Dahulu, kemampuan berpikir manusia hanya sampai taraf empiris. Manusia melihat gejala alam, kemudian merenungkan mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi. Mula-mula, manusia mengaitkan peristiwa itu dengan hal-hal yang berbau mitos, seperti dewa-dewa di tradisi Yunani kuno, atau berbagai dewa di Mesir kuno.
Karena manusia adalah makhluk yang tak pernah puas dengan apa yang sudah ada, mitologi pun digugat. Maka lahirlah filsafat, yang menggugat segala hal yang tidak masuk akal. Filsafat pun terus berkembang, dan akhirnya semakin tumbuh melahirkan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan menggabungkan ranah empiris dan rasionalis. Empirisme diperlukan untuk validasi suatu hipotesis, sedangkan ranah rasionalis diperlukan untuk mengvalidasi secara logika deduksi matematis. Kedua ranah ini saling bahu-membahu membangun dirinya sendiri hingga sampai pada tahap sains modern seperti yang sudah kita lihat dewasa ini.
Namun sains berjalan sedemikian jauh, sehingga dalam ranah teoritis, terutama fisika teoritis, muncul berbagai teori-teori yang agak gila dan tidak masuk akal, yang mana sampai saat ini belum ditemukan metode untuk membuktikan hipotesis tersebut, seperti teori alam semesta parallel, teori alam semesta hologram, dan teori superstring yang mana membutuhkan adanya dimensi-dimensi tinggi agar teori ini eksis. Dan yang menarik bagi saya adalah tentang alam semesta paralel.
Teori alam semesta paralel adalah teori yang mengatakan, bahwa alam semesta yang kita diami saat ini, hanyalah satu dari tak berhingga banyaknya alam semsta-alam semesta lain yang melayang-layang di ruang berdimensi lebih tinggi. Jika dibayangkan, maka ibarat gelembung-gelembung sabun saat kita mencuci pakaian. Tiap gelembung sabun adalah alam semesta tersendiri, yang eksis di dalam ruang berdimensi empat.
Dan tiap gelembung tersebut, adalah terpisah satu sama lain. Teori ini mampu menjelaskan mengapa alam semesta kita sedemikian teratur sehingga dapat memunculkan makhluk cerdas manusia, yang mana sehingga manusia dapat bertanya balik "kenapa alam semesta seperti ini sehingga dapat menyokong kehidupan yang mana memunculkan manusia yang bertanya pertanyaan yang sedang saya pikirkan ini?".
Ya, sebuah pertanyaan yang barangkali jarang terbesit dalam pikiran-pikiran orang, karena sudah terlalu lumrahnya, seperti mengapa sifat dari gravitasi adalah tarik menarik? Mengapa berat partikel atomik sedemikian rupa sehingga mampu membentuk berbagai unsur? Mengapa perbandingan diameter dan keliling adalah pi? Mengapa konstanta gravitasi nilainya adalah sekian? Mengapa hukum fisika berbentuk demikian? Mengapa tidak yang lain? Dan mengapa-mengapa yang lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang mempertanyakan hukum alam semesta secara fundamental. Jika sifat dari gravitasi adalah tolak menolak, niscaya sejak awal big bang, alam semesta sudah kolaps, sehingga tidak ada kehidupan. Jika berat dari tiap partikel atomik dan sub atomik berbeda sedikit saja dari apa yang ada sekarang, niscaya tak akan terbentuk unsur-unsur fundamental seperti air, udara, helium, hidrogen, dll.
Jika konstanta gravitasi nilainya berbeda sedikit saja dari apa yang sekarang, barangkali alam semesta akan mengembang dengan sangat cepatnya, sehingga tidak sempat muncul kehidupan, atau malah langsung kolaps menjadi titik singularitas kembali.
