Tuhan menciptakan manusia dengan segala keunikannya. Keunikan berpikir, keunikan merasa, keunikan alamiah setiap insan yang tak dapat dihindari. (Selasa, 07 September 2021).
***
Sebelum masuk pembahasan, mari sepakati terlebih dahulu soal subjektivitas. Harap diperhatikan, kita sama-sama tahu kalau manusia memiliki pengalaman hidup berbeda-beda.
Dari proses kehidupan yang berbeda, tentu menghasilkan sebuah proses berpikir yang berbeda pula. Maka dari itu, tulisan ini bukanlah suatu hal yang harus ditelan mentah-mentah. Kalian pun bebas tafsir saat membaca tulisan ini, salam santuy.
Latar belakang, Tujuan dan Manfaat.
(Sudah kayak makalah saja haha)
Oke serius masuk pembahasan. Pertama-tama, 'B Aja' merupakan sebuah konsensus yang menjadi tren pada jaman ini. Itu singkatan dari kata 'Biasa Aja', entahlah bagaimana asal-usulnya. Apakah kalian tahu?
Terlepas dari itu, yang saya maksud 'Bersikap B Aja' disini bukan berarti memukul rata setiap persoalan, lantas kita sikapi biasa saja (apatis). Esensinya tidak sedatar dan sebodoh-amat itu sodara, tetap ada kadar serta koridor yang harus kita perhatikan.
Soal tujuan, jujur saja. Setiap kalian pasti ingin hidup tenang, kan? Saya yakin, ketentraman batin (kebahagiaan) adalah buruan utama bagi banyak orang. Normalnya begitu, kalau ada yang ingin sengsara batin, sini japri.
Banyak variabel penghantar untuk mencapai ketenangan jiwa. Salah satunya dengan mengontrol pikiran dan perasaan. Intinya sih, dalam kacamata yang saya pakai, 'Bersikap B Aja' ini merupakan upaya mensinkronisasikan diri agar tetap seimbang.
Konsep 'B Aja' dalam tulisan ini merujuk pada sikap: tidak kagetan, santai, kalem, adem ayem dalam menghadapi masalah, tidak dramatis (bukan bodoh amat dan tidak peduli).
Analisis saya; di balik sikap seperti itu, tentu ada proses berpikir yang dilalui pelakunya. Disamping pengalaman, ada upaya untuk mengamankan kesehatan rasio dan emosional, menganalisis dan menimbang kadar persoalan, se-urgen apa masalahnya? Dan sikap bagaimana yang harus diterapkan? Cukup rumit, pelaku akan mencapai ketenangan kalau sudah mendapat suatu pengetahuan atau kesadaran yang memadai.
Coba perhatikan, pasti disekitar kita ada orang yang bawaannya santai, dominan terlihat tenang (sambil ngopi-ngudud, ngguya-ngguyu). Gejolak internal dalam dirinya tidak terlihat, karena mungkin saja ia memiliki skill untuk menyeimbangkan apa yang dia pikirkan dan apa yang dia rasakan. Siapa tahu?
Saya pribadi senang kepada tokoh-tokoh publik seperti Gus Dur, Cak Nun, Sabrang (anaknya Cak Nun), Fahruddin Faiz, dan karakter Cak Dhalom dalam buku 'Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya' karya Rusdi Mathari.
Mereka super santai dan mampu menularkan energi positif secara persuasif. Sepertinya, semakin tinggi kesadaran (pengetahuan) seseorang, maka akan semakin santai pembawaannya. Seolah tidak ada hal yang bisa membuat mereka merasa terintimidasi. Cmiiw!
Tapi, untuk mendapatkan ke-santai-an itu ada prosesnya. Tidak semua orang bisa bersikap elegan dan biasa saja saat menghadapi suatu persoalan. Seni ala penulis:
[Bagi saya, ini adalah train untuk melatih diri agar menjadi pribadi yang tahan banting, tahan pukul saat menghadapi persoalan. Melalu seni-seni ini, saya lebih santai dalam menghadapi kenyataan].
