Keberhasilan Indonesia dalam menumpas gerakan pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Membuat Indonesia tidak berubah menjadi negara komunis seperti yang ditakutkan oleh Amerika Serikat. Kemudian keberhasilan Indonesia dalam mengelola “Dasasila” Bandung dengan deklarasi koeksistensi untuk perdamaian dunia. Merupakan bukti yang tidak bisa dibantah bahwa Indonesia tidak condong ke komunis. Namun hal itu berubah setelah pada pemilu 1955, yang menempatkan PKI di urutan keempat. Membuat Amerika Serikat khawatir atas berkembangnya pengaruh PKI di Indonesia.

Hal inilah yang membuat Amerika Serikat mulai mengubah kebijakan politik luar negerinya untuk melakukan hubungan baik dengan Indonesia. Dengan mengirim John Foster Dulles ke Indonesia, Amerika Serikat berencana ingin menjernihkan hubungan yang gelap antara Indonesia-AS (Suara Merdeka, 2 Febuari 1956). Pada saat kunjungannya di Jakarta, John Foster Dulles memberitahukan perihal undangan kepada Presiden Sukarno untuk mengunjungi Amerika Serikat (Leifer, 1989: 64). Keputusan yang dibuat Amerika Serikat ini, dilakukan setelah melihat Indonesia berhasil menegakkan demokrasi yang dilihat dari pemilu 1955.

Presiden Sukarno berencana mengunjungi Amerika Serikat selama tujuh belas hari. Kunjungan kenegaraan rencana akan dimulai dari tanggal 16 Mei sampai 3 Juni 1956 (Harsono, 1989:42). Rencananya Presiden Sukarno akan mengelilingi Amerika Serikat. Keinginan nasional untuk mengembalikan status Irian Barat seperti pasca kemerdekaan 1945 menjadi prioritas dan tujuan nasional Indonesia pada saat itu. Pada kesempatan kunjungannya di Amerika Serikat lah, Presiden Sukarno tidak lupa membicarakan mengenai masalah status Irian Barat kepada Presiden D. Eisenhower. Maksud dari membicarakan masalah ini adalah harapan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari Amerika Serikat masalah status Irian Barat. Namun, disayangkan bahwa keinginan tersebut tidak pernah ditindak lanjut dalam persetujuan bilateral antara kedua negara.

Justru sikap kaku dan kurang antusias ditunjukkan oleh Presiden Amerika Serikat. Dalam kesempatan kali itu Presiden Amerika Serikat justru mengajak kearah pembicaraan yang kurang penting yaitu masalah film (Adam, 2011: 129). Presiden Sukarno menyampaikan dan menekankan kepada Presiden Amerika Serikat untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Sikap ini dilakukan setelah melihat apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada saat Agresi Militer Belanda II. Amerika Serikat cenderung tidak peduli namun terkesan mendukung Belanda (Karena anggota NATO-Read).

Perubahan yang dilakukan oleh Amerika Serikat mengenai politik luar negeri yang awalnya tidak intervensi menjadi intervensi yang dilakukan terhadap Indonesia. Merupakan upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat akan kejatuhan Indonesia kebawah pengaruh komunis. Amerika Serikat merasa bahwa dengan melakukan intervensi terhadap Indonesia akan menjaga agar Indonesia tetap dibawah pengaruhnya. Amerika Serikat beranggapan bahwa Selama Indonesia masih bekerjasama dengan barat, Indonesia tidak akan jatuh ke tangan komunis (Wardaya, 2008: 97). Sangat jelas dalam kesempatan yang dibangun oleh Washington terhadap Jakarta hanya untuk membendung pengaruh komunis di kawasan Asia Tenggara.

