Ajaran Karl Marx yang menyebut 'cinta hanya dapat ditukar dengan cinta' tak berlaku. Cinta boleh dibalas dengan kekerasan, karena negara kita Negara Pancasila, bukan Negara Marxis.
Unjuk rasa atau protes itu ya harus anarkis. Harus merusak. Kalau tak merusak, namanya bukan protes. Lagi pula mana ada aksi damai yang ditindaklanjuti? Nggak ada, kan? Makanya protes itu yang anarkis, yang merusak.
Penolakan warga Bali terhadap reklamasi Benoa secara damai, apa hasilnya? Tak ada, kan?
Ketika sawah-sawah produktif di Batang digusur untuk penyediaan energi kotor, PLTU, para petani protes. Protes damai itu tak direspons baik, namun justru disambut dengan pemasangan papan pengumuman bahwa siapa pun yang memasuki area pembangunan PLTU diancam pidana dengan pasal KUHP.
Keraton Yogyakarta mencoba memberi teladan dengan melembagakan protes warga dengan ritus laku pepe. Warga menjemur diri hingga sang raja menemui dan menanyakan apa yang memberatkan hatinya. Dari situ raja bisa mengambil keputusan yang bijak dan menempatkan rakyat sebagai manusia yang juga harus didengar suaranya.
Protes gaya laku pepe ini dengan apik diadopsi para orang tua dan kerabat aktivis yang hilang dalam peristiwa 1998. Mereka menggelar aksi Kamisan. Tak tanggung-tanggung, aksi sudah berjalan hingga 12 tahun.
Bayangkan, selama 12 tahun, setiap hari kamis berdiri diam di seberang istana dengan berpayung. Nyatanya disapa saja nggak. Rezim berganti, perilaku rezim tak terganti.
Maka, sebaiknya unjuk rasa memang harus anarkis. Itulah sebabnya pada era awal 2000-an setiap unjuk rasa, eksponen mahasiswa selalu memberikan catatan akhir dalam pemberitahuan kepada pers.
"Settingnya bentrok. Pasti seru," demikian pesan yang saat itu masih disebarkan lewat SMS.
Tak ketinggalan, para intel polisi juga selalu merespons dengan cantik. "Tolong diliput, ya, mas. Nanti settingnya bentrok, tapi hanya saling dorong saja. Polisi tetap dalam koridor," kasat Intelkam.
Di lapangan, merusak atau yang terkontrol atau yang akhirnya menjadi kerusuhan itu dilakukan untuk menarik perhatian saja,perhatian media-media mainstream. Ini terjadi ketika media-media mainstream merasa perlu ada sensasi dalam setiap pemberitaannya.
"Demo gitu-gitu aja mah banyak," jawab seorang redaktur sebuah kantor pemberitaan.
Kasus penggusuran kampung Tambakrejo Semarang hanya contoh kecil. Bagaimana mungkin kesepakatan warga dan pemerintah yang difasilitasi Komnas HAM sudah diketok Desember 2018, kemudian pemkot belum melaksanakan janjinya tapi sudah menggusur, tiba-tiba tak ada beritanya di media-media mainstream, terutama lokal Semarang?
Setelah satu media nasional menulis dan menyajikan kisah itu, drama yang terjadi, barulah berita itu muncul. Itu pun masih dengan menghilangkan perspektif warga tergusur dan penggunaan terminologi pro-penguasa.
"Maklum, kami juga harus hidup, dan iklan yang bisa diharapkan hanya dari iklan Pemda, mas," kata seorang Wapimred media lokal kepada saya, ketika saya menanyakan.
ooo000ooo
Para elite politik selalu berteriak, "NKRI Harga Mati, Saya Akan Korbankan Jiwa Raga demi Negara." Lalu ketika ada protes dan berujung bentrok yang sampai menghilangkan nyawa, ke manakah mereka?
Sangat banyak para pejuang yang memilih jalan sunyi non-kekerasan, namun balasannya adalah kekerasan. Marsinah, Wiji Thukul Wijaya, Prabangsa, Udin hanya menjadi deretan nama tak berarti bagi yang dikritik. Mereka mati atau dimatikan. Hilang dan kasusnya juga hilang.
Imajinasi saya mengembara menemui sejumlah tokoh. Saya ingin tahu mengapa mereka yang mengabarkan ketidakadilan lewat jalur sunyi anti-kekerasan justru malah mendapat perlakuan sebaliknya.
"Jelas sekali, bukan, kalau negara kita itu berdasar Pancasila? Hanya ajaran Karl Marx yang menyebut bahwa cinta hanya bisa ditukar dengan cinta," kata seorang pejabat yang selalu berteriak penegakan HAM.
Lalu, bagaimana dengan people power Jokowi yang sukses mengantarkannya jadi Gubernur DKI yang jadi batu pijakan melompat kursi Presiden? Bagaimana pula dengan cap jempol darah pendukung Megawati, Pam Swakarsa bentukan para jenderal 1998 lalu?
Sudahlah, menjadi tak penting lagi. Delapan nyawa yang melayang karena aksi 21-22 Mei 2019 menguap, ditelan sikap nyinyir warganet. Penegak hukum anti korupsi yang melaksanakan tugas negara seperti Novel Baswedan juga tak jelas penanganannya.
Negara tak hadir mereduksi kekerasan kecuali dengan orasi-orasi elite. Tak ada contoh anti-kekerasan yang dihadirkan negara. Sikap anti-kekerasan hanya dimobilisasi jika menyangkut kekuasaan, terutama jika dianggap menyangkut kekuasaan.
Sebuah kisah, teman saya SMA saat ini sudah menjadi perwira TNI. Ia bercerita bagaimana harus berhadapan dengan anak sulungnya yang bertugas sebagai polisi saat meredam aksi 21-22 Mei 2019.
"Saya tak mengizinkan anak saya membawa senjata. Biarlah itu dianggap melawan komandannya. Tapi bagi saya, keutuhan negara dan bangsa jauh lebih penting daripada harus berperang melawan bangsa sendiri," katanya.
Polisi anak kawan saya tadi entah bagaimana nasibnya sekarang. Tapi ayahnya mengaku siap jika memang anaknya harus diberhentikan karena dianggap melawan komandan.
Polisi yang menembak, perusuh yang diorganisir, kaum pemrotes kecurangan pemilu, dan semua yang ada di lapangan, hanyalah pion-pion yang memang dibuat untuk melindungi kepentingan sang raja. Mereka kedudukannya sama.
Arena protes dan kerusuhan menjadi sebuah lapangan yang mempertemukan mereka untuk saling bunuh, saling maki.
"Ingat, berjuang itu tahapannya mulai dari maki-makian sampai mati-matian," teriak sang orator. Dan kini sang orator tengah sibuk merapat dan hendak ikut berpesta dengan golongan yang mereka tuding curang.
Jadi, kalau mau protes, proteslah dengan kekerasan karena negara yang mengajarkan itu. Itulah sebabnya saya tak termasuk orang-orang kritis yang gagah berani memprotes sebuah ketidakadilan. Saya hanya seroang bapak satu anak yang gelisah dengan masa depan peradaban negeri di mana anak saya nanti akan mendewasa.
"Di atas segala kebenaran hukum, di atas semua kebenaran, ada nilai yang harus selalu dibela. Nilai kemanusiaan," saya menutup sebuah dongeng menjelang tidur kepada anak saya.