Eksistensi transgender di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bukti-bukti tertulis dalam cerita, maupun penemuan para arkeolog pra sejarah telah menciptakan sebuah mozaik indah dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Misalnya, apa yang direpresentasikan dalam Ardhanarishvara, atau Ardhanary yang patungnya dapat kita lihat di Museum Nasional jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. 

Nama Ardhanarishvara memiliki arti Dewa dengan dua tubuh, setengah tubuh perempuan dan setengah tubuh laki-laki sebagai simbol “kesempurnaan, kesatuan yang tak terpisahkan, lengkap dalam dirinya (laki-laki dan perempuan)” yang mencakup pula maskulinitas dan feminitas (Goldberg: 2002, hlm. 8).

Temuan lainnya mengenai keberadaan transgender, misalnya dapat kita jumpai di Bali, di Candi Pura Dalem Sangsit. Di sana ada klungkung atau ukiran mengenai Bima swarga; Bima di surga, yang merupakan epik dari Mahabharata. 

Dalam ukiran tersebut diceritakan Bima melakukan perjalanan menuju surga untuk mencari ayahnya dan mengajaknya kembali ke bumi. Untuk mencapai surga, Bima harus melewati lapisan langit, tempat penghukuman orang-orang yang berdosa. Di antara lapisan langit tersebut ada satu ruangan yang dihuni oleh laki-laki berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki. 

Orang-orang tersebut tidaklah mendapat hukuman. Ketika Bima bertanya mengapa mereka tidak dihukum, malaikat yang menemani Bima berkata bahwa mereka tidak berdosa, mereka hanya terlihat berbeda dari manusia lain pada umumnya. Mereka ditempatkan di ruangan itu untuk menunggu dikirim ke surga setelah proses penghukuman kepada orang-orang yang berdosa selesai. (Agustine, dkk.: 2015, hlm. 49)

Di Sulawesi Selatan, selama ratusan tahun dalam teks-teks klasik suku Bugis, tradisi laki-laki yang bertindak sebagai perempuan (calabai) dan perempuan yang bertindak sebagai laki-laki (calalai) juga telah tercatat. Di Jawa juga terdapat istilah wandu, sebutan untuk laki-laki yang berpakaian dan berperilaku seperti perempuan atau sebaliknya.

Pada tahun 1948, ada perempuan di Sulawesi Selatan yang memiliki potongan rambut seperti perempuan tetapi mengenakan sarung seperti laki-laki dan bekerja sebagai petani. Pada abad ke-20 di Sulawesi Tengah ada laporan bahwa tiga perempuan yang ‘menjadi’ laki-laki menikah dengan perempuan. Mereka lebih senang dipanggil ‘paman’ dan akan marah jika seseorang memanggilnya ‘bibi’. Perempuan-perempuan tersebut sering dipanggil bante, atau banci. (Wieringa & Blackwood: 1999, hlm. xxxv)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keberadaan transgender dengan keberagaman sebutan atau istilah yang merujuk pada identifikasinya telah ada di Indonesia untuk waktu yang amat lama. Pada masa tersebut, transgender mendapatkan ruang yang sama untuk bersama-sama hidup dalam sebuah kelompok masyarakat. 

Berbeda dengan masa sekarang, transgender hampir tidak mendapatkan ruang dalam struktur masyarakat untuk menjalani kehidupannya sebagai masyarakat, bahkan manusia. Hal tersebut juga terjadi sampai pada struktur terkecil seperti keluarga. Jika sebuah keluarga mengetahui salah satu anggota keluarganya adalah seorang transgender, maka mereka akan merasa malu karena hal tersebut dianggap aib.

Perubahan cara pandang terhadap diskursus transgender ini sesungguhnya tak dapat dilepaskan begitu saja dari pembahasan seksualitas, karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi, bahkan kekerasan yang dialami oleh kalangan transgender.

Seksualitas yang dimaksud di sini memiliki makna yang luas, yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi. 

Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan. Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual. (Berdasarkan definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).

Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikirannya tentang seksualitas pada aliran esensialisme, dan kelompok yang lain pada sosial konstruksionisme. (Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan).

Kelompok esensialis meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki-maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.

Sebaliknya, dalam pandangan sosial konstruksionisme, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair. 

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Judith Butler, bahwa gender sangatlah cair, gender memungkinkan berubah daripada mengasumsikannya, sehingga seseorang yang tidak nyaman dengan gender tertentu bebas mengubahnya, sesuai dengan keinginan dirinya. 

Dalam hal ini dengan tegas Butler mengatakan bahwa gender dapat dimainkan secara bebas, gender sama sekali bukan bawaan, gender merupakan dasar dari gesture-gestur yang ditampilkan di atas tubuh. Argument ini menjadi dasar bahwa gender sebetulnya berada di luar tubuh atau karakteristik biologis. (Agustine, dkk.: 2015, hlm. 51).

Selain itu, merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual.

Pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. 

Selain itu, pandangan tersebut mendapatkan legitimasi dari ajaran agama yang masuk dan berkembang di suatu masyarkat sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (transgender) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.        