1. Analisis Diri (Kritisi Diri Sendiri).
Dianjurkan untuk jujur pada diri sendiri terlebih dahulu. Analisis gejolak pikiran dan perasaan; Kenapa gue pusing? Kenapa perasaan gue gak enak? Apa sebabnya? Dan gue harus gimana? Pakai nalar kritis, cari akarnya sampai akurat. Kalau sudah terdeteksi, terima diri apa adanya.
Misal, penyebab kamu pusing: ternyata karena kamu overthinking, dan perasaan tidak enak karena takut dinilai orang. (Ada 2 pilihan, antara menerima atau menafikan).
Kadang sebagian orang terdorong untuk menafikan kelemahannya sendiri. Sama diri sendiri saja tidak mau ngaku, bagaimana mau lanjut mencari solusi?
Setelah terdeteksi, kalian juga bisa petakan kekurangan kelebihan tersebut. Lalu bisa dilanjut dengan memetakan keinginan, kebutuhan, skala prioritas, resolusi hidup dan lain-lain.
Dengan analisis diri ini, sedikit demi sedikit kita dihantarkan pada pembelajaran-pembelajaran baru. Kita akan tahu bagaimana cara menghadapi diri sendiri serta menghadapi pikiran dan perasaan yang sifatnya kompleks.
Kalau proses analisis ini sudah berjalan, setidaknya kita sudah bisa menjinakkan sebagian problem internal yang ada dalam diri. Hasilnya, kita akan lebih tenang karena pelan-pelan berhasil menerima dan berdamai dengan diri sendiri.
Sebelum menggeluti problem eksternal, bukankah lebih baik jika kita selesai (damai) dengan diri sendiri terlebih dahulu?
2. Pasang Saklar On-Off dalam Pikiran.
Saya tidak begitu ingat sejak kapan menerapkan seni yang satu ini. Dari teknik pasang saklar on-off dalam pikiran, saya menyadari bahwa kekuatan pikiran itu benar-benar nyata.
Saya menyebut ini sebagai 'teknik dingin' mendoktrin diri sendiri. Saya sebut begitu karena praksisnya cukup lumayan sulit, perlu ada pembiasaan.
Gambaran:
Pada saat itu saya sangat merasa risih dengan sesuatu yang disebut 'perasaan', saya menganggap perasaan sebagai suatu hal yang mengganggu. Sebelum menerapkan teknik ini, saya tidak dapat mencegah gejolak dan membiarkan diri menjadi kalut. Sampai akhirnya saya mencari cara bagaimana meredam/menjinakkan hal tersebut.
Yang saya dapat dari proses pencarian, gejolak-gejolak tersebut bisa dicegah dengan cara menanamkan asumsi (doktrin) yang pada akhirnya menjadi sugesti.
Doktrin yang saya pakai untuk menjinakkan perasaan pada saat itu adalah asumsi sains, saya berbicara pada diri sendiri begini:
Anggap saja perasaan bukan hal yang spesial. Itu hanya akibat dari hormon-hormon dalam otak saja.
Kalau sedih/kecewa=sedang kekurangan dopamin.
Kalau jatuh cinta/bahagia= sedang banjir serotonin.
[Kurang lebih begitu asumsi yang saya pakai dan bertahan hingga saat ini].
Kuncinya: harus kaya perspektif (sudut pandang) dulu. Jadi, gejolak bisa dicegah dengan asumsi-asumsi yang telah dikumpulkan. Terapan asumsinya pun harus dipertimbangkan dengan dosis yang pas sesuai kebutuhan masing-masing.
Layaknya saklar yang dapat menghidupmatikan lampu, teknik ini pun mampu mengaktif/non-aktifkan pikiran dan perasaan.
- Risih dengan perasaan yang menggangu. Perasaan tersebut bisa di mode off-kan.
- Sedang lelah berfikir, gunakan mode off lalu istirahatkan pikiran.
- Hendak belajar, fokus intelektual mode on.
- Hendak ibadah, fokus spiritual mode on.
Cara mainnya; cukup dengan mengatur ritme pikiran dan bongkar pasang asumsi sesuai kebutuhan.
