Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan bukan oleh satu ras saja, melainkan banyak suku dan ras yang berbeda-beda. Dari ras itu sendiri mereka memiliki budaya yang berbeda-beda, bahkan agama yang berbeda-beda juga.
Kenyataannya memang Indonesia lahir dari beragam ras dan budaya. Jika memaksakan untuk memiliki suatu hukum yang tidak pro pada suatu etnis atau budaya, akan terjadi problem kemanusiaan yang berkepanjangan.
Kenyataan pahit yang diterima oleh masyarakat keturunan China ataupun China totok yaitu kelahiran mereka adalah sebuah masalah. Seakan takdir baik tidak akan menemui mereka ketika mereka terlahir sebagai orang China.
Diambil dari intisari dari film Ngenest yang disutradai oleh Ernest Prakasa yang merupakan orang Tionghoa juga, mereka yang bermata sipit dan berwajah China akan mendapat bully-an dari teman-teman pribumi. Maka dari itu, Ernest sebagai peran utama di film tersebut ingin menikahi pribumi demi mendapatkan anak yang berwajah pribumi. Dia tidak mau keturunannya mengalami apa yang dia rasakan sewaktu kecil.
Polemik terbesar yaitu pada bulan Mei tahun 1998. Pada bulan tersebut, keamanan ras Tionghoa sangatlah terancam. Karena terdapat kesenjangan ekonomi yang menyebabkan orang-orang beranggapan bahwa ekonomi di Indonesia dikuasai oleh orang China.
Stereotip bahwa ras Tionghoa itu kaya dan tidak peduli terhadap orang miskin sudah terpatri sehingga terjadilah pemberontakan besar-besaran di daerah Solo, Jakarta, Medan dan kota lainnya.
Yang tidak disadari oleh mereka adalah kesenjangan ekonomi bukan didominasi oleh orang Tionghoa melainkan ciptaan elite penguasa yang telah mengkambinghitamkan suatu etnis untuk kepentingan politik. Kekerasan yang menelan korban sebanyak 1.059, menghancurkan ribuan bangunan, terus-menerus seakan ditujukan kepada etnis Tionghoa.
Solidaritas Nusa Bangsa dan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan bahwasanya korban non-Tionghoa lebih besar daripada etnis Tionghoa itu sendiri. Jika berita ini tidak mengungkapkan fakta yang sesungguhnya, maka orang Tionghoa akan merasa terancam dan membuat non-Tionghoa merasa aman dan menganggap ini sebuah manifestasi anti-Tionghoa.
Fakta lain menyebutkan bahwasanya yang diserang pada tahun tersebut bukanlah semua orang Tionghoa melainkan hanya orang Tionghoa yang kaya saja. Fakta itu tidak digambarkan pada film 98 yang merupakan film dokumenter kejadian mengerikan tersebut.
Di film tersebut, yang paling disorot adalah etnis Tionghoa dengan pemeran utama orang Tionghoa itu sendiri. Selain itu, kejadian tersebut juga ditulis oleh Afifah Afra dalam novelnya Mei Hwa yang menyorot bagaimana psikologis seorang perempuan Tionghoa di tengah kejinya para pribumi yang menyerang mereka.
Stereotip yang juga tersebar dikalangan pribumi pada masa itu adalah rasa nasionalisme etnis Tionghoa diragukan. Mereka dipersulit dengan harus membuat surat SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Padahal mereka lahir di indonesia.
Susi Susanti yang merupakan andalan atlet Indonesia di bidang Badminton pun diragukan. Dia diserang karena etnis Tionghoa-nya. Padahal apa yang dilakukan Susi semuanya untuk Indonesia. Dalam hati Susi, “Kurang apa lagi rasa nasionalisme saya ketika semua penghargaan saya tujukan pada Indonesia?”
Diskriminasi demi diskriminasi ditujukan pada etnis Tionghoa. Bukan hanya rakyat saja, bahkan pemerintah pun juga mengurusi hal itu.
Pada masa orde baru, undang-undang menyebutkan bahwa etnis Tionghoa harus mengganti namanya dengan pribumi. Dalam esai Gus Dur, beliau memberi contoh seperti nama Muhammad Harun itu bukan bukan orang Islam, tetapi etnis Tionghoa yang menganut agama Budha.
Terlihat jelas bagaimana negara sangat membatasi gerak suatu etnis. Bahkan agama pun sangat ditentukan. Agama yang diakui hanya 5 kecuali Konghuchu karena menurut mereka Konghuchu bukanlah agama, tetapi hanya ajaran hidup saja.
Tetapi pada kenyataanya Konghuchu memiliki ritual layaknya agama. Alhasil mereka harus menaatinya. Padahal dalam beragama itu tidak ada paksaan sama sekali.
Pada masa KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menduduki kursi Presiden, agama Konghuchu pun diakui. Selain itu, segala ritual peribadatan yang berbau China diperbolehkan. Karena pada masa orba mereka tidak diperbolehkan karena akan menyebabkan citra ateis akan disandangnya.
Maka dari itu, Gus Dur ditetapkan sebagai bapak Tionghoa Indonesia. Tetapi pada masa itu, tahun baru Imlek belum menjadi hari libur nasional. Baru pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Baru-baru ini isu hangat yang sering didengar adalah isu bapak Presiden Jokowi yang dekat dengan China. Stereotip lama bahwa orang China penguasa Ekonomi dan tidak peduli dengan orang miskin kembali naik.
Pada kenyataannya, banyak orang China yang berkontribusi besar pada negara. Namun sentimen terhadap etnis mereka lebih besar.
Kiai Muhaimin pengasuh pondok Nurul Ummahat menjelaskan bahwasanya jika kita condong pada China dalam masalah ekonomi itu bagus. Karena mereka sangat bagus dalam bidang ekonomi.
Salah jika malah condong kepada Amerika yang merupakan negara militer. Karena isu Pak Jokowi yang dekat dengan China sangat hangat, sampai mereka menebar fitnah bahwa pak Jokowi adalah PKI.
Perilaku diskriminasi tersebut kebanyakan adanya hatespeech yang tersebar dan turun-temurun. Karena minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah, maka mudah sekali informasi itu diterima tanpa disaring terlebih dahulu.
Meski akses informasi itu sangat mudah sekali didapat, namun jika mereka tidak melihat sudut pandang yang lain, maka tetaplah terjadi ketimpangan dalam pemahaman akan suatu masalah.
Maka membaca cerdas dan membaca kritis itu sangat perlu. Kepekaan terhadap kemanusiaan juga perlu ditingkatkan agar mengurangi pikiran negatif terhadap sesuatu.
Semoga kasus diskriminatif di Indonesia dapat terkikis sedikit demi sedikit karena bagaimanapun kasus ini tidak bisa diselesaikan secara langsung jika hanya beberapa orang saja yang menggaungkan. Selamat Tahun Baru Imlek bagi warga Tionghoa. Semoga semangat keadilan dan kemanusiaan kita terus tumbuh.
Referensi:
- Abdurrahman Wahid, Esai Ras dan Diskriminasi di Negara Kita
- Mereka Bilang Aku China, Dewi Anggraeni