Sudah cukup lama sebenarnya tulisan ini disiapkan, dan pada waktu menulisnya pun juga tergantung suasana hati (mood). Namun setelah membuka kembali halaman/halaman ternyata pantas untuk dilanjutkan, termasuk masih banyaknya bagian term penulisan yang mesti diperbaiki.

Dengan bangga akhirnya tulisan ini bisa diselesaikan, walaupun tidak begitu sempurna seperti tulisan analis yang lain. Pada prinsipnya, untuk memposisikan diri sebagai anak ideologis Cak Nur maka tulisan ini dianggap perlu untuk diperjuangkan.

Nurcholish Madjid (atau Cak Nur sebagaimana nama panggilannya), merupakan sosok ilmuwan yang banyak digandrungi kalangan aktivis Islam, termasuk mahasiswa seperti saya yang lama berkecimpung di organisasi Islam.

Bahkan bukan bermaksud berlebihan, karena sangking kagum terhadap Cak Nur saya bahkan mendedikasikan sebuah karya ilmiah dengan sosok Cak Nur dalam studi kasus. Saya merasa Cak Nur bagaikan inspirasi dalam setiap debat, dan ilmu yang berjalan.

Meskipun tidak mudah memahami maksud-maksud dari setiap kata ilmiah yang disampaikan Cak Nur, tapi ketika kita mencoba menelaah kalimat-kalimat Cak Nur maka kita akan menemukan inspirasi ilmu pengetahuan yang sangat luas dan mendalam. 

Dengan mantap saya mencoba menelusuri jejak rekam tokoh ini, saya baru sadar tidak mudah menjadi seorang Cak Nur dengan perjalanan hidup dia yang begitu terjal, sosok ulama intelektual yang hidup dengan segala rintangan, mulai kecil hingga dia menjadi tokoh.

Tidak sedikit hinaan dan cercaan yang terus dia hadapi di tengah-tengah masyarakat, mulai dari polemik ide, hingga gagasan platformnya yang paling fenomenal tentang pertarungan ide dan polemik pembaharu pemikiran Islam. Walaupun dihujat, dibenci dan difitnah, Cak Nur tetap istikamah terhadap apa pun yang menyerangnya.

Dia mencoba melawan arus sebagaimana di luar batas kemampuan orang lain, dia selalu menawarkan pembaruan walaupun hal itu bertantangan dengan tradisi.

Jika mengenal Cak Nur, maka kita akan selalu mengingat kata-kata yang sangat lembut mengenai Islam rahmatan lil alamin, Cak Nur hanya menginginkan islam itu tampil sederhana dan tidak menakutkan. Islam dan negara seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tapi dalam pengertian Cak Nur, bukan berarti Islam harus dijadikan syariat dalam bernegara.

Apalagi jika kasus itu kita kembalikan kepada posisi Indonesia dengan agama dan suku yang beragam. Cak Nur menginginkan bahwa Islam tampil dengan nilai-nilai yang lebih harmoni dan lembut, tidak harus dipaksakan seseorang itu melakukan ritual Islam secara formalitas.

Saya kemudian membaca Cak Nur sebagai penarik gerbong pembaruan pemikiran Islam Indonesia, penggerak sekaligus “frontier” pemikiran Islam yang melahirkan studi modernisasi dalam Islam.

Ide pembaruan Cak Nur menyasar pada lahirnya gagasan politiknya tentang sekularisasi dan Islam ‘Yes’ partai Islam ‘No’, ketidaksetujuannya tentang adanya negara Islam merupakan kritikannya terhadap ide-ide perjuangan generasi Masyumi, yakni partai Islam dan negara Islam.

Cak Nur kecewa dengan partai-partai Islam yang dianggapnya strukturalis, legalistik dan formalistik. Sehingga Cak Nur mendeklarasikan pada perjuangan kulturasi nilai-nilai keislaman dalam sosio-kultural masyarakat, bukan ke wilayah “Partai Islam. Seperti cita-cita mulia Cak Nur tentang Indonesia digagas dalam 10 Platform dalam bukunya Indonesia Kita.

Semakin jauh lagi Cak Nur adalah pelopor pembaruan politik karena ide-idenya seperti pentingnya oposisi Loyal, Civil Society, Demokrasi, Pancasila sebagai Common Platform Bangsa, Pluralisme, dan Hak Asasi Manusia, dan gagasannya tentang keindonesiaan, keislaman dan kemodrenan, adalah sesuatu yang lazim digunakan pada zamannya.

Menemukan Politik Pembaruan ala Cak  Nur

Saya tidak tahu, mana yang lebih baik: mengkaji Cak Nur sebagai seorang aktor politik, atau mengkaji Cak Nur sebagai “public intelectual” seperti selama ini yang sering didiskusikan. Beruntung saja saya merasa dekat, dekat secara ideologis. Mungkin karena buku-bukunya yang sering menjadi santapan dalam setiap kajian mengenai Islam, terutama perihal politik Islam.

Dalam peran kebangsaan Cak Nur memang banyak terlibat dalam politik praktis, misalnya dalam kurun waktu 1950-an dia turut aktif dalam kampanye partai politik dan pernah juga Cak Nur ingin mencoba menjadi orang nomor wahid di negeri ini.

