Kepalaku tiba-tiba pusing saat Ibu Sri pengumuman para pemain drama tugas kesenian kami, Ken Arok dan Ken Dedes.
“Ken Arok akan diperankan oleh Aldi” kata Ibu Sri sambil tersenyum pada cowok berambut panjang yang aku taksir sejak 6 bulan lalu.
Harapanku melambung. Kuharap dapat peran utama wanita agar bisa terus dekat dengan Aldi. Dalam pikiranku, aku bisa mendengar Ibu Sri menyebut namaku dan membayangkan senyum Aldi ketika dia melihatku mendapat peran utama wanita.
Khayalanku buyar ketika mendengar kata-kata Ibu Sri selanjutnya. "Ken Dedes akan diperankan oleh Tika" Ibu Sri mengumumkan. Aku memandang dengan rasa tidak percaya kepada sahabatku Tika. Dia tampak terkejut seperti aku, tapi juga terlihat gembira.
"Selamat," akhirnya aku bisa mengendalikan perasaanku.
"Kau dapat peran utama" ucapku pada Tika.
Aku tak habis pikir mengapa Tika. Sejak SMP aku selalu mendapat peran utama wanita saat drama. Aktingku jauh lebih bagus daripada dirinya. Apakah Ibu Sri tidak menyukaiku? atau apakah aktingku tidak bagus menurutnya?
Seolah-olah menjawab pertanyaanku, terdengar kata-kata Ibu Sri dengan keras dan jelas.
“Tina, kamu berperan sebagai dayang Ken Dedes" Dayang, pikirku. Aku tidak ingin menjadi dayang. aku ingin peran utama. Tika mencondongkan badannya ke arahku dan berbisik
"Senangnya bisa bermain dalam satu drama lagi."
Senang melihat kamu berada di panggung bersama Aldi. Sementara aku berada di panggung selama beberapa menit. Enak saja! pikirku. Mungkin aku akan protes atau beralasan tidak ingin dalam satu kelompok karena sudah pernah mementaskan drama Ken Arok dan Ken Dedes. Aku tahu bahwa alasan itu tidak masuk akal dan aku jadi kesal sendiri.
"Kita akan berlatih setiap hari" kata Ibu Sri membubarkan kami.
"Jangan lupa latihan di rumah."
Sore harinya di rumah, aku sendiri tak ada teman curhat, ibu belum pulang dari kantor. Bisikan Tika masih terngiang. Aku berbicara pada diriku di cermin.
"Harusnya aku pemeran utama wanita" aku menatap bayanganku seolah itu adalah Tika.
Kepalaku pusing seperti tadi pagi. Berat, semakin sakit, berdenyut, lalu perlahan membaik. Mungkin ibu sri ingin memberi kesempatan pada tika ucap seseorang bicara. Aku bingung itu diriku yang bicara. Aku bercermin menatap diriku dengan perasaan kesal. kamu sudah pernah mendapatkan pemeran utama wanita sebelumnya. Mungkin sekarang giliran orang lain. Mungkin sekarang waktunya Tika.
"Tidak" balasku sambil berteriak pada bayanganku di cermin.
"Kau tidak mengerti" ujarku.
"Akulah yang mengerti. Aku yang paham siapa dirimu" balasnya tersenyum pada diriku. Aku berbalik, pikiranku kacau. Aku berjalan menuju kamar. Aku menyadari Tika satu-satunya orang yang memahamiku juga orang yang tidak mungkin aku ajak bicara saat ini. Ia yang biasa menjadi tempat curhat, kini menjadi sumber dari semua penderitaan yang ku alami sekarang.
Dengan dramatis aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur dan menunggu air mataku keluar berharap semua ini mimpi. Tak ada yang memahami perasaanku. Siapa lagi yang bisa ku ajak bicara? Pikirku.
Aku, terdengar jelas di kupingku. Aku dirimu sendiri. Sumber kekuatanmu. Pada akhirnya aku sendiri dengan pikiranku mencoba berdamai dengan semuanya. Berbicara dengan diri sendiri dan menemukan diriku yang hebat selama ini.
Aku berguling dan memandang ke arah kanopi putih di atas kepalaku. Tuhan, apakah engkau di sana? Aku bertanya dalam hati. Kemudian aku tersenyum. Tentu saja ada, aku mengingatkan diriku. Tuhan ada dimana-mana.
Aku menghentikan percakapan di dalam hatiku karena aku tidak yakin harus berkata apa. Apakah tidak apa-apa aku curhat pada Tuhan bahwa aku marah pada Tika yang mendapatkan peran utama sedangkan aku tidak. Akankah dia peduli aku curhat padanya, bahwa Aldi adalah cowok terkeren yang pernah kusukai saat ini.
Kepalaku kembali pusing, aku mengguling-gulingkan badanku di tempat tidur. Sambil membuka WA, mencoba menghubungi teman-teman yang bisa ku ajak bicara. Ketika aku menghubungi teman-teman, mereka sangat gembira melihat Tika mendapat peran utama dalam drama. Akan sangat aneh bila aku mengungkapkan perasaanku pada mereka. Akhirnya aku berhenti dari gejolak hatiku yang tidak jelas. Aku sembunyikan saja perasaanku yang sebenarnya. Di simpan dalam hati.
Setiap hari sepulang sekolah aku mengikuti latihan drama sambil mengamati Aldi dan Tika berakting di atas panggung. Akting mereka begitu kompak, dan sekarang aku bisa melihat mengapa Ibu Sri memilih Tika sebagai peran utama wanita.
Aku sudah sangat hafal dialog yang harus kubaca dan sudah menguasai gerakan dalam tarian yang akan dipertunjukkan. Jadi tidak banyak hal yang kulakukan selain membantu teman yang belum bisa. Ternyata tak lebih sulit yang kubayangkan, hanya pikiranku saja yang belum terima mendapat peran pendukung setelah sebelumnya aku selalu memegang peran utama. Tapi aku memerankan bagianku dengan baik. Tak ada yang mengetahui emosi yang kupendam.
Akhirnya, sehari sebelum pentas pertahanan emosiku jebol. Sore itu aku melihat akting Tika yang payah. Melihat Aldi tersenyum padanya dan Ibu Sri yang menyuruhku membaca dialogku dengan penuh perasaan, berulang-ulang. Sesampainya di rumah, aku bersyukur tidak ada orang, aku melempar tasku di atas ranjang dan berteriak sekencang-kencangnya.
Kepalaku kembali pusing. Aku melihat diriku akting, beradegan menjadi pemeran utama. Aku seperti berputar dan aku langsung jatuh ke kasur.
Dalam setengah sadar aku menggerutu bahwa semua itu tak adil. Semua itu memang tak adil. Terdengar ucapan itu dalam diriku. Akulah yang paling memahamimu. Bukan sahabatmu, ibumu, atau Tuhan. Aku, hanya aku, dirimu sendiri. Relahkanlah dirimu, mari kita bersatu melawan ketidakadilanmu Tina, bersatu pada jiwamu yang selalu kau abaikan.
Kepalaku sedikit membaik dan sekarang aku punya teman curhat yang setia, teman curhat yang selalu bersamaku setiap waktu. Diriku sendiri, jiwa lainku yang pernah aku tinggali dan sekarang kami menyatu dalam satu pelukan jiwa. Dimana aku mulai tidak mengetahui lagi siapa diriku dan transformasi jiwa kini tlah terjadi, aku bukan lagi Tina, aku kini entah siapa?
Air Apo, 12 November 2021