Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan fatwa terkait hukum dan dampak game Player Unknown's Battle Grounds (PUBG) dan sejenisnya menurut fikih Islam, informasi teknologi, dan psikologi, Rabu (19/6). MPU Aceh memutuskan bahwa hukum bermain game PUBG dan sejenisnya adalah haram.
Fatwa itu dikeluarkan setelah melakukan kajian dan dengar pendapat bersama pakar Informasi dan Teknologi (IT), psikolog, dan ahlih Fikih Islam secara mendalam saat sidang paripurna Ulama ke-III Tahun 2019 selama dua hari.
Menurut Wakil Ketua MPU Aceh Tgk Faisal Ali, pertimbangan MPU Aceh mengeluarkan fatwa haram terhadap PUPG dan sejenisnya itu karena hasil kajian pakar dan ahli bahwa permainan game online itu dapat mengubah perilaku dan menggangu kesehatan.
Kita hormati dan apresiasi para ulama Aceh yang telah bermusyawarah untuk mufakat. Keputusan ini bisa jadi disambut gembira para orang tua maupun istri yang suaminya kecanduan permainan PUBG dan sejenisnya. Apalagi argumen yang mendasari keputusan ulama Aceh bukan hanya dari sisi fikih namun juga dari sisi sosial.
Saya menyambut gembira keputusan ini. Bukan karena saya tidak bermain permainan tersebut, akan tetapi ada beberapa hal yang saya sepakat. Misalnya soal anak-anak pencandu permainan tersebut yang labil emosinya. Bahkan di India, seorang remaja bunuh diri karena dilarang bermain permainan PUBG (Kompas).
Meski demikian, kita harus meneliti lebih lanjut apakah game online tersebut penyebab utama bunuh diri remaja tersebut atau bukan. Kemudian harus dikaji pula apakah bermain permainan tersebut benar dapat mengakibatkan kecanduan, diikuti dampak negatif lainnya, seperti malas belajar misalnya.
Lebih maju dari Aceh, pemerintah Nepal malah telah melarang bermain PUBG. Bahkan mereka mendesak provider memblokir server PUBG.
Benarkah permainan tersebut sangat berbahaya sehingga harus dilarang? Saya kebetulan tidak memiliki data yang valid sebagaimana MPU Aceh menguraikan alasan mereka mengharamkan PUBG dan sejenisnya.
Fatwa ulama memang tidak memiliki kekuatan hukum negara. Boleh ditaati oleh muslim, boleh juga tidak. Terbukti sudah berapa banyak fatwa ulama yang hanya diketahui tanpa dipatuhi. Beda apabila regulasi diterbitkan oleh pemerintah. Karenanya, ulama Aceh dapat mengajukan fatwa tersebut kepada pemerintah Aceh dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh).
Fatwa ulama Aceh, menurut saya, tidak memiliki pengaruh signifikan. Para pemain PUBG akan tetap melanjutkan hobinya tersebut.
Kalau argumen fatwa tersebut menyebutkan anak akan labil emosinya, tentu akan mudah terbantahkan. Karenanya, fatwa Ulama Aceh terkait PUBG dan sejenisnya perlu tindak lanjut lebih maju atau fatwa tersebut akan senasib dengan fatwa-fatwa sebelumnya.
Para pemain permainan PUBG di Aceh juga tampak biasa saja menanggapi fatwa tersebut. Bagi mereka, asalkan dapat membatasi diri, permainan PUBG sama dengan media sosial lainnya. Bahkan dampak destruktif media sosial akhir-akhir ini lebih dahsyat, mulai kasus perselingkuhan hingga bentrok fisik. Malah kementerian sampai membatasi akses media sosial saat jelang dan aksi 21-22 Mei yang lalu.
Saya sedikit cerita, teman saya malah menemukan jodohnya ketika ia aktif bermain PUBG. Ia juga mampu mengatur waktu antara games, keluarga, dan kerja. Barangkali pembatasan terhadap anak usia belajar itu yang harus menjadi fokus fatwa ini. Dan perlu peran dari orang tua agar anak-anak mereka tidak kecanduan permainan PUBG dan sejenisnya.
Kecanduan pada umumnya dapat terjadi pada apa pun. Dampaknya tetap sama, selalu negatif.
Subtansi kecanduan adalah ketergantungan. Kalau ada daerah yang kecanduan anggaran desa, misalnya, mereka akan sulit mandiri karena selalu menggantungkan program dari anggaran desa. Dan kecanduan-kecanduan lain yang kiranya memang tidak baik.
Saya kira fatwa haramnya permainan PUBG dan sejenisnya subtansinya kecanduan. Bila tidak candu tentu tidak masalah. Barangkali ulama Aceh bermaksud mencegah sekaligus menghentikan orang-orang yang candu pada permainan itu. Sebagaimana saya ungkapkan di atas, fatwa ulama Aceh tidak memiliki kekuatan hukum negara.
Itu artinya, fatwa ulama Aceh terkait PUBG dan sejenisnya lemah. Kecuali Pemda maupun wakil rakyat Aceh menindaklanjutinya dengan produk hukum daerah (qanun). Meskipun menurut saya masih banyak qanun yang lebih urgen dan krusial. Bukan berarti qanun PUBG tidak penting, akan tetapi masih banyak qanun lain yang prioritas.
Jadi mengapa ulama Aceh mengharamkan PUBG dan sejenisnya padahal MUI belum menfatwakan haram? Tentu saja pertimbangan mudarat dan manfaat menjadi landasannya.
Namun, sebagaimana saya katakan di atas, nasib fatwa ini tak jauh beda dengan nasib fatwa-fatwa sebelumnya. Sulit dipatuhi, apalagi masih tersisa ruang diskusi panjang.
Fatwa yang tidak memiliki hak mengikat membutuhkan peran masyarakat, terutama para dai dan ustaz untuk menyosialisasikan keputusan ulama ini. Meski umumnya patuh pada ulama, akan tetapi para pemain PUBG dan sejenisnya di Aceh memiliki dalil untuk menolak fatwa tersebut.
Fatwa MPU Aceh membutuhkan dukungan dari masyarakat. Para tokoh gampong (kampung) agar memiliki kekuatan moral. Minimal warung-warung kopi di Aceh tidak lagi dipenuhi para pemain PUBG.
Sepakat atau tidak, MPU Aceh sudah memutuskan bahwa PUBG dan sejenisnya haram. Bagaimana dengan MUI daerah lain, termasuk MUI pusat?