Prejudice, expectation, and bias
Setiap dari kita pasti mengalami situasi di mana kita membutuhkan pasangan sebagai rumah di tengah hiruk pikuknya dunia. Oleh karena itu, kebanyakan dari kita terus mencari pasangan hidup untuk bertahan menjalani derasnya arus kehidupan ini.
Namun, mencari pasangan yang tepat bukanlah hal yang mudah karena ada beberapa kriteria yang menjadi faktor penentu untuk menjalin hubungan lebih jauh. Setelah menemukan pasangan, Menjalani hubungan atau relationship adalah suatu hal yang cukup rumit di mana pasangan berhadapan dengan berbagai masalah baik internal maupun eksternal.
Salah satu akar dari permasalahan adalah prasangka terhadap pasangan serta hubungan. Prasangka yang kita miliki dapat timbul dari faktor internal dan eksternal. rasa trauma dan masalah di masa lalu merupakan faktor internal, sedangkan faktor eksternal dapat berupa rumor terhadap pasangan. Apabila dibiarkan, prasangka akan timbul menjadi ekspektasi terhadap pasangan.
Ekspektasi yang terlalu tinggi pada pasangan dapat menimbulkan bias dalam memahami pasangan, rasa tidak percaya, bahkan keinginan untuk mengontrol pasangan agar selaras dengan ekspektasinya. Hal-hal tersebut akan menyebabkan pasangan merasa terkekang oleh keinginan yang dilandasi oleh ekspektasi kita.
Ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, maka timbul masalah baru yakni pasangan menjadi tertekan, timbul kekecewaan ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, kita menjadi pribadi yang egois terhadap pasangan, dan kita akan menjadi posesif terhadap pasangan kita. Sehingga dapat menimbulkan rasa muak dan lelah terhadap pasangan.
Bias adalah sebuah penyimpangan dalam proses berpikir yang cenderung akan menyebabkan kesalahan, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi penilaian dan persepsi individu dalam memutuskan suatu hal. Bias dalam hubungan bisa diartikan sebagai sebuah penyimpangan berpikir yang disebabkan oleh prasangka serta perasaan seorang individu.
Dikutip dari idntimes.com ekspektasi dalam hubungan ini dapat berupa harapan pasangan akan selalu membahagiakan dirinya, tidak akan ada kebosanan dalam hubungan, mengharapkan kesempurnaan dari pasangannya, pasangan yang selalu bisa dibanggakan, pasangan yang selalu bisa diandalkan dan tanpa adanya konflik sama sekali.
Dilansir dari survei oleh the National Fatherhood Initiative pada 2005 mengenai perceraian di Amerika, sebanyak 45% responden mengatakan ekspektasi yang tidak realistis menjadi alasan utama perpisahan mereka. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi ekspektasi dalam sebuah hubungan dapat mempengaruhi kepuasan individu tersebut terhadap pasangannya.
Menurut The Gottman Institute, pemenuhan ekspektasi oleh pasangan akan mewujudkan The “Good Enough” Relationship. Pemenuhan ekspektasi ini mulai berasal dari awal masa hubungan mereka, seperti memiliki pasangan yang mengerti keinginan kita, peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Ketika seseorang mengalami pemenuhan ekspektasi tersebut mereka akan mendapatkan kepuasan terhadap pasangannya.
Ekspektasi, rasa trauma, serta rumor berperan besar dalam diri seseorang dalam menilai suatu hubungan dan pasangan. Apabila hadir masalah dalam hubungan mereka, maka dia akan menghubungkan keadaan yang sekarang dengan trauma yang dialaminya.
Percakapan kedua belah pihak menjadi sulit karena dikeruhkan oleh bias dari prasangka yang telah dibuat. Ekspektasi dan asumsi ikut ambil bagian untuk mengaburkan persepsi terhadap pasangan. Hal ini menyebabkan timbul kekecewaan ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, kita menjadi pribadi yang egois terhadap pasangan, dan kita akan menjadi posesif terhadap pasangan kita.
Philosophical Theories
Reduksi Eidetis adalah upaya untuk menemukan esensi tersembunyi dari suatu fenomena. Segala sesuatu yang dianggap sebagai fenomena harus disaring untuk menemukan esensi dari fenomena tersebut. Segala sesuatu yang dilihat harus dianalisis dengan cermat dan teliti agar tidak terlupakan. Cara untuk Reduksi Eidetis yakni dengan mengesampingkan terlebih dahulu sifat sifat yang bersifat insidental dan eksistensial. Hal ini diperlukan agar perhatian kita fokus pada fondasi fenomena yang bersifat esensial.