Jawaban atas tubuh

Mengkaji isu transgender tentu tidak bisa begitu saja dilepaskan dari konsepsi atas tubuh/jenis kelamin serta berbagai konstruksi yang dibangun di atasnya. Hal ini juga berakar dari sikap ontologis dari kajian gender itu sendiri. Fausto-Sterling (1993), seorang feminis dan ahli biologi mengatakan bahwa gender tidak dapat mengabaikan tubuh.

Dalam tulisannya yang berjudul The Five Sexes: Why Male and Female Are Not Enough dan The Five Sexes, Revisited Fausto memberikan banyak pemaparan dan contoh yang menarik, misal soal rekayasa jenis kelamin. Bahwa jenis kelamin bisa saja ditentukan oleh konstruksi sosial dan struktur sosial. 

Fausto memberikan sebuah contoh kasus, seseorang lahir dengan jenis kelamin ganda (hemaprodit/interseks) laki-laki dan perempuan, kemudian konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat mempengaruhi struktur sosial yang ada (dalam hal ini keluarga) untuk menentukan jenis kelamin si anak: Jika dalam sebuah kebudayaan tempat seseorang dilahirkan menganggap perempuan lebih menguntungkan, maka keluarga akan lebih memilih menjadikan anak tersebut perempuan dan memotong alat kelamin laki-lakinya. 

Maka pandangan Fausto terhadap contoh kasus di atas adalah, bahwa identifikasi seks atau jenis kelamin tidak hanya ditentukan oleh unsur biologis semata, melainkan juga ditentukan oleh konstruksi masyarakat.

Konstruksi yang dibentuk masyarakat inilah yang kemudian berkembang menjadi identitas umum dan digunakan untuk mengidentifikasi seseorang tersebut. Padahal, konstruksi yang dibangun oleh masyarakat belum tentu sesuai dengan kondisi seseorang tersebut, maka konsep transgender muncul sebagai upaya menjawab pertanyaan atas tubuh.

Tubuh yang menyimpan banyak rahasia atas ketidaknyamanan dan ketidaksesuaian apa yang dimiliki dengan apa yang dirasakan. Perasaan tersebutlah yang kemudian mendorong untuk memunculkan sebuah keinginan berubah melawan pakem konstruksi masyarakat yang membelenggu.

Maka sebagaimana identitas jenis kelamin yang mampu dikonstruksi lewat kesepakatan sosial, transgender barangkali adalah salah satu jalan untuk melawan konstruksi sosial tersebut. Transgender muncul untuk mengapresiasi esensi tubuh.

Kerangka baru

Meski masyrakat telah melakukan sosial kontruksi dalam menentukan seksualitas seseorang, tapi sesungguhnya konstruksi sosial tersebut tetap mengarah pada sesksualitas esensial. Ini terlihat dari apa yang telah Fausto jelaskan di awal, sebuah keluarga bersepakat untuk menentukan jenis kelamin si anak (hemaprodit/interseks) yang baru lahir untuk memilih satu di antara dua yang ada, dan tidak membiarkan si anak memilih apa yang pantas untuk dirinya ketika besar nanti.

Sebuah keluarga tersebut telah berhasil melakukan sosial konstruksi, hanya saja masih terjebak dalam kerangka seksualitas esensial dalam menentukan pilihannya.

Bagi Fausto, hal inilah yang membuat seseorang melakukan transgender dari laki-laki ke perempuan (male to female), perempuan ke laki-laki (female to male) atau maskulin ke feminin, feminin ke maskulin, dst. dengan melakukan perubahan untuk menemukan identity-nya yang hilang.

Maka dari kasus yang dicontohkan oleh Fausto Sterling di atas, nampaknya kita bisa melihat kerangka baru dalam penentuan identitas jenis kelamin, atau aliran baru dalam seksualitas, yakni konstruksionis-esensialisme, sebuah konstruksi sosial tentang seksualitas yang bertujuan untuk mengembalikan orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural. Laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki-maskulin).

Dari sinilah kita tahu bahwa transgender tidak seharusnya dilihat hanya sebagai aib, dosa, atau sebuah kekejian yang harus dijauhi dan diperangi. Bahwa transgender adalah konsep relative, yang terjadi akibat dari pengaruh interaksi banyak faktor, biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual. Dan sebab bagaimana dan apapun juga, penghargaan atas diri sebagai manusia adalah di atas segala-galanya.

Daftar Bacaan:

Agustine, Sri. Dkk, 2015. Diri, Tubuh dan Relasi: Kajian atas Transgender FTM (Female to Male) di Jakarta. Jakarta: Jurnal Perempuan Vol. 20 No. 4 Nov. 2014, Ed. 87.

Goldberg, E., 2002. Lord Who Is Half Woman: Ardhanarisvarain Indian and Feminist Prespective. Albany, NY: State University of New York Press.

Sterling, Fausto, 1993. The Five Sexes: Why Male and Female Are Not Enough. New York: The Sciences

Sterling, Fausto, 2000. The Five Sexes, Revisited. New York: The Sciences

Wieringa, S. & Blackwood, E. (eds), 2009. Hasrat Perempuan: Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktik Transgender di Indonesia. Jakarta: Ardhanary Institute.