Sementara, di lain sisi Cak Nur juga mengembangkan sikap intelektualnya dalam forum-forum kajian keagamaan, dan dialog keterbukaan, sambari dia ditunjang dengan banyaknya memproduksi buku-buku. Di bidang politik, ia menulis buku Cita-Cita Politik Kita, dan Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, ini adalah merupakan tekadnya sebagai guru bangsa yang ingin melihat Indonesia menjadi negara muslim yang mampu bersaing dengan negara lain.

Paling tidak pemikiran Cak Nur relevan dengan kondisi Indonesia baik pada masa lalu maupun masa kini, terutama ketika etika politik kurang mendapat perhatian daripada perilaku politik.

Dalam pembaruan teologi politik di kalangan umat Islam, Cak Nur memandang bahwa kita harus membendung aspirasi negara Islam oleh para pemimpin politik Islam, dengan cara pandang sekularisasi dalam beragama menuju pembaruan Islam.

Cak Nur berusaha memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Bahkan dengan mantap Cak Nur merubah kata “sekularisasi” pada partai Islam yang waktu itu banyak dikecam, kemudian menggantinya dengan kata “desakralisasi”.

Dengan kondisi seperti itulah, maka bisa dikatakan antara cita-cita politik Indonesia dan cita-cita politik Islam Cak Nur, sangat berhubungan erat. Pemikiran Cak Nur, tentang politik Islam mencakup semua ajaran Islam dan kehidupan manusia serta dengan berbagai pendekatan: filosofis, historis, sosiologis, dst.

Bagi Cak Nur dalam posisi politik Islam keindonesiaan, Indonesia harus berpacu pada ‘Piagam Madinah’ yang disebut sebagai “noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama”, Cak Nur menyamakan Piagam Madinah dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, yang mengandung makna pluralisme yang nasionalisme.

Pluralisme penting mengingat bangsa Indonesia memiliki beragam suku, agama yang tidak tunggal dan etnis yang berbeda, sehingga pluralism dalam hal ini memberikan makna sebagai ikatan politik bersama untuk menciptakan stabilitas politik Indonesia. Tapi Cak Nur menemukan fakta lain, Islam yang dihadirkan kelompok-kelompok Islamisme ini ternyata bukanlah Islam substantif sebagaimana yang ia suarakan.

Islam mereka berhenti pada simbol dan atribut. Islam, lalu menjadi panggung pertunjukkan: melakukan umrah dan haji, lengkap dengan fasilitas istimewa sesuai kelas sosial mereka; menyelenggarakan pengajian di rumah dan kantor-kantor; membangun mushala mewah berpenyejuk; dan seterusnya.

Sementara, dalam kehidupan sehari-hari sebagai birokrat, konglomerat atau aktivis partai, banyak di antara mereka justru mengkhianati cita cita Islam: mesin birokrasi dan bisnis dijalankan dengan KKN. Maka, menurut Cak Nur, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.

Di antara pemikiran Cak Nur yang sangat relevan dengan kehidupan politik masa kini (era reformasi) adalah ide-idenya tentang keadilan, demokrasi, egalitarianism, keterbukaan/kebebasan, pluralism dan toleransi, dan masyarakat madani. Tentang cita-cita politik Islam, pada intinya adalah terciptanya masyarakat madani (civil society) yang disebut oleh Robert N. Bellah, dengan prinsip “nasionalisme-partisipatif-egaliter”.

Bahwa civil society melakukan transformasi kritik yang seimbang antara masyarakat dan pemerintah, jika pemimpin melakukan kesalahan maka tugas masyarakat yang menegurnya, dan pemerintah harusnya selalu melibatkan rakyat dalam urusan pengambilan kebijakan.

Penegasan atas prinsip persamaan manusia (egaliterianisme), dan keadilan sosial, di mana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat.

Selain itu civil society, merupakan kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat, bukan karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Istilah itulah yang diambil Cak Nur dalam pidatonya khalifah Abu Bakar yang disebutnya sebagai “kekuasaan konstitusional”

Dalam cita-cita Islamnya di era reformasi, Cak Nur menyampaikan tentang ide dialog keterbukaan; gagasan dalam membangun Indonesia harus dilakukan secara terbuka dialog yang sehat dalam menemukan solusi. Cak Nur menyampaikan bahwa tantangan terbesar ke depan adalah kedaulatan ekonomi.

Kedaulatan politik tidak mempunyai nilai yang bermakna tanpa kedaulatan bidang-bidang lain, khususnya di bidang ekonomi. Sesungguhnya kedaulatan ekonomi inilah yang diharapkan lahir dari adanya keadilan sosial. 

Nurcholish mengatakan untuk menancapkan visi dan cita-cita ekonomi Islam yaitu dengan mengajarkan bahwa setiap orang diminta sesuai kemampuannya, agar mampu mandiri, bebas dan merdeka menentukan usaha-usaha apa yang dijalaninya. Dengan yang mengandalkan kemampuan tersebut, maka ekonomi Islam akan tercipta.

Ide pembaruan politik Cak Nur berawal dari tahun 1993, yang melahirkan tentang ide oposisi loyal yang direfleksikan kepada keseimbangan politik, lalu pandangannya mengenai pancasila sebagai ideologi terbuka adalah kritikannya tentang kebijakan rezim yang memberlakukan pancasila sebagai asas tunggal, yang menurutnya pancasila harus dibaca sebagai ideologi modern yang sifatnya open minded.

Selain itu gagasannya mengenai civil society (masyarakat madani) yang kemudian melahirkan Gerakan Masyarakat Madani (Gema Madani) dan berlanjut pada gerakan reformasi yakni perubahan sosial, perubahan politik, dan moral force.