Reduksi Fenomenologi menuntut kita untuk menanggalkan semua prasangka dari ilmu pengetahuan, pengalaman, tradisi, asumsi, teori maupun hukum. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bias dan dapat memahami esensi dari objek tersebut secara utuh.
Kehendak buta adalah pandangan dari Schopenhauer mengenai bagaimana kehendak masuk dalam ranah alam bawah sadar manusia yang mampu mengatur tindakan yang akan dilakukan individu. Kehendak buta digambarkan sebagai orang buta yang kuat menggendong seorang yang dapat melihat namun lumpuh.
Schopenhauer berpendapat bahwa kesadaran serta intelektual hanyalah permukaan layaknya puncak gunung es di atas laut, dimana keseluruhan dari gunung es itu sendiri berada di dalam laut seperti alam bawah sadar manusia itu sendiri. Schopenhauer mempercayai bahwa alam sadar menentukan bagaimana manusia akan berperilaku.
The Red Thread
Kita perlu memahami esensi hubungan yang hendak kita jalani. Hal ini memerlukan reduksi eidetis dimana kita berusaha mengurung segala asumsi yang kita alami seperti pengalaman hubungan di masa lalu, curhatan teman mengenai permasalahan cinta mereka, hubungan keluarga, trauma, dan segala yang kita tahu sebelumnya.
Reduksi Eidetis bertujuan menjernihkan pikiran kita dari bias agar dapat memahami esensi dari hubungan yang akan dijalani. Hal ini juga dapat membantu agar kita tidak terjebak pada suatu hubungan yang tidak pasti atau bahkan menjadi pelarian dari pasangan dan berlaku sebaliknya. Dengan adanya reduksi eidetis, diharapkan esensi yang telah kita temukan menjadi fondasi hubungan yang sehat untuk kedepannya.
Setelah mengetahui esensi suatu hubungan, kita juga perlu melihat pasangan kita secara utuh tanpa bias. Untuk hal ini, kita menggunakan reduksi fenomenologi. Kita terbiasa men-judge pasangan dari segala yang nampak serta dengar. Namun, kita perlu tahu siapa esensi pasangan kita tanpa ada bias dari pengalaman dengan pasangan sebelumnya, rumor mengenai pasangan dari pihak lain serta prasangka yang kita buat.
Reduksi Fenomenologi bertujuan agar kita dapat mengenal pasangan lebih dalam serta hubungan yang dijalin lebih bermakna. Pasangan akan merasa lebih dihargai serta persepsi baru yang kita dapatkan dari reduksi fenomenologi menjadi kuat. Kepekaan kita juga diasah karena kita berusaha mengesampingkan prasangka dan asumsi yang kita buat, sehingga kita harus mencoba mengenalnya dari awal.
Melakukan Reduksi bukanlah perkara yang mudah. Rasa sakit juga akan timbul saat berusaha mengesampingkan pengalaman masa lalu, rumor, prasangka, ekspektasi, dan asumsi. Selain itu, kita harus memahami hubungan serta pasangan dari awal dan hal ini juga membutuhkan kepekaan serta waktu yang cukup lama. Namun, esensi yang telah kita bangun dapat menjadi fundamental yang kuat dengan harapan untuk kedepannya hubungan dengan pasangan bisa berjalan dengan lancar
Kita juga perlu mengontrol ego kita dalam hubungan, sehingga memerlukan kompromi atau jalan tengah saat menemui suatu masalah. Tiap dari kita juga memiliki keinginan untuk menang dan menghindari suffering saat saling debat mengenai suatu masalah. Apabila tetap bersikukuh mempertahankan apa yang diyakini tanpa menemukan titik terang dalam suatu masalah, pertengkaran pun juga tidak bisa dihindari. Sehingga, kalaupun kita menang dalam perdebatan, apa untungnya bagi kita? You’ve won, but at what cost? everything.
Summary
Prasangka merupakan akar dari permasalahan dalam hubungan dimana hal ini dapat menimbulkan masalah seperti ekspektasi, asumsi, serta bias dalam persepsi. Untuk menangkal dampak buruk dari prasangka, dibutuhkan reduksi eidetis dan fenomenologi agar esensi yang didapat membawa hubungan menjadi lebih sehat serta lancar. Tak hanya itu, pengontrolan diri juga dibutuhkan agar bisa lepas dari cengkraman kehendak buta berupa pemaksaan ekspektasi terhadap pasangan.