Namun pertanyaannya, mengapa hukum alam sedemikian indah dan teratur, sehingga segalanya tampak pas dan dapat menghasilkan alam semesta yang sekarang sedang kita diami dan fikirkan ini? Maka pertanyaan ini dapat dijawab dengan teori alam semesta paralel tadi. Bahwa sebenarnya alam semesta yang kita tinggali ini adalah satu dari tak terhingga banyaknya kombinasi properti alam semesta yang lain. Barangkali analogi yang mudah adalah jika kita membayangkan bumi.
Mengapa bumi memiliki kehidupan? Adalah karena bumi hanyalah salah satu dari sekian banyak planet di tata surya, yang kebetulan memiliki kondisi yang pas untuk menyokong kehidupan, karena di luar sana banyak sekali planet yang secara random pula berada di kondisi yang tidak memungkinkan munculnya kehidupan.
Jadi, munculnya kehidupan di bumi adalah suatu kebetulan belaka dari sekian banyak "trial and error" penciptaan planet. Atau analogi lainnya, jika anda mengocok secara acak setumpuk kartu, dan mengambilnya secara random dalam frekuensi pengambilan yang sangat banyak, pasti paling tidak anda secara kebetulan akan memperoleh kartu joker, yang mana itu hanyalah kebetulan dari banyak sekali trial and error.
Maka seperti itu lah mengapa alam semesta yang kita huni sekarang ini memiliki properties sedemikian. Karena alam semesta yang kita huni ini hanyalah satu dari tak berhingga alam semesta lain yang ada secara random. Di alam semesta yang lain, bisa saja nilai konstanta gravitasinya lebih besar dari kita, atau gravitasinya tolak menolak, atau nilai pi tidaklah 3.14.... Pada tiap alam semesta paralel, segala kombinasi property alam semesta eksis, dan alam semesta kita adalah salah satu yang memiliki kombinasi random yang pas, sehingga mampu menyokong kehidupan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, di mana peran Tuhan? Dalam agama-agama dunia, bukankah Tuhan adalah Realitas Mutlak Tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dengan sempurna dan seimbang? Sedangkan mekanisme penciptaan alam semesta di atas mengartikan bahwa Tuhan mencipta alam semesta secara "trial and error".
Atau malah menurut kaum ilmuwan new atheist seperti Richard Dawkins dan Lawrence Krauss, itu menandakan bahwa alam tercipta dengan sendirinya secara random tanpa membutuhkan peran Tuhan. Bukankah teori semacam itu artinya membunuh eksistensi dan kemampuan Tuhan?
Dalam agama saya, Islam, sudah jelas diterangkan bahwa Allah adalah sebaik-baik Pencipta, yang mana ciptaanNya sedemikian seimbang sehingga jika kita mencari kelemahan ketidakseimbangan, kita akan lelah sendiri mencarinya (Al Mulk, 3-4). Namun tentu saya tidak akan secara langsung menyalahkan bahwa teori alam semesta paralel tersebut salah.
Karena saya belum tahu seluk beluk teori tersebut, karena saya bukan ahlinya, dan karena teori tersebut dikembangkan oleh ilmuwan-ilwuman jenius yang ahli dalam bidangnya, dan sudah terbukti secara matematis. Dan pembuktian secara matematis adalah benar secara logis, namun belum tentu benar secara realistik. Dan tentu ilmu pengetahuan terus berkembang. Bisa saja suatu saat teori tersebut berubah, atau dimodifikasi, atau barangkali pemahan kita tentang Tuhan dan ciptaanNya yang keliru?
Jika para ilmuwan ateis menggunakan argumen di atas untuk menyangkal adanya Tuhan, bisa saja para teis bertanya lagi, mengapa terdapat mekanisme alam semesta paralel? Siapa yang menciptakan mekanisme tersebut? Pastilah ada pencipta mekanisme random tersebut. Tidak mungkin alam semesta yang random tersebut muncul dari ketiadaan secara tiba-tiba. Dan begitulah, debat antara teis dan ateis yang tak pernah bertemu ujung. Manusia adalah nisbi, dan Tuhan adalah Yang Maha Mutlak.