Ketika hendak berbicara mengenai penegakan hukum, sudah menjadi hal lazim bahwa yang tergambar dalam pikiran kita adalah sesosok perempuan yang sedang berdiri dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang timbangan.
Sosok perempuan itu tidak lain adalah dewi keadilan. Dalam konteks Yunani, ia ini dikenal dengan nama dewi Themis, sedangkan dalam konteks Romawi, ia dikenal dengan nama dewi Justitia.
Ditinjau secara historis, Themis merupakan istri dari dari seorang dewa yang bernama Zeus dan anak dari pasangan Cronus dan Rhea. Ia merupakan lambang dari dewi keadilan dan ketertiban yang mengatur kesejahteraan dan moralitas rakyat. Dia memimpin dewan rakyat dan undang-undang keramahan. Kepadanya dipercayakan kantor untuk mengadakan sidang perkumpulan dewa, dimana ia berperan sebagai ritual dan upacara. Kebijaksanaannya membuat Zeus seringkali mengajak berdiskusi dan bertindak berdasarkan saran yang diberikannya (Berens, 2010: 44).
Themis digambarkan sebagai wanita yang sangat dewasa, bersikap adil dan mengenakan baju yang melambai yang menutupi postur tubuhnya. Ditangan kanannya pedang keadilan untuk menegakkan keadilan dan ditangan kirinya timbangan yang artinya keadilan untuk semua (justice for all) dan kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Matanya dibalut melambangkan keadilan tanpa memandang siapa dia.
Berdasar pada itulah, sehingga Themis dinobatkan sebagai dewi keadilan. Namun, apakah lambang dewi keadilan tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang? Apakah penegakan hukum di Indonesia sudah seperti yang seharusnya?. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menunjukan apakah lambang dewi keadilan tersebut masih relevan dengan cita idealnya atau tidak. Namun, sebelum sampai kesitu hendaknya kita harus memahami dulu apa itu penegakan hukum.
Mengenal Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Rahardjo dalam Zulfadli, dkk, 2016: 271).
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut subyeknya dan dari sudut obyeknya. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin
dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan
hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan, baik dalam arti formal yang sempit, maupun dalam arti materiil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan, maupun oleh aparatur penegakan hukum yang diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Relevansi Cita Ideal Dewi Keadilan Dengan Kondisi Sekarang
Penegakan hukum merupakan permasalahan hampir di setiap negara, khususnya bagi negara-negara berkembang. Di Indonesia, permasalahan hukum sangat banyak dan beragam baik kualifikasinya maupun modus operandinya. Begitu banyaknya masalah hukum tersebut, maka banyak pula yang belum atau mungkin tidak akan dapat diselesaikan. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran, nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realita nyata.
Oleh karena itulah Mahfud MD memaparkan bahwa penggunaan istilah menegakkan keadilan lebih disukai antara lain karena definisi hukum, terutama dalam bidang politik, seringkali hanya disempitkan kepada prosedur yang tertuang dalam suatu ketentuan atau peraturan perundang-undangan. Padahal, rasa keadilan tidak hanya tegak bila penegak hukum hanya menindak berlandaskan pasal dalam UU secara kaku dan tidak mengenali nilai keadilan yang substantif. penegakan hukum sebenarnya merupakan bagian atau perangkat yang digunakan untuk meraih tujuan yang lebih mulia, yaitu penegakan nilai keadilan (Mahfud MD dalam Rahman dan Tomayahu, 2020: 143).
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum (law enforcement). Indikasinya dapat dilihat ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum saja dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Adagium bahwa cita-cita hukum adalah keadilan (justice), dalam konteks perkembangan abad ke-21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang
mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat. Karena jelas bahwa hukum atau aturan perundang undangan terutama dalam implementasinya harusnya adil, tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan (unjustice). Padahal hukum terkait dengan keadilan, namun dalam praktik di kalangan aparatur penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Praktik tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu contoh dari tidak ditegakkannya keadilan. Begitu pula penanganan kasus “pencurian kecil” yang cepat dibandingkan dengan kasus “pencurian besar” yang lamban dan jalan di tempat, memberi kesan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum.
Salah satu kasus yang sempat terekspose di media massa misalnya kasus Mbok Minah yang terjadi pada tahun 2012, seorang nenek renta berusia 55 tahun, yang ketahuan oleh mandor Tarno “mengambil jatuhan” 3 (tiga) butir biji kakao di PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang jika dijual hanya seharga Rp 500, kemudian diputus dengan hukuman pidana percobaan 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Sementara kasus-kasus besar seperti kasus Century, kasus wisma atlet, dan kasus suap pemilihan DGS BI terkesan lambat dan ditutup-tutupi. Bahkan kasus Juliari Batubara, korupsi dana bansos sebanyak 32, 48 miliar, tetapi hanya divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta (kompas.com).
Perlu diketahui bahwa praktik penegakan hukum yang demikian, merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang terjadi. Dan implikasinya adalah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hal itu bisa kita lihat pada hasil survey yang dilakukan oleh Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020, memperlihatkan angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64%. Tertinggi jika dibandingkan dengan bidang lain, seperti ekonomi 57%, politik dan keamanan 51%, serta bidang sosial dan humaniora 50% (detik.com).
Berdasar pada paparan diatas, kita dapat melihat bahwa praktik penegakan hukum yang di idealkan dengan lambang dewi keadilan sudah sangat jauh jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Olehnya itu hemat penulis dalam kondisi seperti ini, yang harus dilakukan adalah merevitalisasi penegakan hukum, sehingga cita ideal dewi keadilan sebagaimana dijelaskan diatas dapat tercapai.
Referensi:
1. Berens, E.M (2010). Kumpulan Mitologi Dan Legenda Yunani Dan Romawi. Jakarta: Bukune.
2. Rahman, M. Ghazali, Sahlan Tomayahu (2020). Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Al-Himayah, 4 (1), 142-159.
3. Zulfadli, Muhammad, Kasman Abdullah, Fuad Nur (2016). Penegakan Hukum Yang Responsif Dan Berkeadilan Sebagai Instrumen Perubahan Sosial Untuk Membentuk Karakter Bangsa. Seminar Nasional, 265-284.
4. Laraspati, Angga (2021). Survei Sebut 64% Publik Tak Puas Penegakan Hukum RI, Kenapa?. https://news.detik.com/berita/d-5576593/survei-sebut-64-publik-tak-puas-penegakan-hukum-ri-kenapa (diakses 26/08/21).
5. Rizal, Jawahir Gustav (2021). Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara, Ini Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan. https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/24/170000865/juliari-batubara-divonis-12-tahun-penjara-ini-hal-yang-memberatkan-dan?newnavbar=1&page=all#page2 (diakses 26/08/21).