Toleransi dalam kamus bahasa serapan didefenisikan sebagai keadaan yang mana orang mampu hidup dalam keadaan sulit atau bertenggang rasa (Surawan Martinus, Gramedia, Jakarta: 2001).
Jika ditelaah lebih lanjut, dapat dimunculkan pertanyaan, sebenarnya apa yang sulit? Atau mengapa harus bertenggang rasa? Kedua pertanyaan ini akan coba saya jawab berdasarkan pengalaman saya saat berada di daerah saya dan disandingkan pengalaman studi saat ini.
Pengalaman pertama: keterbukaan. Saya berasal dari Nusa Tenggara Timur, khususnya daerah Timor Tengah Selatan Desa Benlutu. Sebagian besar penghuni daerah ini adalah pengungsi dari Timor-Timur pada tahun 1975.
Atau dapat dikatakan bahwa, daerah ini mayoritasnya adalah pengungsi yang mengembara. Leluhur kami diterima dengan begitu baik oleh raja Amanuban (Raja Nope) yang pada waktu itu sedang berkuasa di daerah tersebut. Kepada mereka, dipercayakan untuk menghuni tanah kosong yang sekarang dikenal sebagai Desa Benlutu, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Pengalaman kedua: keluar daerah. Pada tahun 2014 silam, saya beranjak dari daerah saya menuju Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Ini sebuah pengalaman baru bagi saya untuk keluar dari daerah saya menuju daerah yang lain.
Ada perasaan cemas, namun yang paling mencemaskan saya adalah keluarga saya. Kecemasan mereka dilandaskan pada realitas yang terjadi di Jogja belakangan ini, selain gejala alam (gempa mei 2006 dan erupsi merapi oktober 2010) juga kasus cebongan yang melibatkan sejumlah anak NTT pada tahun 2013.
Makna Pengalaman
Para guru kebijaksanaan sering mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Memang benar adanya, walaupun ada segelintir orang yang tidak ingin mengenang kembali pengalaman-pengalaman yang pernah dialami. Saya secara pribadi, bertolak dari pengalaman ketakutan yang timbul dari diri sendiri dan juga ketakutan yang datang dari realitas yang terjadi mencoba untuk memaknainya secara berbeda.
Meskipun ujung-ujungnya discermment pribadi entah menerima atau menolak realitas yang dijumpai. Mungkin kedua pengalaman sederhana yang saya alami ini tidak bisa dijadikan kesimpulan dari segelintir konflik yang terjadi, namun dapat dijadikan modal untuk membangun relasi dengan realitas yang baru.
Perjalanan leluhur saya dari Oecusi (salah satu daerah di Timor-Timur) hanyalah perjalanan untuk mencari suaka. Keamanan yang mereka butuhkan dan bukan lagi ketakutan. Hal serupa juga saya alami ketika menginjakkan kaki di Jogja. Kecemasan yang saya rasakan dahulu sirna sudah ketika saya berjumpa dengan orang lain yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Akan tetapi, ada sebuah kecemasan baru lagi yang timbul. Ada semacam stigma yang disematkan pada orang-orang timur. Kami adalah sosok yang kasar, suka membuat kekacauan, dan masih banyak lagi. Meskipun kami yang adalah pendatang baru tidak tahu-menau dengan keadaan tersebut.
Di sini ada dua realitas yang tampak. Leluhur saya hanya ingin mencari suaka sedangkan saya hanya ingin menimba ilmu. Tetapi realitas yang kami jumpai berbeda. Leluhur saya menjumpai orang yang tidak dikenali dan tidak ada stigma yang disematkan pada mereka. Mereka hanya ingin mencari keamanan saja dari perang saudara yang saat itu terjadi. Berbeda dengan yang saya alami. Sudah ada stigma yang sudah disematkan kepada setiap kami yang berasal dari timur, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Membangun relasipun agak sulit.
Realitas yang saya alami ini tidak dapat saya hindari, mau tidak mau saya harus menerima realitas ini sebagai bagian dari hidup saya. Saya selalu berpegang pada kata memaknai, memahami, dan menerima realitas yang terjadi di dalam perjumpaan.
Hal ini tidak serta merta terjadi, tetapi saya pun berusaha berlajar dari orang lain yang ada di sekitar saya. Keterbukaan menjadi kunci utama di dalam perjumpaan. Lalu apa yang dapat dilakukan?
Memaknai, Memahami dan Menerima Realitas Perjumpaan
Sikap yang perlu ditumbuh-kembangkan di dalam perjumpaan adalah terbuka. Bagaimana orang bias terbuka? Tidak mudah bagi orang yang fanatik untuk terbuka.
