Sejak kabar kunjungan Raja Arab Saudi terdengar hingga tiba di Indonesia, tanah air jadi geger, komentar saling bersautan, celaan dan pujian tidak hanya datang dari alam nyata bahkan dari alam gaib, semua muncul ke permukaan laksana benih kehujanan, dari yang pro, yang kontra hingga yang sekadar iseng ikut berpastipasi dalam perang median, tidak tahu siapa yang jadi musuh, yang pasti itulah gegap gempita penyambutan wong agung dari tanah Hijaz.
Fakta dari kunjungan pembesar arabia, melakukan kerjasama dan menginvestasi sebagian kekayaannya , katanya untuk memperkuat persaudaraan dan membantu pembangunan Indonesia. Tetapi yang menjadi masalah, kenapa harus datang sendiri untuk sekadar mengikat kerja sama?
Apakah di negeri Arab sudah tidak ada yang cakap dalam diplomasi? Atau menganggap Indonesia sebagai negara yang menjanjikan untuk masa depan Arab sehingga merasa kurang yakin kalau cuma mengandalkan utusan? Kita masih ingat ketika penjelajah Belanda datang berkunjung ke Nusantara dari cuma berdagang hingga berakhir dengan penjajahan.
Saat pertama tiba, Belanda memasang muka ganas, menyebabkan pengusiran oleh warga pribumi, kita orang Indonesia kurang suka pada kekerasan, wajar kalau diusir. Maka, setelah mempelajari krakter bangsa kita, Belanda datang dengan muka bersahabat dengan kepentingan yang sama, dengan cara tersebut Belanda disambut dengan hangat dan muka yang sumringah tampa mengetahui maksud sebenaranya.
Lain Belanda lain pula Arab Saudi, mereka datang dengan cara berbeda, lebih halus dan lebih ramah, menandakan muslim sejati, munkin berbeda tujuan, tetapi maksudnya hampir sama. Datang dengan nama kerjasama dan investasi (tidak berdagan, tetapi memberi modal), wajarlah diterima dengan super terbuka, sebagai sesama muslim, siapa yang mau menolak niat baik dari saudara seagama.
Kerja sama pun langsung terjalin, tidak tanggung-tanggung terdapat banyak kesepakatan (tidak usah disebut takut salah) terlebih ada investasi yang lumayan menjanjikan. Tetapi, ini awal dari penjajahan baru dengan cara yang lebih kalem, dari yang cuma kerjasama nanti berubah mengerjai sesama, karena dalam kesepakatan ini tidak akan ada yang namanya sama kerja.
Pada saat China datang berinvestasi, semua membenci, maaf saya tidak lagi pro China, tetapi inilah faktanya, mungkin cara investasi China yang konvensional, sehingga dicibir banyak orang, lalu kenapa investasi Arab mudah sekali diterima? Karena caranya lebih syariat atau karena tidak ada unsur riba padahal tidak ada logo halalnya.
Apapun namanya ketika negara lain melakukan investasi atau perdagangan, hasilnya sama, yang untung pemberi investasi, Indonesia sendiri seperti ladang, sudah cukup bahagia kalau tidak gersang, apa lagi rakyat jelata pasti senang, padahal merekalah yang akan membajak ladangnya.
Lantas apa bedanya dengan China atau Belanda? Tidak ada, cuma caranya yang beda dan cara memperlakukan pekerja yang beda, kalau dulu dipaksa, sekarang tidak karena antara China dan Arab harus menjadi yang terbaik agar tidak tidak dianggap the next Belanda, ini cukup memberi angin segar untuk masyarakat yang suka bekerja, maklum Indonesia sarang pengangguran, kalau ada pekerjaan pasti disikat.
Yang menarik dari kesepakatan kedua negara, ketika Presiden Indonesia meminta Raja Arab untuk melindungi para TKI di Negeri Arab, artinya mereka mendapat jaminan keamanan, sebab sering terjadi penyiksaan pada TKI. Kalau faktanya seperti itu, berarti negara sangat senang warganya jadi babu di negeri lain, kemungkinan memang tidak ada niat untuk memberdayakan kualitas hidup warganya atau tidak ingin para TKI pulang ke negaranya.
Alasannya sederhana, kalau sudah ada investasi dari Arab Saudi dan tidak berniat memberdayakan warganya, kenapa tidak disuruh bekerja di negerinya sendiri, minimal mengembangkan uang investasi atau jadi buruhnya pengelola uang investasi itu, toh hasilnya sama, namanya juga sama, "pekerja", paling tidak merasa bangga sebaga warga negara yang bekerja di negaranya sendiri sambil lalu bisa bertemu keluarganya.
Jadi, apa gunanya kerja sama dan uang yang diinvestasikan? Kalau para TKI masih bekerja di luar negeri, lalu siapa yang akan menikmati hasil kerja sama dan uang investasi kalau bukan warga Indonesia? Atau malah sengaja menambah masa penjajahan, dengan memperbudak warga pribumi di negaranya sendiri, dan menutup jalan pulang para TKI.
Lalu apa yang harus dibanggakan dari kunjungan Raja Arab Saudi, dengan sekadar kunjungan dan kerja sama tanpa ada perubahan dari nasib rakyat, sama saja dengan melucu malah melabeli Indonesia sebagai negara yang bergantung dan tidak punya harga diri. Sudah diberi modal, tetapi para TKI tetap bekerja di rumah pemodal. Aneh bukan?
Saya tidak berbicara tentang Islam, meski yang berkunjung Raja Negara Islam, karena Islam melarang mengambil manfaat dari saudaranya, tetapi ini masalah negara, sudah pasti untuk kepentingan, dan kalau negara adalah rakyat, negara harus memperhatikan nasib rakyat. Dengan kerja sama yang baik, tidak hanya memperhatikan para pemangku negara, rakyat kecil utamanya TKI juga ingin bangga menjadi bagian dari negara.
Saat ini, para elite negara sudah bangga dengan hasil semu, merasa telah menjadi pahlawan, padahal kenyataanya tidak semua menikmati. Rakyat kecil tetap saja rakyat kecil, yang TKI tetap saja jadi TKI bahkan bertambah, yang nganggur malah makin memperihatinkan. Jadi investasi apa gunanya? Lalu kerja sama apa untungnya? Sekadar bekerja di negaranya saja dilarang. Sebagai rakyat jelata, perhatian negara sudah cukup, apa lagi diberi pekerjaan.
Kalau warga Indonesia tidak punya keterampilan, tidak patut dijadikan musuh negara dan dipaksa jadi TKI, paling tidak berilah pendidikan yang cukup, karena rakyat Indonesia tidak terlalu bodoh, negara saja yang mungkin memaksa bodoh.
Kembali ke kerja sama Arab Saudi-Indonesia, sekarang mungkin merasa bangga, tetapi apakah kebanggaan itu akan berjalan sedemikian lama? Bukankah dulu Belanda memulai dengan kerja sama yang baik dan berakhir dengan penjajahan. Ini yang perlu menjadi kekhawatiran, dari kerja sama ini, rakyat yang tidak tahu apa-apa malah menjadi tumbal, dan dipaksa menerima kerja sama tanpa bisa berpikir apa akibatnya.
Inilah akibat dari kelembutan orang Indonesia, selalu menilai dengan baik. Apapun yang dikasih kalau dengan cara halus pasti diterima, maskipun ada unsur kepentingan dan pejajahan. Semoga niat baik tetap menjadi baik dan niat baik selalu dibarengi sifat waspada.