“Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik."

Ki Hadjar Dewantara~


Tolok ukur sebuah keberhasilan dalam pembelajaran bagi murid seolah sudah dipaku mati oleh guru sejak dulu. Masih segar di ingatan, bagaimana kepintaran semua murid di kelas saya saat itu diukur dari kecakapannya dalam berbahasa Inggris atau kepiawaiannya dalam memecahkan soal-soal matematika, yang rumit bagi saya.

Tak sampai di situ saja, pendidikan hari ini juga sudah dianggap sebagai pabrik dalam paradigma masyarakat. Dalam tingkat tertinggi, jika anak sudah lulus dari sebuah universitas, dia seharusnya mendapatkan pekerjaan mapan dengan gaji yang memadai. Setelah itu tercapai, barulah ia dicap sebagai anak yang makan bangku sekolahan. Nyata tapi aneh. Pendidikan tertindih oleh banyaknya tuntutan keluarga, guru dan masyarakat. Tidak ada kemerdekaan di sana.

Padahal kita tahu, sebagaimana juga diilustrasikan dalam filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, bahwa murid datang ke sekolah seperti tumbuh-tumbuhan. Jagung, tebu, padi dan rambutan, semua istimewa dan bisa menjadi versi terbaik dari apa adanya dirinya. Pertanyaannya adalah, seyogianya siapa yang harusnya memiliki peran untuk membangun kesadaran bahwa setiap murid itu spesial? Tidak lain tidak bukan, yakni guru.

Jika saya berkaca pada pengalaman saya ketika saya di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP), tidak ada apresiasi yang berarti bagi saya sebagai seorang murid yang memiliki potensi yang berbeda dengan yang lain. Guru masih saja memiliki satu prinsip yang sama; bahwa murid yang pintar adalah murid yang bisa begini dan begitu, selain itu salah.

Bayangkan, lazimnya murid yang pintar di satu kelas jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jika guru fokus pada mereka saja, dengan dalih “saya hanya mengajari siapa yang mau belajar materi saya saja,” apa jadinya murid yang dianggap tidak mau belajar ini? Ah, hakikat pendidikan kan untuk memanusiakan manusia. Ya, benar, namun realitas di akar rumput tidak selalu demikian. Miris.

Jika pola-pola praktik pendidikan semacam ini terus dibudayakan dalam pembelajaran di ruang kelas, tidak menutup kemungkinan siswa akan mengalami krisis kepercayaan diri hingga krisis identitas.

Pertama, jika guru membuat satu standar bahwa siswa yang pintar yakni mereka yang paham matematika, maka jangan salahkan jika murid bisa saja beranggapan bahwa dirinya bodoh. Tidak pintar dalam persoalan matematika membuatnya merasa begitu bodoh pada semua hal.

Kedua, jika ini sudah terjadi, mereka akan kebingungan melihat dirinya sendiri. Assumption is the mother of confusion, karena asumsi-asumsi yang tercipta di lingkungannya tadi, dia akan bingung dengan dirinya sendiri, ketertarikannya dan passion-nya.

Maka jangan terkejut, 87% mahasiswa mengaku salah jurusan dalam sebuah survei yang telah dilaksanakan oleh Indonesia Carrer Center Network (ICCN).

Sebuah rutinitas yang tidak menyenangkan jika kita menjalani sesuatu yang tidak kita sukai. Namun karena memenuhi standar sosial, mereka mengorbankan kebahagiaan bahkan kemerdekaannya dalam belajar.

Bukankah secara filosofi, Ki Hadjar Dewantara meletakkan kata "Taman" di Taman Siswa untuk memberi tanda bahwa dalam pendidikan kita harus bahagia?

Kembali kepada ujung tombak pendidikan, guru, seharusnya kembali ke hakikat sebagai penuntun dalam pendidikan sebagaimana yang diimpikan Ki Hadjar Dewantara. Menuntun setiap murid dalam menumbuhkan kesadaran atas potensi murid dan mengembangkannya hingga tahap versi terbaiknya.

Artinya, guru sangat memegang peran krusial untuk menuntun murid mengenal realitas dirinya sendiri, meliputi kekuatan dan kelemahannya. Penting untuk digaris-bawahi bahwa pastikan tidak ada penghakiman atas kelemahannya atau apa pun yang dia minati, yang ada adalah sosok yang setia untuk menuntun murid menemukan potensinya dan mengembangkannya lewat diskusi dan metode-metode yang memungkinkan itu tercapai.

Sosok guru seperti inilah yang dirindukan kehadirannya hari ini, mereka yang mau mendengar murid bahkan mereka yang mau belajar dari pengalaman murid, karena bagaimana pun, mungkin saja, pengalaman yang dialami murid tidak pernah dirasakan guru. Inilah pentingnya mendengar, menghindarkan kita dari penghakiman-penghakiman yang bisa saja merusak mental seorang murid.

Sebagaimana juga yang disampaikan Friere, bahwa guru dan murid adalah dua subjek yang duduk bersama membahas realitas (pembelajaran) bersama-sama. Ada ruang yang diberi untuk murid untuk berbicara, berekspresi dan bertumbuh sebagaimana yang mereka ingini dan senangi.

Dengan begini, murid tidak akan berpikir bahwa mereka belajar dan mengenyam pendidikan karena dituntut oleh permintaan keluarga, lingkungan bahkan guru itu sendiri. Mereka akan merdeka sejak dalam pikiran. Walau di sisi lain, jika pada akhirnya tuntunan yang diberikan kepada mereka, bisa saja tidak sesuai dengan keinginan kita sebagai pendidik dan memilih pilihan yang lebih mereka senangi. Selama itu bermanfaat.


Oleh karena itu, untuk kita selaku pendidik, ingat penggalan kalimat dari konsep filosofi Ki Hadjar Dewantara, “Hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik."(*)