Persoalannya bukan karena mereka tidak mampu untuk membangun sikap terbuka, tetapi ada semacam pra-pemahaman yang telah membentuk mindset mereka, sehingga pada saat berjumpa dengan orang yang berbeda, mereka akan cenderung tertutup dan memilih untuk menghindar.
Maka dari itu, perlu untuk memaknai, memahami, dan menerima realitas yang dijumpai dan berani untuk belajar darinya. Memang tidak begitu mudah, tetapi perjumpaan itu sendiri akan membawa orang pada pilihan tindakan ini.
Memaknai Perjumpaan
Perjumpaan terjadi dalam sebuah spasi sosial yang menuntut adanya interaksi. Secara singkat perjumpaan disebut sebagai proses interaksi. Jika perjumpaan adalah sebuah proses interaksi, maka orang diajak untuk masuk ke dalam sebuah spasi dengan memecah individualitas dalam arti berusaha untuk melepas individualitasnya dan masuk dalam rana sosial. Di sinilah proses interaksi itu terjadi antara satu pihak dengan pihak yang lain atau satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Perjumpaan adalah sebuah realitas yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri keberadaannya. Adanya manusia, mulai dari lahir sampai akhir hayatnya pun terjadi di dalam rana ini. Misalnya, pada saat lahir manusia berjumpa dengan orangtuanya, dokter atau bidan yang membantu jalannya persalinan dan keluarga yang sedang menanti kehadiran individu baru di dalam keluarga.
Hal lain, misalnya perjumpaan antara mahasiswa dan dosen. Perjumpaan ini mau menunjukkan pribadi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari yang lain, termasuk keberadaannya berawal dari adanya yang lain.
Perjumpaan pada hakekatnya memiliki dua macam implikasi yang dapat mengubah karakter seseorang. Implikasi ini sudah lazim dikemukakan oleh banyak pihak yakni implikasi positif dan negatif. Implikasi positif selalau terarah kepad hal-hal yang baik, misalnya berjumpa dengan budaya dan orang-orang yang suka menolong seseorang merasa tersapa untuk melakukan tindakan yang sama.
Akan tetapi, perjumpaan juga dapat berimplikasi negatif atau terarah kepada hal-hal yang jahat, misalnya; seorang anak yang lahir dari keluarga yang baik-baik berjumpa dan masuk dalam lingkungan yang notabene penghuninya adalah perampok, maka ia juga akan tergiur untuk melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, perjumpaan dapat dikatakan bergantung pula pada situasi atau konteks yang dijumpai dan bagaimana orang menempatkan diri dengan situasi tersebut. Di situlah orang diajak untuk masuk dan mengenali diri sendiri dan memaknai perjumpaan tersebut.
Proses interaksi yang terjadi di dalam perjumpaan hendaknya dimaknai sebagai sebuah anugerah yang perlu disyukuri yang mana mengajak orang masuk lebih dalam untuk mengenali diri, situasi, dan orang lain yang ia jumpai. Persoalan sering terjadi karena ketidakmampuan seseorang untuk memaknai perjumpaan.
Memahami Perjumpaan
Pernyataan atau slogan yang sudah sangat kuno adalah “tak kenal maka tak sayang”. Slogan ini mau menunjukkan betapa pentingnya mengenal orang lain. Perkenalan yang terjadi melalui perjumpaan perlu diberi perhatian khusus agar proses untuk saling mengenal satu dengan yang lain semakin terbuka. Secara khusus di Indonesia, perbedaan dan keberagaman sangatlah nampak.
Perbedaan itu tidak hanya dalam bahasa dan kultur, tetapi juga agama, suku yang menghuni kepulauan-kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Prospek pertama untuk membangun dialog dengan perbedaan dan keberagaman yang ada di Indonesia adalah mengenali perbedaan dan keberagaman itu sendiri.
Realitas di Indonesia begitu kompleks. Ada begitu banya budaya, bahasa,ras, dan agama. Berhadapan dengan konteks ini, orang dintuntut terbuka dan mengenali keberagaman yang ada. Dari sanalah orang dipanggil untuk masuk dan menentukan sikap di dalam membangun relasi yang lebih komunal sebagai bangsa yang diikat dalam satu kesatuan.
Memahami perjupaan tidak hanya berhenti pada perjumpaan itu sendiri, tetapi lebih dari itu orang berani untuk masuk lebih dalam akan perjumpaan yang terjadi. Misalnya; ketika saya berjumpa dengan orang jawa, saya sadar bahwa ia berbeda dengan saya yang adalah orang Timor. Ini adalah perjumpaan, namun memahami perjumpaan bergerak melampaui perjumpaan itu sendiri, misalnya saya mencari tahu latar belakang budaya jawa, tradisi yang sering digunakan, dan bagaiman memnabangun dialog yang baik dengan orang Jawa.