Amerika Serikat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia dengan sikap netral yang sangat merugikan Amerika Serikat. Belum lagi ditambah dengan kampanye untuk tidak mengikuti kedua blok oleh Indonesia dengan adanya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Menjadi bukti bahwa pengaruh Indonesia untuk menggalang kekuatan internasional untuk membentuk blok netral bagi perimbangan blok barat dan blok timur. Keadaan inilah yang dianggap Amerika Serikat menguntungkan pihak Uni Soviet, sehingga Amerika Serikat melakukan intervensi terhadap Indonesia dengan mensponsori gerakan pemberontakan daerah. Hal itu bisa dilihat adanya dukungan senjata kepada pemberontak-pemberontak daerah yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Puncak intervensi yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat terhadap Indonesia. Ketika Menlu Dulles mengatakan bahwa pihaknya tidak akan ragu-ragu untuk menumbangkan pemerintahan yang condong ke komunis. Padahal Presiden Sukarno sudah menjelaskan pendapatnya mengenai politik luar negeri Indonesia kepada John Foster Dulles:

Kami tidak ingin meniru Uni Soviet, juga tidak akan mengikuti jalan kaku yang telah dibuat oleh Amerika Serikat untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok. Tetapi, sikap politik non-blok ini mudah sekali disalahartikan oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat hanya suka kepada Indonesia, jika Indonesia sepenuhnya sejalan dengan Amerika Serikat. Kalau Indonesia tidak sepenuhnya sejalan dengan Amerika Serikat, Indonesia secara otomatis dimasukkan dalam blok Uni Soviet. …dijawab oleh John Foster Dulles, bahwa “Politik Amerika Serikat bersifat global. Anda mesti memihak yang satu atau yang lain. Sikap netral itu tidak bermoral. (Adam, 2011: 335)

           

            Kekhawatiran yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat sangat berlebihan mengenai melebar nya pengaruh komunis di Indonesia. Padahal dalam pemilu tahun 1955, PKI hanya menempati posisi keempat dan tidak ada wakilnya yang menempati posisi penting dalam pemerintahan. Menurut penulis, jika Amerika Serikat tidak mau kehilangan pengaruh terhadap Indonesia. Mengapa pada saat Presiden Sukarno menyampaikan maksud meminta bantuan (ekonomi-read) dan dukungan dari pihak Amerika Serikat tidak diberikan? Justru tanggapan yang kurang memuaskan datang dari pihak Amerika Serikat yang tidak berkenan memberikan apa yang diinginkan oleh Indonesia. Begitu pun ketika Amerika Serikat dimintai nasihat mengenai masalah Irian Barat sama sekali tidak ada solusi yang didapat dari kunjungan tersebut. Walaupun pada 5 tahun terakhir, Amerika Serikat memberikan bantuan teknik senilai 14.500 USD, dimana jumlah yang terlalu kecil daripada apa yang diberikan kepada negara Asia lain dalam bentuk bantuan ekonomi (Suara Merdeka, 2 Febuari 1956). 

            Menurut Presiden Sukarno dalam buku Cakrawal Politik Era Sukarno karya Ganis Harsono, bahwa Irian Barat tidak dapat dipecahkan melalui cara diplomasi yang bersifat konvensional, tidak disini (Amerika Serikat), dan tidak pula di PBB. Selain minimnya pihak Amerika Serikat memberikan bantuan ekonomi dan juga lemahnya dukungan dari Amerika Serikat mengenai masalah Irian Barat kepada Indonesia. Menurut penulis hal ini telah menjadi alasan bagi Indonesia untuk mencari dukungan dari negara lain yang bisa memenuhi keinginan Indonesia tersebut (mengembalikan status Irian Barat-read). Pihak mana saja bisa diterima oleh Indonesia, baik yang baru merdeka maupun yang sudah maju. Memang jelas tujuan Presiden Sukarno selama di Amerika Serikat adalah untuk memperoleh bantuan ekonomi, militer, dan dukungan untuk menekan Belanda mengenai status Irian Barat. Namun, semua itu tidak didapatkan sama sekali. Inilah yang dalam ke depannya membuat perubahan-perubahan dalam upaya mendapatkan keinginan (dukungan, ekonomi, militer) tersebut berubah condong ke blok timur. Kesan yang diberikan Presiden Sukarno selama berkunjung ke Amerika Serikat, adalah harapan persahabatan yang akrab antara Indonesia dengan Amerika Serikat.


Daftar Pustaka

Adam, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Yogyakarta: Media
Presindo.

Harsono, Ganis. 1989. Cakrawala Politik Era Sukarno. Jakarta: CV Haji Mas agung.

Leifer, Michael. 1989.  Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Suara Merdeka, 2 Febuari 1956

Wardaya, Baskara T. 2008. Indonesia Melawan Amerika Serikat: Konflik Perang
Dingin, 1953-963
. Yogyakarta: Galang press.