Kita semua tahu, kalau sugesti yang terus diulang-ulang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan. Ya, ini adalah soal kebiasaan yang ada dalam sirkuit otak manusia. Konsep berpikir manusia, akan mempengaruhi bagaimana manusia itu bersikap.
Dan lagi, ini bukan hal mudah. Ibaratnya, kita menargetkan diri ideal yang sulit dijangkau oleh diri senyatanya. Sebelum sinkron, ini akan sangat melelahkan.
Biasanya sih teknik dingin ini dikuasai oleh para psikopat, para psiko mampu membunuh dengan perasaan off (heuhe canda). Esensi dari poin ini adalah 'pengendalian pikiran'.
3. Berserah Kepada Tuhan.
Sebagai pendingin, tips ketiga ini memang sangat diperlukan. Di tengah paradoks kebahagiaan, kerumitan, rasa syukur dan ketidakberdayaan yang sedang kita hadapi. Mengadu perihal batas kesanggupan adalah jalan, bukan?
Kalau kita percaya penuh kepada Sang Pencipta, apalagi yang harus dikhawatirkan? Dalam mencari jalan, menyerah kepada Tuhan adalah jalan.
"Tak ada yang sulit, jika engkau mencarinya melalui Tuhanmu. Tak ada yang mudah, jika engkau mencarinya melalui dirimu sendiri". -Ibnu'Athaillah.
Namun ingat, berserah tidak berarti pesimis. Tetap optimis, nikmati prosesnya. Sungguh, perjalanan hidup memberi banyak pelajaran.
4. Membunuh Ekspektasi
Poin 4 ini adalah senjata yang paling ampuh untuk mencegah kekecewaan. Dengan sedikit berekspektasi kita bebas, tidak ada harap yang menjadi beban dipundak.
Sekarang saya tanya. Kenapa seseorang bisa kecewa?
Menuntut orang lain membahagiakan, menuntut orang lain bersikap sesuai dengan apa yang kamu harapkan, berusaha merubah orang lain, memaksakan standar pribadi pada orang lain, berharap, berharap dan berharap.
Menurut kalian, apa buah dari narasi-narasi di atas?
Kalau ingin bebas dari belenggu-belenggu yang menyesakkan, kurangi berekspektasi, sekalian bunuh kalau sanggup. Dijamin santuy!
***
Hanya 4 poin signifikan: Analisis diri, Pasang Saklar, Berserah dan Membunuh Ekspektasi. Sebenarnya masih banyak paket seni pembelajaran yang menghantarkan pelakunya untuk menyelami diri sendiri.
Bagi saya, 4 hal tersebut adalah tantangan belajar paling fundamental, juga upaya untuk menaklukan segala ego samar-samar yang bersemayam. Puncak dari mengenal diri sendiri; meredam kesombongan dan mencapai ketentraman jiwa.
Barangkali penyampaian saya tidak sampai, silahkan untuk bebas menafsiri, tidak apa-apa. Salah benar itu relatif, tergantung melihat dari sisi mana dan pakai kacamata apa.
Tapi yang jelas, kombinasi dari ke-4 poin seni tersebut, mendorong saya untuk tidak kagetan, enggan mendramatisir suatu masalah, menemukan peta kekurangan dan kelebihan, melatih nalar kritis serta membuka jalan untuk mencapai wisdom.
Pokoknya, dari segala kerumitan menghantarkan saya pada sikap 'B Aja' alias ke-santai-an (semi haqiqi lah ya, haha). Kacamata saya yang sekarang, mengatakan bahwa setiap masalah itu 'B Aja'. Santuy-santuy-santuy.
Sekali lagi, jangan ditelan mentah-mentah ya, 100% subjektif. Tiap orang punya cara masing-masing untuk mencapai dirinya sendiri, jadikan referensi saja. Semoga kita selalu naik kelas dalam hal kesadaran.
Optimis + realistis, sedikit berekspektasi dan tetaplah berperasaan. Kalau ada problem yang datang, sambut saja "Biasalah". Selamat bersantai-santai ria.