Keragaman Indonesia dan latar belakang masyarakat yang heterogen sangat sering menjadi akar dari masalah atau konflik sosial yang berkepanjangan. Pluralitas yang memuat keragaman suku, ras, budaya, dan bahkan agama tentu merupakan hal yang memiliki berpotensi besar menimbulkan konflik sosial.
Belakangan ini masyarakat kembali digegerkan dengan berbagai wacana yang merujuk pada tindakan dan sikap intoleransi seta memicu kemunculan sentimen agama maupun kelompok tertentu dengan skala yang terus meningkat setiqp saat. Contohnya seperti postingan di beberapa media sosial berkaitan dengan perayaan maulid nabi yang banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Dari sini kita dapat melihat secara kasat mata, toleransi yang digadang-gadang dapat difungsikan sebagai jalan mempersatukan perbedaan justru tidak terlihat dalam tindakan netizen yang terkadang secara tidak sadar menciptakan huru-hara dengan berbagai postingan dan komentar yang mereka berikan.
Para netizen ini mudah sekali tergerak untuk membenarkan, menyalahkan, dan bahkan menghakimi suatu individu atau kelompok berdasarkan pengetahuan keagamaan yang minim dan serba instan. Lalu kemudian berdampak pada merebaknya sikap intoleransi dan mudahnya mengkafir-kafirkan orang lain dengan alasan perbedaan.
Maraknya fenomena takfiri (mengkafir-kafirkan) disebabkan pluralitas umat tidak diragukan lagi dapat memperparah sikap intoleransi masyarakat, yang dimulai dengan semakin tidak mempercayai orang yang berbeda pemahaman dan keyakinan, atau bahkan bersifat inklusif terhadap kelompoknya masing-masing.
Memang tak dapat dipungkiri, keragaman yang meliputi berbagai perbedaan pilihan, pendapat, dan bahkan keyakinan bisa menjadi akar dari berbagai masalah krusial dan berpotensi besar dalam mencederai ikatan sosial yang telah terjalin kuat di tengah kehidupan masyarakat.
Berdasarkan potensi terjadinya konflik atas nama perbedaan, maka sudah seharusnya ada kontrol sosial dengan memahamkan masyarakat terhadap sikap toleransi yabg mulai pudar untuk mencegah dan meminimalisir konflik tersebut di era milenial dengan penyebaran informasi berkecepatan tinggi seperti yang kita alami saat ini.
Konsep toleransi perlu dimaknai kembali karena memiliki peran sangat penting dalam mempersatukan kemajemukan umat. Dalam al-Quran pun kita dapat menemukan banyak sekali ayat yang membahas konsep ini karena ketegangan sosial antar manusia merupakan masalah yang kerap terjadi sejak zaman awal kedatangan Islam.
Toleransi menjadi suatu konsep yang sangat menjanjikan dalam menentukan hubungan baik yang diharapkan masyarakat karena memuat sikap tenggang rasa antar manusia dengan menghargai segala perbedaan yang mungkin terjadi dan tetap saling menjaga hubungan baik diatas segala perbedaan yang ada.
Sikap saling menghargai yang harus ditekankan ketika berinteraksi dengan berbagai perbedaan yang dimiliki orang lain adalah dengan tidak saling mwnghina dan merendahkan, seperti firman Allah yang termaktub dalam al-Quran:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْن
"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am [6]: 108).
Suatu riwayat menyebutkan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan penghinaan yang dilakukan kaum Musyrik pada Allah karena merasa emosi terhadap beberapa orang muslim yang pada saat itu biasa mencela tuhan-tuhan berhala mereka, sehingga kemudian turunlah ayat ini sebagai penengah dari konflik yang terjadi saat itu.
Berdasarkan tata bahasanya, kata "tasubbu" yang memiliki akar kata "Sabba" dalam ayat ini mengandung artian ucapan yang menghinakan sesuatu, dalam artian bukan berarti dengan larangan menghina agama lain kita bisa menyamakan kebenaran setiap agama, karena setiap agama memiliki klaim kebenarannya masing-masing.
Muhammad Abduh menegaskan di kitab tafsirnya dalam surah al-Kafirun, ayat ke 6, bagimu lah agamamu, dan bagiku lah agamaku sebagai pemisahan suatu agama dengan agama lainnya yang tak memiliki keterkaitan dalam hal akidah atau menjadi suatu bentuk penolakan dari mencampur adukkan berbagai agama.
Adapun hal yang harus dilakukan sebagai seorang muslim adalah bersikap konsisten dengan tidak membenarkan agama lainnya, karena kita tidak memiliki hubungan yang mengharuskan untuk membenarkan tuhan maupun ajaran agama lain, dan begitu pula sebaliknya.
Sejalan dengan pendapat ini, Quraisy Sihab menulis pandangannya dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa klaim kebenaran suatu agama secara mutlak dapat dilakukan oleh setiap pengikutnya, dan tidak menuntut adanya pengakuan atau pernyataan kebenaran dari orang yang tidak mengikuti dan meyakini ajarannya.
