinggantungan setiap elemen kosmik. 

Dengan demikian Skolimowski mengupayakan suatu konsepsi Manusia Baru yang nampak dalam kutipan berikut:

“Kita perlu menciptakan worldview yang akan menopang dan memelihara seluruh keluarga manusia bersama dengan makhluk lain di dunia dan juga bermanfaat bagi keutuhan bumi, mempertahankan kekayaan dan keindahannya. Pandangan dunia seperti itu harus mengenali sifat spiritual kita dan pencarian makna yang melekat pada diri kita. Ia juga harus mengakui gagasan keadilan untuk semua dan harus memasukkan prinsip tidak merugikan (ahimsa) sebagai cara dasar interaksi kita dengan semua makhluk di dunia ini. Ketiga, ia harus mengakui perluasan dan pencapaian ilmu pengetahuan baru-baru ini”[5]

Skolimowski mencetuskan istilah Homo Ecologicus Spiritualis-Ethics bagi manusia yang mampu mengoperasikan taktik baru-nya; manusia sebagai entitas spiritual. Manusia ini adalah manusia yang memiliki kepekaan terhadap hal spiritual yang transenden dan melalui alam ia akan mencapai kesempurnaan.

Skolimowski mengadopsi simbol-simbol agama untuk memverifikasi klaim filosofis tentang manusia. Manusia adalah suatu entitas hidup yang terus menerus berevolusi dan akan mencapai kesempurnaannya dalam alam. [6]

Dari manusia baru tersebut, Skolimowski merangkai sebuah taktik baru yg meliputi teknologi baru, budaya baru, dan ideologi baru yg dirangkumnya dalam suatu world-view yakni: Ecological Humanism. 

Berbeda dari humanisme tradisional yang mengisolasi dan memberikan keistimewaan manusia atas alam, Ecological Humanism memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam itu sendiri dan sebaliknya. 

Sehingga, alam turut berdialog dengan manusia dalam upaya mencapai kebaikan dan kebenaran. Hanya dengan kesadaran itulah manusia mampu sintas dan menjaga kehidupan yang dimaknai secara luas (yakni alam itu sendiri).

Singkatnya, dari semangat menjaga Warisan Kehiduapan (Heritage of Life) tersebut, Skolimowski merumuskan Taktik Baru. Pertama, pada tingkat budaya, Ecological Humanism menjadi tanda peralihan mendasar (Fundamental Turning Point) dari idiom MMW. 

Manusia yang semula menegaskan diri mereka sendiri dan terisolasi terhadap hal-ihwal eksternal, menuju ke idiom baru di mana manusia akan menyatukan diri dengan hal-ihwal eksternal (yakni alam). 

Kedua, pada tatanan ideologis, Ecological Humanism mengupayakan suatu hubungan sosial yang berdasar pada gagasan ke-ter-saling bergantung-an (berbagi, melayani) ketimbang suatu ideologi yang meletakan perjuangan dan pertentangan terus-menerus dalam domain sosial, baik yang terlihat maupun yang sublim. 

Ketiga, pada tingkat individu, Ecological Humanism mendukung empati dan kasih sayang daripada kompetisi; pemahaman secara mendalam ketimbangan hanya merespon informasi dan pengetahuan secara pragmatis sempit. 

Dengan demikian, memelihari kehidupan manusia adalah juga memelihari kehidupan yang utuh (alam). Semangat ini bukan serta-merta ditafsirkan secara instrumental.

Alam atau habitat itu adalah kita sendiri dan bukan instrumen bagi manusia untuk hidup sebagaimana dipahami dalam humanisme tradisional.

Lestari/Sintas

Henry Skolimowski menuangkan pemikirannya tentang disposisi manusia dengan alam dari berbagai macam sudut pandang dunia (worldview). Berbagai sudut pandang tidaklah destruktif bagi warisan kehidupan jika kita memahaminya sebagai suatu ketersalingantungan antara manusia dan eksternalitas (kehidupan). 

Kehidupan selaras dengan kosmos, dan kita berda di dalamnya. Manusia telah lama mengkooptasi istilah kehidupan hanya bagi dirinya sendiri, di mana sejatinya manusia adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. 

Cara manusia menjaga kehidupan secara esensial adalah dengan menjaga keutuhan dan rantai simbiosis kosmik melalui kemampuan spiritual-evolutif manusia yang tidak terkungkung dominasi Worldview tertentu yang justru mengacuhkan alam itu sendiri dari setiap taktik kehidupan kita. 

Dengan demikian permasalahan manusia sebagai entitas yang mempertahankan kehidupannya dalam alam juga akan dilampaui oleh kesadaran bahwa kita melestarikan kehidupan.


Referensi

[1] Idealisme Jerman dan, khususnya Hegel, meski memiliki corak kosmlogi yang kuat, ia tetap mempertahankan posisi Subjek Roh dan bahwa Dunia hanya tentang kehendak dan dialektika Roh semata, yakni Subjek/Kesadaran yang tidak termanifestasikan sebagai manusia.

[2] Henry Skomilowski, World-views and values for the future, dalam India International Centre Quarterly, Vol. 15/16, Vol. 15, no. 4/Vol. 16, no. 1, Futures (Winter 1988/Spring 1989), hlm. 155-165

[3] Diterjemahkan bebas dari: "What are the ethical principles we derive from the scientific world view ? Well, if knowledge is power, and if the cosmos is a mechanism to be manipulated, then what is important is—power, manipulation, control and efficiency. These have indeed become the prevailing values of the scientific-technological society. If there are no higher gods than efficiency and rationality, then the more efficiency and power we possess the better." Bdk. Ibid., hlm. 157.

[4] Diterjemahkan bebas dari "…Because of its quest for precision, and because of its adherence to the mechanistic metaphor, the scientific world-view is very brittle (whereas a traditional world-view is elastic)". Bdk. Ibid.

[5] Terjemahan bebas dari “We need to create world-views which will sustain and nourish the whole human family along with other creatures of the globe and also be beneficial to the integrity of the earth, sustaining its richness and beauty. Such a world-view must recognise our spiritual nature and our inherent quest for meaning. It must also recognise the idea of justice for all and must include a principle of non-harming (ahimsa) as the fundamental mode of our interaction with all the beings of this world. Thirdly, it must recognise the recent extensions and achievements of science.” Ibid., hlm. 157. 

[6] F. Fios & G. Arivia, The concept of homo ecologicus spiritual-ethical (an ethical reflection on the ecological humanism concept of Henryk Skolimowski), dalam Budianta et al., Cultural Dynamics in a Globalized World, London: Taylor & Francis Group, 2018, hlm. 119-120.