Menerima Perjumpaan
Konsep menerima merupakan sebuah konsep yang begitu mudah untuk diungkapkan, namun sulit untuk dilaksanakan. Tidak mudah bagi seseorang untuk menerima orang lain yang pernah melakukan kesalahan bagi dirinya. Contoh kokret yang dapat diambil adalah pross rekonsiliasi antara pengunsi Timor-Timur pada saat perang saudara yang terjadi pada tahun 1999.
Mereka yang terlibat dan mengalami langsung kejadian ini begitu sulit untuk menerima orang lain, apalagi mereka yang pernah terlibat konflik dan menyerang keluarganya. Mereka lebih sensitif dan cenderung emosiaonal ketika berhadapan denang orang lain yang berselih paham dengannya. Maka dari itu, perlu ditelisik lebih dalam sebelum menerima realitas yang demikian.
Pertama: Mengenali Perbedaan. Mengenal adalah langkah awal untuk membangun dialog. Memang belum ada tindakan konkret yang dapat dilakukan di sana, tetapi melihat dan mengenali perbedaan dan keberagaman akan memacu orang untuk bergerak lebih ke dalam yakni untuk memahami seberapa dalam perbedaan tersebut.
Konflik sering terjadi, entah itu budaya, ras, bahasa, dan agama, karena kurangnya sikap terbuka. Orang merasa nyaman dengan budaya, ras, bahasa, dan agamanya serta tidak ingin menjumpai perbedaan yang terpampang luas di luar dirinya. Akibatnya, saat menjumpai perbedaan, orang lebih cenderung sensitif dan mudah salah paham oleh karena kurangnya pemahaman akan realitas yang ada di luar dirinya.
Kedua: Memahami. Setelah mengenal orang perlu memahami perjumpaan tersebut. Masih dalam contoh yang sama, saat berhadapan dengan para pengungsi yang cenderung emosional, pihak yang berada di sekitarnya perlu memahaminya bukan untuk melegalkan tindakan yang dilakukan tetapi mehamami keadaannya.
Pemahaman memang sulit, jika di dalam perjumpaan keduanya memiliki latar belakang yang sama (sama-sama emosional). Di sini, perlu dibangun sikap ‘ada yang mengalah’.
Konflik tidak akan terjadi jika ada yang mengalah, bukan karena ia mau untuk ditindas tetapi memilih untuk mencari jalan keluar yang lain tanpa harus terlibat konflik. Realitasnya bahwa memang tidak mudah untuk mendamaikan persoalan yang demikian, tetapi perjumpaan dan saling memahami adalah salah satu alternatif untuk meminimalisr terjadinya konflik. Terbuka terhadap realitas adalah jalan yang dapat diambil pada saat berhadapan dengan realitas yang kontra dengan pengalaman pribadi.
Ketiga: Menerima. Sikap terakhir yang perlu diambil di dalam perjumpaan adalah menerima bahwa saya berbeda dari orang lain. Penerimaan ini akan menuntun orang untuk mengambil dan menentukan sikap selanjutnya. Unsur pokok yang perlu ditanamkan di sini adalah adaptasi.
Orang diajak untuk tidak hanya berhenti pada pemahaman akan realitas dan berorientasi dengannya, tetapi lebih dari itu, ia diajak untuk masuk ke dalam realitas tersebut dengan beradaptasi. Sikap ini sebagai rangkuman terhadap dua sikap lainnya yang telah diuraikan. Setelah sampai pada sikap ini dan beradaptasi dengannya, orang akan mudah untuk membangun dialog.
Lalu apa?
Inilah realitas kita. Realitas yang menampilkan begitu banyak perbedaan dan keberagaman sebagai kekayaan yang perlu dijaga dan dilestarikan. Sekarang bukan saatnya mengembangkan konsep mayoritas dan minoritas, tetapi mencari cara bagaimna keadaan ini terus eksis sampai nanti. Bukan juga saatnya menuntut untuk dihormati, tetapi saling menghormati. Perbedaan itu berarti tidak sama, sehingga toleransi terhadap perbedaan bukan berarti harus sama.
Perbedaan itu indah, jika orang berani untuk merangkul perbedaan tersebut. Ketakutan untuk terbuka perlu dikesampingkan karena perbedaan tidak ‘menghakimi’, melainkan diri sendiri yang selalu merasa ‘dihakimi’. Toleransi yang kita bangun saat ini mungkin tidak akan kita nikmati tetapi akan dinikmati generasi penerus kita.
Jangan sampai generasi penerus hanya akan mendengar ceritas tentang ideologi kita Pancasila tanpa menikmati indahnya persatuan yang terjalin di dalamnya. Mari kita jaga dan rangkul keberagaman kita serta berani untuk belajar darinya demi masa depan generasi penerus kita.
Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.