Akan tetapi, kita juga harus tetap saling menghormati dalam menghadapi keragaman yang ada dengan berlaku adil dan selalu menghargai orang yang berbeda pemahaman atau keyakinan, memelihara kerukunan dan silaturrahmi antar sesama, saling menciptakan rasa aman, memiliki rasa persatuan.
Dalam artian lain, toleransi dapat dijadikan sebagai alat pemberi kebebasan kepada setiap manusia yang menentukan dan memutuskan berbagai pilihan dalam hidupnya, termasuk beragama, dengan syarat kebebasan itu tidak mencederai kebebasan orang lain dan tidak melanggar norma-norma ketertiban yang ada di tengah masyarakat.
Penegasan ayat al-Quran yang telah disebut ini juga diperkuat dengan munculnya berbagai penafsiran baru berkenaan dengan konsep toleransi yang sampai saat ini tak henti-hentinya menjadi topik yang menarik untuk dibahas berdasarkan dari ijtihad para ulama sejak masa awal perjalanan Islam.
Sejak perkembangan Islam klasik, Para Imam madzhab serta para mufassir yang mengusung semangat toleransi mengusahakan agar konsep tersebut terus relevan untuk merangkul umat dalam persatuan meskipun harus menghadapi pergantian zaman, salah satunya pendiri Madzhab Syafiiyah.
Imam Syafiie memperkenalkan konsep toleransi yang moderat dengan menilai tindakan penyesatan dan penyimpangan seseorang sebab perbedaan yang mereka miliki sangat tidak beretika, karena sangat kontradiksi dengan konsep Ihsan (berakhlak baik) yang juga diajarkan Islam. Terkait dengan hal ini, Allah telah menegaskan dalam firmannya :
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya; tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?. Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti." (QS. Yunus [10] : 99-100)
Dalam Tafsir Al-Quran Tematik, Ayat ini melegitimasi hak hidup yang dimiliki setiap manusia dengan memberi kebebasan memilih atau memutuskan jalan hidup yang akan ditempuh, termasuk dalam hal keimanan pada agama apapun, karena keimanan adalah Sunnatullah, dan merupakan anugerahkan kepada orang yang dikehendaki Allah.
Ayat ini juga mengandung makna tersirat bahwa hak dan kebebasan yang diberikan kepada manusia dalam memilih bisa saja dimaksudkan untuk menguji mereka agar selalu berpikir pada hal yang akan membawanya pada kebijaksanaan sehingga akan melahirkan keimanan yang ikhlas tanpa pamrih.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin juga mengulas pentingnya toleransi sebagai sikap yang harus dimiliki manusia, dengan menekankan pada kontrol emosi (Ilaj al-ghadab), yaitu berusaha mengendalikan dirinya dari kemarahan, kebencian, maupun sikap tidak sukanya terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pengendalian emosi yang baik bisa digunakan sebagai cara yang dapat mengurangi tingkat ketegangan sosial atau perpecahan yang mungkin atau bahkan sering terjadi di tengah masyararakat yang plural dan reaksioner.
Tidak hanya itu, K. H. Abdurrahman Wahid juga memberikan pemahaman tentang pluralisme sebagai suatu sikap yang memuat keharusan dalam pengakuan terhadapa pluralitas (keragaman) manusia.
Pengakuan keberagaman ini berkaitan erat dengan kesamaan hak setiap manusia dalam berbagai hal, tentunya dengan kebebasan yang tidak mencederai kebebasan orang lain.
Sejatinya keragaman manusia juga tak hanya terbatas pada hal-hal yang nampak, namun juga pada latar belakang pengetahuan dan pergaulan yang bermacam-macam, serta karakter dan pola pikir yang dibentuk oleh lingkungan dan pergaulan sosial yang mereka jalani.
Dengan demikian, berbagai pemikiran dan keyakinan orang maupun kelompok lain memang tidak harus diterima dan bukan pula untuk dihakimi atas dasar perbedaan yang mereka miliki, lebih dari itu, kita pun tidak berhak memaksakan pemikiran kita terhadap mereka, namun yang perlu ditekankan adalah keharusan untuk menghormati segala bentuk perbedaan tersebut.
Konstrusksi kesadaran masyarakat terkait penyeragaman yang tidak dapat dipaksakan dalam kondisi masyarakat yang beragam memberi harapan bahwa potensi konflik, baik berupa sikap intoleransi, maupun fenomena takfiri seperti yang banyak terjadi dapat diredam dan dicegah kemunculannya.
Semua hal tersebut tentunya hanya bisa dicapai jika ada kerja sama masyarakat dalam merekonstruksi pola pemikiran umat menjadi moderat sehingga dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang penuh perdamaian dan saling berdampingan dalam berbagai keragaman.