Sebagai perwujudan hidup dan karya pastoral di wilayah Baipito terhadap misi yang telah dirintis oleh para misionaris terdahulu, pada tahun 1937 ditugaskannya seorang misionaris berkebangsaan Belanda ke Baipito.

Dia adalah Pater Johanes Krol, SVD,  yang kemudian akrab disapa dengan Tuan Krol oleh orang Baipito. Sebetulnya dia tidak asing lagi bagi orang-orang di depan gunung, karena sebelumnya Tuan Krol bertugas di wilayah Waibalun.

Tuan Krol tiba di tanah Baipito dan menetap di Riangkemie seorang diri. Pada waktu itu, meskipun sudah ada kapela yang dibangun oleh pendahulunya, tetapi pada kenyataannya, peradaban iman orang Baipito masih jauh tertinggal.

Tuan Krol mulai bergerak menebarkan "jala" suka cita Allah dari kampung ke kampung, menyusuri lereng Ile Mandiri yang belum banyak dijamah oleh tangan manusia, menambah daya juangnya untuk membangun peradaban iman orang Baipito semakin membara.

Untuk memuluskan misinya, Tuan Krol pada awal-awal kehadirannya di Baipito, ia lebih memilih membaur dengan tokoh-tokoh adat di setiap kampung (ata kebelen), yang sesuai tradisi budaya Baipito, mereka cukup disegani. 

Di sanalah, ia belajar banyak tentang kebudayaan Baipito dan perlahan namun pasti, mulai mewartakan kabar suka cita kepada umatnya. Dengan begini, Tuan Krol kemudian mampu menginfiltrasi ajaran Gereja Katolik melalui kebudayaan.

Tuan Krol sungguh menyadari, bahwa kebudayaan itu akan mampu menggairahkan  kehidupan spritualitas manusia untuk menemukan Yesus Kristus. 

Melalui kebudayaan pula, manusia dapat  meningkatkan kecerdasannya untuk bertahan hidup dalam iman akan Yesus Kristus.

Dan dalam kebudayaan, manusia akan menolong dirinya sendiri untuk berkreasi, serta akan memampukannya untuk menemukan konsep membangun lewo (kamung). Sehingga pada akhirnya kebudayaanlah yang akan membawa manusia untuk menemukan makna hidup itu sendiri. 

Oleh karena itulah, dengan metode pendekatan persuasifnya yang tulus, Tuan Krol secara totalitas mencurahkan  seluruh daya upayanya demi karya pastoralnya dalam budaya Baipito. 

Menurut tuturan orang Baipito yang pernah hidup di zamannya, bahwa metode pendekatan Tuan Krol dalam karya pewartaan pastoralnya selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi umatnya. 

Ia kemudian berhasil membangun sebuah gedung gereja Baipito di Riangkemie secara gotong royong, dengan corak dan arsitektur gaya Eropa, untuk menggantikan kapela yang dibangun oleh Pater Enninga, SVD yang telah terbakar pada tahun 1940, supaya orang Baipito dapat merayakan Ekaristi secara baik. 

Cerita pembangunan gedung Gereja Baipito ini, penuh misteri. Mengapa? Karena meskipun ketersediaan bahan bangunan maupun transportasi yang sangat sulit waktu itu,  tetapi bahan bangunan tetap tersedia tepat waktu. Hal inilah kemudian Tuan Krol disebut sebagai pastor yang mempunyai kekuatan doa tersendiri.

Tidak hanya menyediakan gedung gereja yang megah sebagai sarana bagi umat untuk merayakan Ekariati,  namun dalam rangka mengembangkan semangat umat untuk berdevosi kepada Bunda Maria, ia kemudian melahirkan gagasan, lantas membentuk Kontas Gabungan  bagi umat untuk berdoa Rosario di komunitas basis, berikut  lagu-lagu rohani berbahasa lamaholot khas Baipito, hasil gubahannya. Tuan Krol sungguh menginkulutrasi ajaran Gereja Katolik terhadap budaya Baipito yang hidup dan berkembang ketika itu.

Pada masa-masa menjelang  berpindah tugas,  Tuan Krol pada tahun 1967 - 1971, dalam pelayanan karya pastoralnya, ia dibantu oleh Pater Yohanes Kopong Keda, SVD dan Pater Markus Senda, SVD. 

Ada satu hal yang mesti dicatat, bahwa Kerasulan Tuan Krol tidak hanya sebatas pewartaan ajaran Gereja Katolik,  namun  dari itu, dalam upaya meningkatkan kecerdasan anak-anak Baipito, ia kemudian menggagas, lantas membangun sekolah non formal bernama Sekolah Usaha Tani (SUT) di Mudakeputu. 

Menurut Bapak Yos Ketolek Piran, SUT didirikan oleh Tuan Krol, pada tahun 1970, bertujuan sebagai wadah pendidikan dan pelatihan  bagi anak-anak muda Baipito di bidang pertanian. Namun kemudian dalam perkembangannya, melalui kesepakatan orang tetua Baipito, SUT diubah statusnya menjadi sebuah lembaga pendidikan formal bernama SMPK Baipito  sampai hari ini.

Kisah cinta seorang Tuan Krol kepada orang belakang gunung (Baipito) harus terhenti pada  tahun 1977, setelah  memposisikan dengan benar peran kebubudayaan untuk mencengkram nilai-nilai ajaran Gereja yang luar biasa di tanah Baipito. 

Tuan Krol, pada malam sebelum paginya  harus berpamitan, ia berpesan kepada orang Baipito dan uniknya, mengabadikan amanatnya itu diabadikan pada dinding gedung gereja karya tangannya.

Inilah pesannya;

"Keba Baipito-Nara Ledulema//Todi Baat Allah Teti Kelen Tukan//Todi Ribit Bapa Teti Kowa Lolon//Allah Naran poton pana//Bapa Maken Sogan Gawe."

(Wahai orang Baipito ...

Bersujudlah hanya kepada Allah yang Maha Tinggi dan hanya nama Allah senantiasa dimuliakan!)

Tuan Krol harus kembali ke negeri asalnya Belanda, sehingga pastor misionaris yang bertugas di Baipito igantikan oleh Pater Tom Cahill, SVD, berkebangsaan Irlandia sampai tahun 1985, dan selanjutnya karya pastoral di Baipito (sekarang menjadi salah satu paroki di wilayah  Keuskupan Larantuka, bernama Paroki St. Yoseph Riangkemie) dilanjutkan oleh para pastor pribumi.***